humaniora.id – Dalam khasanah sastra kita, pernah lahir puisi yang begitu religius dan sufistik, yang melukiskan tuhan begitu dekat. Memang tak sepopuler sajak “Tuhan” karya Taufik Ismail (Angkatan 66), yang kemudian jadi lirik lagu “Trio Bimbo”. Atau sajak “Doa” dari Chairil Anwar (Angkatan 45) atau yang lebih klasik, “Padamu Jua” (Amir Hamzah, Pujangga Baru, 1930-an). Namun, sajak karya Abdul Hadi WM itu tak kurang kuatnya.
Baris sajak yang selengkapnya, tersaji sebagai berikut :
Tuhan
Kita begitu dekat
Sebagai api dengan panas
Aku panas dalam apimu
Tuhan
Kita begitu dekat
Seperti kain dengan kapas
Aku kapas dalam kainmu
Tuhan
Kita begitu dekat
Seperti angin dengan arahnya
Kita begitu dekat
Dalam gelap
Kini aku nyala
Pada lampu padammu.
1976
Sajak di atas segera segera menobatkan nama penulisnya, Abdul Hadi WM sebagai “Penyair Sufistik”, bersama sama D. Zawawi Imron, menyusul Danarto yang juga dijuluki “Cerpenis Sufistik”.
Menguat di tengah pengaruh estetika Timur dan sufisme pada sastra Indonesia kontemporer sejak 1970-an, sajak itu hadir.
“Tuhan, Kita Begitu Dekat” merupakan kumpulan lengkap puisi-puisinya sejak awal kepenyairannya menunjukkan keberagaman perjalanannya sebagai penyair. Abdul Hadi WM (1946-2024) bukan sekadar mempopularkan kepenyairan sufistiknya, tapi juga membawa paradigma sastra sufistik yang kemudian dikembangkan.
Bersamanya, gerakan puisi sufi yang dicetuskan Muslim berdarah Tionghoa, kelahiran Madura, ini terus menggelora dan membekas pada generasi para penyair Indonesia berikutnya – hingga hari ini. Sufisme dan estetika timur, kemudian mewarnai sajak angkatan berikutnya, khususnya pada Hamid Jabbar, Afrizal Malna, Emha Ainun Najib dan lain-lain.
Selain menulis sajak, sastrawan muslim taat yang beribu keturunan keluarga Keraton Surakarta ini juga menulis banyak esai dan penelitiannya yang mendalam tentang sastra klasik Nusantara serta renungan-renungannya mengenai estetika dan filsafat Timur menempatkan dirinya sebagai ilmuwan yang terkemuka di bidangnya.
PADA SOSOK Abdul Hadi WM, kelahiran Sumenep, 24 Juni 1946 merupakan gabungan penyair dan cendekiawan. Dia dia seorang doktor filsafat, yang bergelar profesor dan menyandang jabatan Guru Besar Fakultas Falsafah dan Peradaban Universitas Paramadina, Jakarta .
Almarhum Prof. Abdul Hadi Wiji Muthari , nama lengkapnya, aktif di kesuasteraan dan penerbitan sejak belia hingga menjadi redaktur Mahasiswa Indonesia edisi Jawa Barat di Bandung (1971—1973), redaksi majalah Dagang dan Industri (IKADIN, 1979—1981), redaktur pelaksana majalah “Budaya Jaya” (1977—1978), pengasuh lembaran kebudayaan “Dialog” Harian “Berita Buana” (1978—1990), Staf Ahli Bagian Pernaskahan Perusahaan Negara Balai Pustaka, dan Ketua Harian Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta (DKJ, 1984—1990).
Dalam peta satra Indonesia, penyair Alumni Fak Sastra UGM ini digolongan sebagai sastrawan angkatan 70-an, bersama sama Hartojo Andangdjaja, Subagio Sastrowardojo, M. Poppy Hutagalung, Nasyah Djamin, Sapardi Djoko Damono, Satyagraha Hoerip, Slamet Sukirnanto, Sori Siregar, Titis Basino, Putu Wijaya, Wildam Yatim, dan Wing Kardjo, Gerson Poyk, Sutardji Calzoum Bachri, Leon Agusta, Akhudiat, Adri Darmadji Woko, dll.
Abdul Hadi WM telah tiada. Dia meninggalkan kita semua, pada Jumat dinihari (19/1/2023) lalu, di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta. Ia meninggal di usia 78 tahun karena sakit.
DALAM RANGKA mengenangkan penyair sufistik itu, para wartawan yang terhimpun dalam Forum Wartawan Pecinta Kebudayaan dan Kebangsaan (Forum W), bersama Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, akan menyelenggarakan diskusi dan pembacaan puisi karyanya. pada Sabtu, 3 Februari 2024, pukul 14.00 – 16.00 WIB, bertempat di Aula PDS HB Jassin, Lt. 4, Gedung Ali Sadikin, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat.
Mengangkat tajuk “Abdul Hadi WM dalam Pusaran Arus Sastra, Kebudayaan dan Kebangsaan”, Yusuf Susilo Hartono, selaku koordinator acara menjelaskan, yang akan menjadi nara sumber pemantik diskusi ini, Presiden Penyair Sutardji Calzoum Bachri; akademisi, pengamat sastra dan Ketua Yayasan Hari Puisi Dr. Maman S. Mahayana, dan anggota Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) Fadjriah Nurdiasih (Mpok Iyah).
Sedangkan pembaca puisi terdiri lima orang penyair dan aktivis sastra, yang namanya sudah tidak asing di negeri ini: Jose Rizal Manua, Remy Novaris MD, Nuyang Jaimee, Ariani “Rini” Isnamurti, dan Linda Djalil.
Sebagai sahabat dekat, Sutardji Calzoum Bachri, diharapkan dapat memberikan kesaksian atas proses kreatifnya, seputar karya-karyanya yang bernafaskan islami, sufistik, dan profetik. Dalam konteksnya dengan sastra, kebudayaan dan kebangsaan.
Kami mengundang para mahasiswa, guru-guru, penyair dan sastrawan, komunitas sastra, hingga para aktivis sastra, wartawan pecinta kebudayaan dan kebangsaan, hadir dalam acara ini. Sambil bersama keluarga Abdul Hadi WM, mengenang dan mendoakan almarhum semoga damai di sisiNya. ***.