humaniora.id – Film tidak hanya mengandung anasir budaya melainkan juga produk industri.
Film adalah karya seni yang menjadi representasi dan gambaran realitas sosial. Produk yang dihasilkan melalui interaksi kompleks dan dinamis dari berbagai elemen pendukung.
Perfilman di Indonesia memiliki sejarah yang panjang. Di Indonesia karya film sarat nilai-nilai. Tidak hanya diposisikan sebagai media hiburan, melainkan menjadi sarana informasi dan pendidikan (tontonan, tatanan dan tuntunan).
(UU No. 8 Tahun 1992 Tentang Perfilman Bab III Fungsi dan Lingkup Pasal 5 : “Film sebagai media komunikasi massa pandang-dengar mempunyai fungsi penerangan, pendidikan, pengembangan budaya bangsa, hiburan, dan ekonomi.”
(UU No. 33 Tahun 2009 Tentang Perfilman Bab II Asas, Tujuan dan Fungsi – Bagian Ketiga Fungsi Pasal 4 : “Perfilman mempunyai fungsi: a. budaya; b. pendidikan; c. hiburan; d. informasi; e. pendorong karya kreatif; dan f. ekonomi.”
Namun justru pitawat yang menjadi kiblat saya dalam berkarya hingga hari ini, adalah pesan dari bapak perfilm Indonesia, H. Usmar Ismail. Walau petuah ini tidak terlalu populis di kalangan insan perfilman, namun cukup memengaruhi proses berkarya saya.
“Seniman harus mampu menjadi personifikasi hati nurani masyarakat, yang rindu keadilan dan kebenaran, serta membenci setiap kezaliman.”
Film sebagai sarana pendidikan masih menjadi idealisme para sutradara. Meskipun porsinya bisa berbeda-beda. Banyak sutradara idealis dan punya visi misi edukasi, tapi kerap berbenturan dengan kepentingan produser yang berorientasi pada bisnis semata.
Dalam kondisi tertentu film juga dijadikan alat propaganda politik dan maksud-maksud lainnya.)*
Film “Pemberontakan G30S PKI” karya monumental Arifin C. Noor, menjadi tontontan wajib zaman Orde Baru yang mengajarkan bangsa ini tentang bahaya ajaran komunis. Film ini diproduksi oleh Pusat Produksi Film Negara Departemen Penerangan RI, tahun 1984.
Pada masa pendudukan Jepang film dijadikan alat propaganda politik. Di bioskop penayangan dibatasi hanya untuk film propaganda Jepang dan film lain yang sudah ada sebelumnya.
Seni film lebih komprehensif dibanding seni lainnya. Kerap disebut sebagai induk seluruh cabang kesenian. Memuat unsur seni lainnya, seperti; sastra, musik, seni peran (akting), fotografi, seni rupa (costume, property art, graphic design), dan unsur seni lainnya.
***
Film hanya akan bermakna jika bertemu dengan penontonnya. Film dengan dasar cerita/ide cerita, dan ditunjang teknis produksi yang baik mampu mengolah psikologi dan emosi penonton.
Upaya agar masyarakat lebih tertarik menonton film menjadi penting. Hal ini diantaranya dapat ditopang melalui cerita yang baik. Cerita menjadi determinan keberhasilan sebuah karya film.
Ide cerita menjadi elemen penting dalam penulisan skenario film. Skenario merupakan blue print (cetak biru); elemen dramatik yang menjadi tulang punggung cerita film.
Adegan (scene), dialog, plot, konflik, emosi, karakter, setting, opening dan ending, memiliki ikatan penting yang menautkan penikmat cerita (penonton) dengan cerita dan tokoh yang ditontonnya.
***
Film Berbasis Cerita Sastra
Di Indonesia banyak karya film lahir dari cerita yang diadaptasi dari karya sastra atau novel. Seperti film “Loetoeng Kasaroeng” yang dinukil berdasarkan cerita rakyat.
Film yang diproduksi NV. Java Film Company di tahun 1926 ini disutradarai oleh L. Heuveldorp dan G. Kruger. “Loetoeng Kasaroeng” sekaligus menjadi tonggak pertama kemunculan film-film yang diproduksi di Indonesia.
