TANAH KUSIR JAKARTA, humaniora.id – Kaum sufi berpendapat, kecerdasan pikiran itu tidak cukup untuk mengantar kita kepada pemahaman rasa keindahan yang sebenarnya, tetapi kita harus meletakkan diri di atas kesadaran.
Kesadaran dalam perspektif kebangsaan yang dimaknai sebagai nilai yang memperlihatkan identitas bangsa dan memperkaya kehidupan sosial budaya.
Inilah salah satu percakapan-percakapan kami dengan Ray Sahetapy di Sanggar Humaniora dalam tugas-tugas kebudayaan yang belum tuntas.
Hingga beliau yang kami hormati dan kami sayangi wafat di Jakarta, Selasa, 1 April 2025 dan meninggalkan kenangan mendalam.
Tidak hanya di kalangan pelaku industri perfilman Indonesia, melainkan juga bagi para penggiat seni teater, penggiat budaya, dan penggiat kemanusiaan.
Dia wafat. Ribuan jamaah turut melaksanakan shalat jenazah sang seniman, budayawan, yang juga aktor film Indonesia ini, di Masjid Istiqlal Jakarta Pusat, Jumat, 4 April 2025.
Prosesi berlangsung khusyu dan penuh penghormatan, selanjutnya jenazah Ray Sahetapy diantar ke pemakaman di TPU Tanah Kusir, Jakarta Selatan untuk dimakamkan.
Di perkuburan muslim Blok AA1 Blad 136 Tanah Kusir Jakarta Selatan, para sahabat, kerabat dan sanak family menunggu untuk bertakjiah dan mengantar doa.
Altar makam pun menjadi wahana silaturrahim tokoh-tokoh penting perfilman Indonesia dan sejumlah penggiat seni dan budaya.
Tampak hadir aktor Mathias Muchus, Tio Pakusadewo, Dwi Yan, Rachman Yacob, Slamet Rahardjo Djarot, Rano Karno, Adisurya Abdi, Ratna Riantiarno, Sandec Sahetapy, Teuku Rifnu Wikana, Harry Patakaki, Iwan Gardiawan, para penggiat seni teater, dan artis film dan sinetron lainnya.
Tampak hadir juga pakar hukum dan cendekiawan muslim Prof. Jimly Asshiddiqie, sutradara film Aria Kusumadewa, dan Founder Swargaloka Foundation Drs. Suryandoro.
Memudarnya Wawasan Kebangsaan
Menurut Ray, pendidikan karakter bangsa melalui pendekatan seni peran merupakan media strategis dalam rangka penguatan jatidiri.
Seni peran bukan saja mengajarkan pemahaman keaktoran bersifat teknis, melainkan mencakup berbagai aspek, meliputi; akhlak mulia (budi pekerti), berilmu, terampil, kreatif, inovatif, dan dapat menjadi warga mandiri.
Memudarnya wawasan kebangsaan, kata Ray, mengakibatkan kita kehilangan jatidiri dan hakekat kehidupan. Karena boleh jadi berbagai persoalan yang kita hadapi saat ini, kata dia, berawal dari kesalahan dalam menghayati dan menerapkan konsep awal “kebangsaan.”
Ray Sahetapy menawarkan pendidikan jatidiri bangsa berdasarkan gagasan keseimbangan yang dia sebut “Wawasan Nusantara”.
“Bangsa ini memerlukan karakter atau kepribadian yang seimbang. Titik tolak berpikir kita sesungguhnya bukan mencari keseimbangan, melainkan menjaga keseimbangan. Konsep Nusantara adalah gagasan keseimbangan,” tegasnya di setiap kesempatan.
Di industri perfilman Ferene Raymond Sahetapy, atau lebih populer dengan nama Ray Sahetapy, telah membintangi puluhan judul film dalam rentang waktu yang cukup panjang.
Saat industri film Indonesia mengalami “mati suri,” Ray tak kehilangan media untuk tetap berkreasi. Bersama rekan-rekan satu visi, dia kemudian membangun komunitas seni peran (teater).
Di pentas teater, Ray Sahetapy, diantaranya pernah menyutradarai pertunjukan 150 orang sehat dan 50 orang sakit jiwa pada pentas “Kenduri Lima” di Solo, Bali, dan Museum Amsterdam Belanda, yang sempat mendulang kontroversi dari berbagai lapisan masyarakat.
Pembina Sanggar Humaniora
Sejak tahun 2010 Ray Sahetapy kami daulat menjadi salah satu Pembina di Sanggar Humaniora dibawah naungan Yayasan Humaniora Rumah Kemanusiaan.
Diawali keterlibatan beliau di acara “Misi Kemanusiaan Universal – Barang Bekas Menolong Sesama”, di Metropolis Apartment, Jl. Raya Tenggilis 127 Surabaya, Sabtu 31 Juli – 1 Agustus 2010.
Tidak Cuma Ray Sahetapy, namun ada juga sejumlah aktor senior lainnya yang juga menjadi Pembina di Sanggar Humaniora ini, antara lain; Dorman Borisman, Diding Boneng ZA, Ucup Jaka, Pong Harjatmo, Iwan Gardiawan, Ageng Kiwi, dan seniman lainnya lainnya.
