Humaniora.id, Jakarta, Pengawas pemilihan umum (pemilu) dinilai perlu memiliki pemahaman geografis daerah selain kompeten dalam menjalankan tugas. Kedua elemen tersebut bahkan dinilai penting guna memastikan “pesta demokrasi”, termasuk Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024, terlaksana dengan jujur, adil, dan berintegritas.
Demikian disampaikan Direktur Eksekutif Human Studies Institute, Rasminto, saat menjadi narasumber kegiatan “Penguatan Kapasitas Penerimaan Laporan Pelanggaran Pemilu bagi Pengawas di Bawaslu Daerah Khusus Jakarta”, Senin (10/6). Kegiatan ini dihadiri oleh 94 peserta dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan (Panwascam) se-Jakarta Pusat, Jakarta Utara, dan Jakarta Barat.
“Kunci penting dalam pelaksanaan pilkada yang utama adalah pemahaman geografis mengenai wilayah Jakarta bagi semua pihak yang terlibat, terutama bagi petugas penyelenggara dan pengawas pemilu,” ujar Rasminto.
Menurut Rasminto, atmosfer politik Jakarta memiliki tingkat kompleksitas yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh posisi Jakarta sebagai barometer nasional dan tingginya kepadatan penduduk.
“Kondisi demografis yang heterogen serta keragaman sosial, ekonomi, dan berasal dari berbagai latar belakang dengan kepentingan politik yang beragam bisa memicu berbagai bentuk pelanggaran,” jelasnya.
Oleh karena itu, penting bagi penyelenggara dan pengawas untuk memahami faktor geografis karena memengaruhi berbagai aspek dalam proses pemilihan. “Mulai dari pemutakhiran data pemilih dengan objek utamanya adalah data kependudukan, distribusi logistik pemilu, penentuan lokasi tempat pemungutan suara (TPS), hingga pengawasan distribusi surat suara.”
Rasminto menambahkan bahwa penyelenggara pemilu dapat memastikan semua tahapan pilkada berjalan lancar apabila memiliki pemahaman geografis yang mendalam. Apalagi, jika semua pemilih bisa menggunakan hak pilihnya sesuai asas demokrasi.
Akademisi Prodi Geografi Universitas Islam ’45 (Unisma) Bekasi ini melanjutkan, pengalaman Pemilu 2024 mesti menjadi pelajaran berharga. Sebab, temuan dan laporan dugaan pelanggaran pemilihan menjadi tolak ukur kinerja pengawas pemilu.
“Temuan dan laporan dugaan pelanggaran pemilihan menjadi tolak ukur kinerja pengawas pemilu. Selain itu, juga pemahaman regulasi pilkada yang berbeda dengan regulasi pemilu sehingga kemampuan teknis dalam penyusunan laporan hasil pengawasan pemilu jadi hal penting yang harus dikuasai,” ungkapnya.
Rasminto berharap ada penguatan kompetensi dan penguasaan kewilayahan panitia adhoc. Menurutnya, hal ini menjadi salah satu modal penting terlaksananya pilkada secara berkualitas.