humaniora,id – Kemarin, harian Waspada, Medan, berulang tahun ke-76. Sungguh, berkah usia yang patut disyukuri. Bukan hanya oleh pengelolanya, tapi juga oleh masyarakat pembacanya.
Pernah, Pak Mohammad Said, pendirinya, bercerita, tentang suasana ketika harian itu terbit pertama kali, 11 Januari 1947. Ketika itu, penduduk Medan baru berjumlah 300.000 orang. Kota tengah dirubung suasana yang amat sepi. Banyak penduduk telah mengungsi. De facto Medan saat itu diperintah oleh Belanda, menyusul timbang terima dari tentara Inggris.
Saat pertama kali terbit itu, Waspada dicetak 1000 eksemplar, dan terjual habis walaupun dengan format hanya setengah halaman.
Harganya dibanderol 10 sen, untuk berlangganan selama satu bulan. Jika tidak berlangganan, bisa dibeli dengan harga eceran setengah sen.
*
Sebagai suratkabar yang berhaluan nasionalis-marhaenis, yang sangat mendukung Republik, berkali-kali ia dibredel oleh Belanda. Tercatat ada tiga surat kabar dan majalah perjuangan pada masa itu, sekitar tahun 1945-1949, yaitu Suluh Merdeka, Waktu, Mimbar Umum, dan Waspada.
Sejak lama di Medan, penerbitan surat kabar menjadi bagian dari usaha perjuangan yang mencitakan kemerdekaan. Tersebutlah satu diantaranya, harian Benih Merdeka yang terbit pada tahun 1916. Bisa dirasakan, dari namanya saja ia kuat menyuratkan pikiran ‘subversif.’ Ditambah lagi dengan semboyannya yang menantang: “Organ Oentoek Menoentoet Keadilan dan Kemerdekaan.”
Medan dan daerah sekitarnya, sampai Tapanuli bagian utara dan bagian selatan, memang dakhsyat. Dari data sejarah, diketahui ada 147 penerbitan pers sepanjang kurun 1880-1942. Jumlah, yang agaknya terbanyak di Indonesia pada masa itu.
Kembali kita ke Waspada.
Sungguh membesarkan hati, bahwa di tengah situasi yang mendebarkan sekarang ini, ketika perkembangan teknologi informasi dengan kencang mendisrupsi media cetak, bahkan memaksa sejumlah surat kabar menutup buku, harian Waspada masih hidup, masih eksis, masih ingin turut memberikan sumbangsih bagi pemajuan peradaban bangsa, sebagaimana yang telah ia tunjukkan selama ini, sepanjang usianya. Meski, agaknya, kian tak mudah dan jalan semakin terjal dan berliku.
Saya menaruh hormat, bangga, dan menyampaikan doa syukur, doa pengharapan pula, semoga ia terus hidup, tetap bersemangat, dan terus menjadi bagian dari keseharian pembaca militannya. Paham cara berkelit dari ancaman. Dan piawai menempatkan diri, tetap bermakna sebagai sahabat yang karib dan setia bagi pembacanya.
Sebaliknya, demikian pula harapan saya kepada siapa pun, yang menyayangi Waspada, untuk terus bersetia, dan memberikan dukungan agar ia bisa terus hidup, sampai anak cucu kita.
*
Demikianlah teladan kesetiaan yang pernah ditunjukkan oleh Bapak saya, Wan Nurdin Ar. Pembaca yang khidmat, dan menghormati Waspada sebagai bagian dari perjalanan pikiran dan riwayatnya.
Sejak tahun 60-an, ia telah menjadi bagian dari Waspada, sebagai pembaca, dan penulis juga. Dan penyimpan (!). Ia yang menyimpan dengan rapi semua terbitan, setiap hari, bertahun-tahun. Dan setiap kali berpindah-rumah, dulu, bundelan Waspada yang berkilo-kilo beratnya itu, ia gotong ke mana-mana.
Kami, anak-anaknya, ia larang menjual suratkabar-kabar yang ia kumpulkan. Tidak hanya Waspada, tetapi juga harian Mimbar Umum, Sinar Pembangunan, Analisa, Mercusuar, Bukit Barisan, suratkabar yang kemudian terbit pada tahun 1970-an. Tapi yang paling lengkap adalah Waspada.
Satu kamar di rumah Bapak saya itu, hingga hari ini tersimpanlah dengan aman dan nyaman, harian Waspada itu. Tersusun rapi memenuhi dinding sekian kali sekian meter. Pekerjaan penyimpanan itu diteruskan oleh anak-anaknya, kendati beliau telah wafat 15 tahun yang lalu.
*
Untuk pengabdian beliau yang luar biasa itu, pantaslah kemudian pada tahun 1988 Bapak saya mendapat plakat khusus dan istimewa dari Ibu Hj. Ani Idrus, pendiri Waspada.
Plakat penghargaan yang agaknya hanya beliau seorang yang pernah mendapatkannya, tak pernah ada yang lain, sebagai pemuliaan atas kesetiaan tak tergoyahkan sebagai pembaca surat kabar perjuangan itu.
Dan, sebaik menerima penghargaan itu, yang ia terima langsung dari ibu Ani Idrus, pada momen upacara selamatan ulang tahun Waspada tahun 1988 itu, beliau pun menulis artikel panjang, yang dimuat di halaman khusus Waspada sampai 6 hari berturut-turut, ikhwal alasan obyektif dan subyektif beliau berkehendak, istiqamah, menyimpan dan merawat lembar-lembar kertas cetakan Waspada itu. Baik dalam keadaan susah, maupun senang.
Dirgahayu, Waspada. Lanjutlah usia dalam semangat yang perjuangan yang tak pernah padam!