Tahun 1970 ada juga film “Si Buta dari Gua Hantu” yang diadaptasi dari komik cerita silat. Film yang disutradarai Lilik Sudjio ini diantaranya dibintangi aktor legendaris Ratno Timoer dan Maruli Sitompul.
Cerita “Si Buta dari Gua Hantu” merupakan karya komikus Ganes TH. Komik ini pertama kali terbit tahun 1967 selanjutnya mengalami cetak ulang tahun 2005.
Tentu masih banyak film-film lain yang ceritanya saduran dari karya sastra. Seperti film “Cintaku di Kampus Biru” ceritanya berdasarkan novel dengan judul sama, karangan Ashadi Siregar.
Film debutan tahun 1976 ini disutradarai Ami Prijono. Dibintangi antara lain oleh Roy Marten, Rae Sita dan Yati Octavia.
Lalu film “Badai Pasti Berlalu” dirilis tahun 1977. Film ini disutradarai Teguh Karya. Ceritanya diangkat dari novel berjudul sama, karangan Marga T.
Bahkan di tahun 1996 film ini diproduksi ulang dalam format Film Televisi (Sinetron). Tahun 2007 kembali diproduksi dalam format film layar lebar, yang disutradarai Teddy Soeriaatmadja. Kemudian di tahun 2021 rumah produksi Sinemart merilis kembali dalam bentuk Film Seri Televisi.
Tahun 1980, dirilis film “Kabut Sutra Ungu” yang disutradarai Sjuman Djaya. Film ini antara lain dibintangi Jenny Rachman dan Roy Marten.
Cerita film “Kabut Sutra Ungu” disadur dari novel karya Ike Soepomo. Novel tersebut diterbitkan pertama kali oleh Penerbit Variasi Jaya, Kartini Grup, Jakarta pada tahun 1978.
Tahun 1979 muncul drama percintaan remaja “Gita Cinta dari SMA” yang ceritanya juga berbasis karya novel ciptaan Eddy D. Iskandar. Menceritakan pasangan fenomenal; Galih dan Ratna.
Film ini disutradarai Arizal. Dibintangi Rano Karno, Yessy Gusman, Ade Irawan, Doddy Sukma, Arie Kusmiran, Junaedy Salad, Pong Hardjatmo, dan artis lainnya.
Menariknya film ini bukan hanya dari segi konflik dramatiknya. Namun serangkaian ungkapan cinta dalam bentuk sajak/puisi, yang membuat film ini menjadi salah satu film remaja dinilai paling romantis.
Soal sajak/puisi di film “Gita Cinta dari SMA” mari kita simak surat Ratna untuk Galih saat mengungkapkan dirinya terpaksa menikah dengan pria pilihan sang ayah.
Saya kutipkan di sini :
“Aku sengaja menghadiahkan dasi yang sudah dipasang agar kau tinggal memakainya, sebab nanti mungkin aku tak akan di sisimu, tak bisa memasangkan dasi untukmu. Sedangkan keretan gas, pakailah nanti jika kau mulai merokok.
Galih, aku tahu mengapa ayah sangat membenci hubungan kita. Aku telah dijodohkan dengan lelaki berdarah ningrat, sekarang ia masih berkuliah di Fakultas Kedokteran UGM.
Apa dayaku, aku hanya seorang wanita. Aku wanita yang mencintaimu hanya menemui jurang, aku dewasa dalam pelukanmu.”
Galih diam-diam mengagumi sosok Ratna. Galih menuliskan ungkapan hatinya di sepenggal sajak yang juga tak kalah menyentuh.
“Rahasia apa yang diam dalam debaran, saat kau seperti kijang emas meloncat-loncat di hadapanku. Kusimpan wujudmu dari sepi ke sepi, kutoreh hatimu dengan pisau naluri. Diam sendu, hangatmu rindu.”
Tahun 2023 lakon “Gita Cinta dari SMA” ternyata masih mengundang perhatian pecinta film Indonesia. Terbukti rumah produksi Starvision Plus memproduksi ulang film ini. Dibintangi Prilly Latuconsina, Yesaya Abraham, Arla Ailani, dan pemeran lainnya. Disutradarai Monty Tiwa.
Masih di periode yang sama di tahun 1980, sukses film “Gita Cinta dari SMA” disusul kumudian film drama musikal “Puspa Indah Taman Hati” yang disutradarai Arizal. Film produksi Tiga Sinar Mutiara Films ini kembali dibintangi pasangan Rano Karno dan Yessy Gusman, artis yang memang naik daun sangat diidolakan remaja Indonesia di masa itu.
Kesuksesan film-film berbasis novel tersebut menggairahkan lahirnya film bergenre serupa, seperti film “Senyummu adalah Tangisku” (1980) yang disutradarai Dasri Yacob.
Film yang diadaptasi dari novel dengan judul sama karya Fredy Siswanto (1978) tersebut, masih mengandalkan kepiawaian akting Rano Karno yang dipasangkan dengan artis Anita Carolina Mohede.
Tahun 1980-an, selain film yang ceritanya berbasis karya sastra; novel, film-film Indonesia bergenre drama percintaan remaja lainnya cukup booming.
Ada film “Tempatmu di Sisiku” yang disutradarai Jopi Burnama. Film ini masih menempatkan Rano Karno sebagai pemeran utamanya yang diduetkan dengan Lydia Kandou.
Rano Karno memang aktor fenomenal dan menjadi bintang idola remaja dalam rentang waktu akhir tahun 70-an hingga 80-an. Hal ini menyebabkan banyak perusahaan film mengontraknya dan dipasangkan dengan artis-artis lain yang juga populer di masa itu.
Selain Yessy Gusman, Anita Carolina Mohede, dan Lydia Kandou, artis Joice Erna juga sempat menjadi lawan main Rano Karno dalam. Kedua artis ini tampil dalam film “Suci Sang Primadona” (1977) yang disutradarai Arifin C. Noer.
Selanjutnya Uci Bing Slamet lewat film “Kisah Cinta Tomi dan Jerri” (1980) disutradarai Yung Indrajaya, dan Marissa Haque dalam film “Kembang Semusim” (1981) sutradara M.T. Risyaf.
Zoraya Perucha lewat film “Yang” (1983) disutradarai Ami Prijono. Paramitha Rusady dalam film “Ranjau-Ranjau Cinta” (1984) disutradarai Nasrie Chepy, dan Sally Marcelina lewat film “Macan Kampus” (1987) disutradarai Adisoerya Abdy.
***
Menandai Bangkitnya Film Indonesia
Tahun 2002, film “Ca Bau Kan” ikut menandai awal bangkitnya industri perfilman nasional setelah mengalami matisuri selama 12 tahun (1992 – 2004).
Film drama romantis yang disutradarai Nia Dinata ini diangkat dari novel “Ca-Bau-Kan: Hanya Sebuah Dosa” karya Remy Sylado. Film ini dibintangi Ferry Salim, Lola Amaria, Niniek L. Karim, dan Alex Komang.
Film “Ca Bau Kan” muncul di tengah merosotnya penonton film. Bioskop sepi penonton. Banyak bioskop tidak beroperasi dan gulung tikar. Termasuk bioskop tempat saya dulu sekolah akting dan belajar mengolah daya hidup akhirnya menjadi sarang burung wallet.
Namun film “Ca Bau Kan” mengundang perhatian lewat ajang apresiasi perfilman internasional Asia Pacific Film Festival tahun 2002, dan di Palm Springs International Film Festival tahun 2003.
Di Asia Pacific Film Festival sutradara film ini Nia Dinata mendapat penghargaan Best New Director, dan Iri Supit selaku Penata Artistik mendapat anugerah Best Art Direction.
Di tahun-tahun bergairahnya kembali produksi film Indonesia ini juga mendorong kami dari Komunitas Pecinta Film Indonesia & BP2N (Badan Pertimbangan Perfilman Nasional) menggelar “Pameran Seni Rupa Film Indonesia 2003” dalam rangka Peringatan Hari Film Nasional 2003.
Acara ini semacam ingin menjawab kegulanaan kami karena lebih dari satu dasawarsa tidak ada ajang apresiasi film; Festival Film Indonesia (FFI) dan langkanya produksi film Indonesia.
Film lain yang ikut menandai kebangkitan perfilman Indonesia, antara lain; film “Petualangan Sherina” yang dirilis lebih dulu tahun 2000, dan film “Ada Apa dengan Cinta?” yang dirilis tahun 2002.
Film “Petualangan Sherina” disutradari Riri Riza, dengan pemeran utama Sherina Munaf dan Derby Romero. Film “Ada Apa dengan Cinta?” disutradarai Rudi Soedjarwo, dibintangi Nicholas Saputra dan Dian Sastrowardoyo.
Film-film tersebut setidaknya menjadi pengobat rindu para pencinta film Indonesia akibat kelangkaan produksi film dalam negeri selama kurang lebih 12 tahun (1992 – 2004).
Selama periode tersebut juga tidak diselenggarakan Festival Film Indonesia (FFI) yang dulu menjadi kebanggaan masyarakat dan insan perfilman Indonesia.
FFI pernah diselenggarakan tahun 1955, 1960, 1973 — kemudian terus-menerus setiap tahun hingga tahun 1992. Setelah itu terhenti selama 12 tahun hingga tahun 2004.
Terhentinya FFI memang sangat dipengaruhi merosotnya jumlah produksi film bioskop. Sejak itu dunia perfilman Indonesia tidak memiliki sarana untuk menilai dan mendorong kreativitas dan produksivitas pembuatan film bioskop.
Seiring dengan maraknya pembutan film televisi, perhatian kemudian beralih ke penyelenggaran fistival film kompetitif untuk film televisi (film for television) yang disebut sinetron — singkatan dari Sinema Elektronik.
Festival yang dinamakan Festival Sinetron Indonesia (FSI) ini dilaksanakan sejak tahun1994, kemudian juga terhenti tahun 1998 sampai sekarang.
***
Di tahun 2000-an banyak juga karya-karya film berbasis cerita yang mengadopsi novel. Ada film “Laskar Pelangi” (2008) disutradarai Riri Riza. Ceritanya juga berdasarkan novel berjudul sama, karya Andrea Hirata.
Lalu film “Ayat-Ayat Cinta 1” (2008) disutradarai Hanung Bramantyo, dan “Ayat-Ayat Cinta 2” (2017) disutradarai Guntur Soehardjanto. Selanjutnya film “Ketika Cinta Bertasbih” (2009) disutradarai Chaerul Umam. Ketiga film tersebut ceritanya diadopsi dari novel dengan judul serupa, karya Habiburrahman El Shirazy.
Berbeda dengan film “Sang Pencerah” (2010) besutan sutradara Hanung Bramantyo. Film ini justru menginspirasi wartawan dan sastrawan Akmal Nasery Basral yang menuliskan kisahnya dalam bentuk novel dengan judul serupa.
Akmal Nasery Basral menuliskan kisah kehidupan KH. Ahmad Dahlan dan perjuangannya mendirikan Muhammadiyah dalam bentuk karya novel berdasarkan skenario film “Sang Pencerah.”
Ada juga film “Di Bawah Lindungan Ka’bah” (2011). Film ini merupakan adaptasi dari novel karya Buya Hamka berjudul sama, yang dirilis tahun 1978.
Di sepuluh tahun terakhir ini masih banyak sineas dan rumah produksi mengadaptasi kisah-kisah dari novel ke layar lebar. Bahkan genre yang disuguhkan juga bermacam-macam; horror, romantis, komedi, misteri, thriller hingga biografi.
Ada film “Perahu Kertas” (2012), “3. 5 cm” (2012), “Dilan 1990” (2018), “Imperfect” (2019), “Mariposa” (2020), dan judul lainnya yang tidak semua saya ingat dan saya tonton.
Hingga di penghujung tahun ini ada film “Tenggelamnya Kapal Van der Wijck” (2023) disutradarai Sunil Soraya. Film ini dialihwahanakan dari novel berjudul sama, karya Buya Hamka.
Kemudian ada “Sewu Dino” (2023) dari novel horor karya Simpleman, sutradara Kimo Stamboel. Film “Jalan yang Jauh Jangan Lupa Pulang” (2023) mengadaptasi karakter yang ada di novel karya Marcella FP, sutradara Angga Dwimas Sasongko.
Film “Bismillah Kunikahi Suamimu” (2023) diadaptasi dari novel berjudul sama karya Vyntiana Itari, sutradara Benni Setiawan, dan film “Jendela Seribu Sungai” (2023) yang disutradarai Jay Sukmo.
Film Cerdas “Jendela Seribu Sungai”
Walau belum membaca novel dan menonton filmnya, dari segi gagasan tentu saya sangat mengapresiasi atas dirilisnya film “Jendela Seribu Sungai” yang juga diadaptasi dari novel judul serupa, karya Miranda Seftiana.
Kita memerlukan kecerdasan serupa yang berpihak pada potensi daerah. Masyarakat perlu diedukasi, dan film adalah media tepat untuk mendidik dengan cara menghibur.
Film “Jendela Seribu Sungai” menurut hemat saya gagasannya menarik dengan konten berbasis kearifan lokal. Bercerita tentang masyarakat Banjar, budaya Banjar, dan budaya suku Dayak Meratus. Film yang mengekspos keindahan Banjarmasin, seperti sungai Martapura dan pasar Apung.
Film “Jendela Seribu Sungai” membangun ikatan emosional. Mengangkat keluhuran budaya (local wisdom). Bentuk pemberdayaan film Indonesia sebagai sarana promosi wilayah (potensi daerah).
Menyatukan semua komponen triple helix (akademik, pengusaha, dan pemerintah) – Pusat dan Daerah. Bersama-sama menggerakkan ekonomi kreatif Indonesia, melalui industri perfilman tanah air.
Film “Jendela Seribu Sungai” karya fiksi. Tetapi setting ceritanya dibangun mendekati realitas kehidupan masyarakat setempat. Film independen; karena seluruh proses produksi hingga pembiayaan murni dari masyarakat, yang menginginkan film tumbuh menjadi industri besar dan menjadi kekuatan budaya.
Melalui spirit film model “Jendela Seribu Sungai” ini kita berharap industri film bertumbuh, terutama di daerah. Sebuah film yang mampu berkomunikasi secara efektif dengan penontonnya, serta dapat menampung jutaan pekerja yang menggantungkan nasibnya di industri ini.
Adaptasi Karya Sastra ke Film Tetap Menarik
Kecenderungan adaptasi karya sastra ke film menarik ditelaah. Kenyataannya banyak penulis skenario film yang terus-menerus memanfaatkan karya sastra sebagai sumber inspirasinya.
Banyak penikmat film menyukai film yang ceritanya diadaptasi dari karya sastra seperti novel. Sebagian dari mereka tertarik karena sudah tahu cerita film tersebut lewat membaca novelnya.
Atau barangkali ada variabel lain yang mungkin lebih menarik dari sekedar ceritanya yang berbasis sastra/novel. Misalnya dari sisi sinematik yang bersifat futuristik; jenis film fantasi, seperti Superman, Batman, The Lord of the Rings, dan jenis film fantasi lainnya.
Sepatutnya kita terus mendukung dan merangsang adanya karya sastra yang turut serta memajukan film di Indonesia. Tetapi persoalannya memang bukan semata ketersediaan karya-karya tersebut. Melainkan masalah adaptasi teknis karya tulis ke dalam karya sinematik yang mediumnya berbeda.
***
Kesimpulan saya sebagaimana tema diskusi ini; “Bincang-Bincang Sastra dan Film – Dulu dan Sekarang” — menonton adalah proses membaca.
Bahwa; film dengan bentuknya yang memadukan elemen naratif dan sinematik menjadikannya karya ini perlu dibaca secara berbeda. Tak hanya naratif (intrinsik), unsur sinematik juga perlu dibaca sebagai teks. Semua elemen dalam film memuat pesan dan maksud tertentu.
Jadi perlakukan film layaknya film. Seperti puisi, film disampaikan melalui pesan simbolis, kiasan, dan atau bahasa figuratif lainnya. Seperti prosa, film juga sarat dengan elemen naratif.
Film disampaikan melalui bahasa visual dan verbal. Film memiliki bahasa khas; visual; sinematik yang boleh jadi dapat diperlakukan berbeda dari genre sastra tertulis./***
Jakarta, 5 Desember 2023
Eddie Karsito, adalah mantan pekerja bioskop, dan pengelola portal berita humaniora.id
______________________________
)* Makalah ini disampaikan dalam acara “Bincang-Bincang Sastra dan Film – Dulu dan Sekarang” yang diselenggarakan Dewan Kesenian Kabupaten Bogor (DKK) bekerjasama dengan Dinas Perpustakaan & Arsip Provinsi DKI Jakarta & Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin, di Taman Ismail Marzuki Jakarta, 5 Desember 2023.
Alhamdulilah, semoga karya-karya memberi ispirasi genetrasi masa depan.
Amin, Amin. terima kasih