humaniora.id – Setiap tahun pada tanggal 7 November, Indonesia merayakan Hari Wayang Nasional untuk menghormati salah satu warisan budaya terpenting yang dimiliki negara ini, yaitu seni pertunjukan wayang.
Peringatan Hari Wayang Nasional adalah kesempatan bagi kita untuk lebih mendalami makna dan kekayaan budaya yang terkandung dalam seni wayang.
Berikut sebuah tulisan dari Dr. Junus Satrio Atmodjo seorang arkeolog senior, dapat menambah pengetahuan dan wawasan kita tentang dunia wayang.
***
Arkeologi = disiplin ilmu budaya yang mempelajari masa lalu manusia melalui tinggalan-tinggalannya.
Tinggalan itu dapat berupa benda, bangunan, struktur, lingkungan, termasuk karya-karya bukan kebendaan seperti sejarah, legenda, mitos, bahasa, tulisan, atau semua aspek yang berhubungan kegiatan masa lalu.
Perhatian utama kajian arkeologi adalah untuk menjelaskan sejarah manusia, baik pemikiran maupun hasil dari pemikiran itu melalui proses pengumpulan data dan analisis.
Hasil pemikiran yang dimaksud dapat berupa artefak (benda buatan manusia), ekofak (benda alam yang diolah manusia), lingkungan binaan, atau halhal lain bersifat bukan kebendaaan.
Arkeologi umumnya terkendala oleh terbatasnya data dan rapuhnya objek kajian yang berumur tua.
Bukti Tertua Tradisi Wayang
Diperoleh dari prasasti Mantyasih yang dikeluarkan Raja Mataram Kuno bernama Dyah Balitung di tahun 829 Saka atau 907 Masehi. Di dalamnya termuat kalimat ”…si Galigi mawayang buat hyang macarita Bimma ya Kumara…” , artinya ‘Galigi mengadakan pertunjukan wayang untuk dewa dengan mengambil cerita Bima Kumara’.
Prasasti ini ditemukan di Desa Meteseh, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Isinya tentang pemberian tanah sima kepada para patih raja Balitung yang setia.
Dalam KAMUS JAWA KUNO – INDONESIA yang dibuat P.J. Zoetmolder, terdapat beberapa kata yang berhubungan dengan wayang, antara lain: wayang (pertunjukan wayang), griŋsiŋ wayang (kain bermotif wayang), dan awayaŋ atau pawayaŋ (mempertunjukan / mempertontonkan wayang).
Mencari Jejak Historis Wayang
Candi Siwa, Kompleks Prambanan Dibangun abad ke-7 masa Kerajaan Mataram Kuno. Untuk pertama kalinya cerita Ramayana yang semula berupa teks mulai disajikan secara visual menggunakan pahatan.
Relief candi Prambanan memperlihatkan anyak kemiripan dengan relief candi-candi India dari abad yang sama. Memperlihatkan orang-orang suci, para bangsawan, dan mahluk mistis.
Secara keseluruhan seni pahat di Prambanan terkesan luwes, menampilkan postur tubuh tokohtokoh cerita yang digambarkan dalam posisi ‘bergerak’ sesuai adegan.
Pola Cerita
Cerita Karmawibhangga di Candi Borobudur dan cerita Panji di Candi Jago diurut mengikuti pola pradaksina, yaitu dibaca dari kiri menuju ke kanan searah gerak jarum jam. Adegam cerita dipilih berdasarkan eposide yang berurutan.
Selain memberikan wejangan moral dan spiriitual, para pendeta juga berperan ganda sebagai petutur menceritakan makna di balik pahatan relief. Cara ini dilakukan karena tidak tersedia teks pada relief yang dapat dibaca oleh pengunjung candi.
Relief Karamawibhangga di Kaki Candi Borobodur, Relief mengajarkan tentang perbuatan bajik, buruk, dan akibat dari perbuatan manusia atas kehidupan mendatangnya (karma).
Untuk memudahkan pemahatan, di atas panil relief terdapat kalimatkalimat pendek sebagai ascuan pemahat (silpin) dalam menuangkan karyanya.
Rata-rata setiap panil terbagi menjadi tiga adegan tentang konsep ‘sebab-akibat’ dari perbuatan yang dapat mempengaruhi kehidupan masa mendatang (reinkarnasi). Pembagian ini ditandai batang-batang pohon yang berfungsi sebagai dekorasi sekaligus bingkai.
Relief Candi Sebagai Model Wayang
Abad ke-13 Wujud Wayang Mulai Muncul Di akhir masa kerajaan Singosari bentuk hiasan candi mulai berubah, dari naturalis menjadi kaku.
Posisi para tokh cerita mulai digambarkan tanpa eksprasi dengan ukuran badan yang kurang proporsional, mendekati bentuk wayang kulit yang kita kenal sekarang. Tokoh punakwan berbadan ‘buntek’ mulai hadir di relief-relief candi.
Transformasi dari Pahatan Panil Menjadi Gambar
Wayang beber menjadi wujud trasnformasi penting dari penggambaran cerita-cerita suci. Bila sebelum ditempakna pada panil berbahan bata atau batu, sebagai gantinya kini dipergunakan lembaran kain yang dapat digulung. Permukaan kain yang lebar lebih mudah diisi dengan gambar- gambar yang detail, menggunakan banyak warna, dan mudah dibawa ke mana-mana.
Dalam pembuatannya dibutuhan warna-warna alami yang mampu bertahan lama dan tidak mudah luntur. Jenis tekstil yang digunakan terbuat dari susun serat yang rapat.
Wayang beber adalah cikal bakal seni lukis tradsional Nusantara di atas kanvas yang berkembang di Jawa dan Bali.
Peristilahan Unsur-Unsur Dekorasi Wayang
Banyak mengambil alih ikonografi arca Hindu-Budha asal India yang sudah dipakai 700 tahun sebelum runtuhnya Majapahit.
Fungsi Layar
Ada banyak teori tentang asal usual tradisi wayang. Diantaranya ada beranggapan datang dari India bersama masuknya pengaruh budaya indik, berdasarkan lakon cerita yang umumnya berasal dari epik Mahabarata dan Ramayana.
Ada pula yang meyakini wayang merupakan karya khas Nusantara karena didapati banyak cerita yang dikembangkan pujangga-pujangga lokal seperti Dewa Ruci atau Arjuna Wiwaha.
Secara konseptual wayang adalah perwujudan visual dari Leluhur, yang semula bersifat abstrak dan imajinatif menjadi hidup saat dimunculkan pada layar.
Karakter para leluhur diwakili oleh tokoh-tokoh cerita menggunakan bahasa tubuh, ukuran, warna, suara, dan nada.
Fungsi layar di dalam pagelaran adalah untuk melepaskan ikatan manusia dari lingkungannya supaya fokus pada cerita yang membawa pesanpesan spiritual, mirip fungsi relief pada candi.
Bedanya, tokoh-tokoh dalam cerita wayang disajikan bergerak sementara pada relief dan wayang beber selalu statis.
Menghidupkan Arca
Prof. Soekmono berasumsi ruang sempit di atap Candi Siwa adalah tempat singgah sementara diperuntukan bagi dewa Siwa sebelum hadir ke dunia manusia.
Pemanggilan dilakukan dengan upacaraupaca, antara lain dengan memandikan arca menggunakan air atau susu. Air hasil memandikan arca akan turun ke sumuran candi melalui pipa logam dan membasahi peripih di dasarnya.
Bertemunya air dengan peripih menjadi syarat untuk ‘mengundang’ Dewa Siwa masuk ke dalam arca. Dengan cara ini maka semua orang yang berhadapan dengan arca akan sama artinya dengan bertatap langsung dengan dewa.
Pagelaran Sebagai Sistem Pendidikan spiritual melaui seni Wayang = Bayang = Leluhur, pesan moral, akhlak, dan spiritual melalui mejangan dalang menggunakan gerak, bentuk, warna, dan ekspresi
Wayang Sebagai Identitas
Wujud-wujud tokoh wyang menginspirasi dibuatnya benda-benda menggunakan bentuk wayang selama ratusan tahun hingga sekarang.
Wayang menjadi bagian dari identitas budaya Indonesia yang diolah secara kreatif menjadi berbagai bentuk poduk sakral maupun profan, dan tidak seluruhnya terkait dengan seni pertunjukan.
Raden Achmad Kosasih (1919 – 2012) Membuat komik ceria-cerita wayang klasik Jawa dan Sunda sejak 1950-an. Ia belajar wayang dari para dalang dan menerjemahkan karakter tokohtokoh cerita secara kreatif menggunakan gambar tinta
Wayang Sebagai Simbol Yang Berkelanjutan
Tradisi pewayangan tidak lepas dari simbol-simbol yang menyertainya, khususnya simbol-simbol sifat adi luhung yang selalu dipertahakan dalam cerita.
Adi luhung umumnya diterjemahkan sebagai sifat yang mengutamakan etika, norma, dan moral. Meskipun untuk maksud itu selalu ada tokoh-tokoh antagonis berlawanan sifat sebagai lawan.
Selama ratusan tahun karakter adi uhung dipertahankan, melalui proses adaptasi yang panjang di jaman dan ruang berbeda. Munculnya tokoh Semar dalam pewayangan Jawa dan Sunda atau Tualen dalam pewayangan Bali menjadi penjaga nilai-nilai luhur, disesuaikan dengan karakter budaya masing-masing.
Warisan Arkaik di Era Modern
Menggunakan bentuk-bentuk wayang yang sudah hadir sejak abad ke-10, wayang dapat dikatakan sebagai seni pertunjukan kuno yang sudah berusia 1000 tahun lebih.
Praktek seni pewayangan tetap hidup selama pelaku dan peminatnya hadir di masyarakat. Adaptasi kostum, bahan, pola, dan desain sekarang merupakan adaptasi dari kebutuhan jaman perlu dipertahankan berikut nilai-nilai yang menyertainya.
Pada saatnya, perkembangan seni wayang di abad ini akan menjadi penelitian arkeologi 50 tahun dari sekarang. Pelestarian dibutuhan untuk mempertahankan nya dari kepunahan.
***
Selengkapnya, materi dapat di download berikut ini : Wayang Dalam Arkeologi – November 2023