Di Sanggar Humaniora kami tidak hanya membangun kegairahan berkesenian secara sempit, melainkan menyoal masalah sosial kemanusiaan, dan kebudayaan Nusantara secara utuh.
Pendidikan Watak Melalui Wawasan Nusantara
Ray Sahetapy mengajarkan, untuk menjadi seorang public figur haruslah mempunyai karakter yang kuat dan menjiwai setiap peran yang dimainkan. Gagasan wawasan Nusantara diletakkan sebagai konsepsi ketahanan.
Menurutnya, wawasan Nusantara berkembang dalam dua dimensi pemikiran yang mendasar. Dimensi kewilayahan dan dimensi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dimensi kehidupan bermasyarakat ini salah satunya pendidikan watak.
“Pendidikan watak; karakter yang dapat didalami melalui pendidikan seni peran. Dari pengetahuan inilah kemudian ditingkatkan ke tahap kesadaran yang di dalamnya terkandung kepedulian dan panggilan,” urai aktor kelahiran Donggala 1 Januari 1957 ini.
The Indonesian Opera Drama Wayang Swargaloka
Di tahun yang sama Ray Sahetapy kami libatkan dalam pengembangan dunia simbolik wayang orang The Indonesian Opera Drama Wayang Swargaloka, yang digagas oleh seorang begawan tari Drs. Suryandoro. Satu-satunya pergelaran wayang orang yang menggunakan bahasa Indonesia.
Pergelaran tersebut tak sekedar pementasan karya seni yang bisa dinikmati nilai estetikanya. Karena wayang bukan sekedar seni biasa, tetapi karya seni agung. Ada nilai-nilai berbentuk simbol dan etis; imajinatif, simbolik dan kaya penggalian makna filosofis.
Workshop Seni dan Film Keliling Indonesia
Tahun 2014, melalui program Workshop Seni dan Film Keliling Indonesia bersama KAB (Karya Anak Bangsa), yang dimotori seorang sineas Indonesia Heru Aceel, kami mentransformasikan gagasan wawasan Nusantara ke berbagai daerah di Indonesia.
Kegiatan ini dalam rangka mendorong masyarakat untuk menghargai keberagaman budaya dan menjalin toleransi antarbudaya melalui pendekatan seni.
Membintangi Puluhan Judul Film
Ray Sahetapy telah membintangi puluhan judul film dalam rentang waktu yang cukup panjang. Alumni Institut Kesenian Jakarta (IKJ) ini, diantaranya bermain dalam film Kabut Ungu di Bibir Pantai, Dukun Ilmu Hitam (1981), Sejuta Serat Sutra (1982), Darah dan Mahkota (1983), Tirai Kasih, Secangkir Kopi Pahit, Hati Seorang Perawan, Pelangi di Balik Awan, Kerikil-Kerikil Tajam, dan film Kabut Perkawinan (1984).
Ray Sahetapy dinominasikan sebanyak tujuh kali di ajang Festival Film Indonesia (FFI), yakni melalui film Ponirah Terpidana (FFI 1984), Secangkir Kopi Pahit (FFI1985), Kerikil-Kerikil Tajam (FFI 1985), Opera Jakarta (FFI 1986), Tatkala Mimpi Berakhir (FFI 1988), dan Jangan Bilang Siapa-Siapa (FFI 1990).
Lewat film Noesa Penida (1988), garapan Galeb Husen dan ceritanya ditulis Asrul Sani, Ray dinominasikan sebagai Aktor Terbaik pada FFI 1989.
Film Ray Saherapy berikutnya adalah Identitas (2009), Jinx (2010), Akibat Pergaulan Bebas (2010), Demi Dewi (2010), Mudik (2011), Dilema (2012), The Raid (2012), Sang Martir (2012), Loe Gue End (2012), True Heart (2013), 2014 (2013), dan Crazy Love (2013).
Lewat kepiawaiannya berakting di film The Raid (2012), Ray kembali menerima penghargaan sebagai Aktor Pendukung Terbaik Indonesian Movie Awards (IMA) 2012.
Praktik Berkesenian dan Pergerakan Kebangsaan
Inilah sesungguhnya ikhtiar kami yang belum selesai. Kehalusan budi daya. Membumikan keindahan dan praktik kesenian ke pergerakan kebangsaan konkret.
Memberi rasa senang secara universal berdasarkan nilai yang bersumber dari unsur perasaan dalam diri manusia, yaitu: memanusiakan manusia melalui cara-cara kesenian.
Sekarang tahun 2025. Kerja belum selesai. Di atlas rencana pergerakan kami banyak sudut belum tercantum, banyak tempat belum dinamai, banyak pertanyaan usang belum terjawab, dan muncul pertanyaan baru penting untuk diajukan.
Sekarang abang pulang. Kullu nafsin dzaiqotul maut; setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Hanya perbuatan baik sempurna balasannya. Sungguh kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang memperdaya.
Dunia berisi nyawa dalam antrian. Baris panjang menuju kematian. Sisakan kenangan. Selamat jalan abanganda Ray Sahetapy. Doa kami menyertaimu. Amal jariyah-mu mengawal hingga di yaumul hisab dan al-Jannatun naim yang dijanjikan — dalam kedudukan husnul khotimah. Amiin ya robbal alamiin.
Tanah Kusir
Jum’at, 04/04/2025
Eddie Karsito