humaniora.id – Saya sudah lama mendengar nama Pondok Pesantren Zaytun, Indamayu, Jawa Barat yang didirikan pada tahun 1994 oleh Syeik Abdussalam Panji Gumilang, alumni Pondok Modern Gontor Ponorogo.
Selama ini saya hanya mendengar berita tentang Pondok Pesantren Zaytun dari media sosial, atau obrolan bersama teman dan kolega. Informasi yang sifatnya hanya qila wa qala.
Setelah tiga puluh tahun, tepatnya tanggal 6-7 Juli 2024, saya mendapat kesempatan untuk berkunjung ke Pondok Pesantren Zaytun. Untuk menghadiri peringatan 1 Syura 1446 H yang digelar di Masjid Rahmatan Lilalamin, dengan tema “Remontada from Within: Kebangkitan dari Dalam Menuju Indonesia Gemilang”.
Selama di Zaytun, saya sempat keliling kampus untuk melihat secara langsung kondisi asrama, dapur, kantin, ruang kelas, fasilitas olah raga, dan unit usaha.
Saya juga sempat bertemu dan berdialog secara langsung dengan santri, pengurus, guru, dan karyawan. Termasuk driver yang mendampingi saat keliling kampus.
Kunjungan perdana saya ini memberikan kesan tersendiri tentang Pondok Pesantren Zaytun. Bagi saya seeing is believing. Every angel of Zaytun has impression. Laisa al-khabaru ka al-mu’ayanah.
Dari sekian pondok pesantren yang pernah saya kunjungi, baik pondok pesantren tradisional maupun modern, hanya Pondok Pesantren Zaytun yang benar-benar menerapkan prinsip koeksisten dengan alam.
Indikatornya adalah berbagai jenis pohon yang tumbuh subur dan dirawat daengan baik di kampus Zaytun yang luasnya lebih 200 dari hektar. Dari pohon-pohon itulah dihasilkan udara yang bersih, sehat dan tidak tercemar polusi. Dengan demikian oksigen yang dihidup santri setiap hari adalah oksigen yang sehat. Bebas dari polusi.
Tidak hanya menghasilkan oksigen yang bersih dan sehat, pohon-pohon itu bisa dijadikan laboratorium penelitian bagi para saintis dan akademisi.
Asrama yang bersih, rapi, dan dikelola dengan tata kelola yang baik, juga menggambarkan bahwa Zaytun telah menerapkan manajemen modern.
Demikian juga pengelolaan makan santri yang memperhatikan aspek higinis, gizi, dan nutrisi, sehingga para santri sehat secara jasmani dan ruhani.
Kemandirian Zaytun dalam mengurusi seluruh keperluan santri juga patut ditiru. Pesantren dengan santri sekitar 10.000 orang ini, memerlukan kemandirian dalam berbagai aspek kehidupan. Karena itu, Zaytun memproduksi seluruh kebutuhan pokok para santri secara mandiri, mulai dari air mineral, beras, buah, dan lainnya.
Selain aspek fisik tersebut, elemen yang penting dari sebuah pondok pesantren adalah nilai (values) dan figur kyai/pimpinan yang menjadi teladan bagi para santri dalam segala aspek kehidupan.
Meskipun dalam waktu yang relatif singkat, saya menemukan nilai-nilai pondok pesantren di Zaytun. Nilai-nilai ini sifatnya universal, tanpa mengenal batas waktu, generasi, dan geografis. Di antara nilai-nilai pesantren tersebut adalah nilai keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian, kebebasan, kerukunan, gotong royong, toleransi, perdamaian, cinta tanah air, dan kemanusiaan.
Singkat kata, Zaytun adalah pesantren modern yang well-planned, well-designed, well-organized.
Zaytun sengaja direncanakan, didesain, dan dikelola untuk menjadi sebuah nurturing environment atau al-biah at-tarbawiyah. Sebuah miliu/lingkungan pendidikan yang membentuk karakter dan kepribadian para santri.
Di Zaytun, para santri belajar kehidupan. Belajar kewirausahaan. Belajar disiplin. Belajar menghargai dan mengelola waktu. Belajar toleransi dan perdamaian. Semua ini akan menjadi bekal hidup yang sangat bermanfaat saat mereka kembali ke masyarakat.
Dari kunjungan saya ini, saya bisa memahami mimpi besar pendiri Pondok Pesantren Zaytun, yaitu pusat kecemerlangan (center of excellence) di bidang pendidikan Islam dengan mengembangkan budaya toleransi dan perdamaian menuju masyarakat sehat, cerdas, dan manusiawi.
Di Zaytun saya menemuklan modernisasi dan transformasi pendidikan Islam. Hal ini mengingatkan saya kepada peristiwa 47 tahun yang lalu, yaitu First World Muslim Conference on Islamic Education yang diselenggarakan di Mekah pada tahun 1977.
Salah satu rumusan konferensi tersebut adalah kemunduran umat Islam disebabkan oleh kemunduran mereka dalam bidang pendidikan. Oleh karena itu, untuk membangkitkan dan memajukan ummat Islam, harus dimulai dari bidang pendidikan.
Dalam konteks tersebut, Zaytun adalah bukti nyata dari upaya untuk memajukan pendidikan Islam.
Di balik kemegahan fasilitas, keindahan alam, dan tata kelola tersebut, tantangan ke depan bagi Zaytun adalah bagaimana menghasilkan lulusan yang unggul, kompeten, dan berdaya saing baik di tingkat nasional maupun internasional.
Saya optimis, Zaytun di bawah kepemimpinan Syeikh Abdussalam Panji Gumilang mampu menghadapi tantangan tersebut.
Dari Zaytun, kita membangun peradaban dunia.
Ciputat, 9 Juli 2024
Bambang Suryadi
Alumni Gontoor 1988
Dosen Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta