humaniora.id – Saat meresmikan Taman Mini Indonesia Indah yang telah selesai direvitalisasi, Presiden Joko Widodo meyakini bahwa kawasan yang digagas oleh Ibu Tien Soeharto itu akan menjadi ikon besar pariwisata, dengan konsep inklusif, culture, dan smart (Kompas, 2/9/2023). Konsep yang mengesankan. Namun, diperlukan telaah kritis untuk mendudukkan perkaranya.
Kembalinya pengelolaan TMII ke tangan negara, yang diikuti dengan terbitnya Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Taman Mini Indonesia Indah, dengan penegasan bahwa TMII adalah ”kawasan pelestarian dan pengembangan budaya bangsa” patut disambut sebagai moment of luck, yang akan menggulirkan perubahan: pemikiran, sikap, dan tindakan, tentang kebudayaan, ke arah yang lebih baik, selain pandangan dan perlakuan yang benar terhadap TMII.
Harus diingat bahwa peraturan itu mengandung amanat yang mengikat. Ia wajib diimplementasikan dengan memperhatikan keberadaan, potensi, kepentingan, dan martabat segala yang ada dan terkait di dalamnya.
Sesungguhnya, TMII adalah laboratorium, ruang konservasi, ruang pendidikan, ruang proses kreatif, ruang ekspresi kebudayaan dan kesenian. Usulan yang pernah diajukan oleh Kemendikbudristek kepada Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) untuk menetapkan TMII sebagai Warisan Budaya Tak Benda Dunia dengan kategori Best Practice of Intangible Cultural Heritage, ikut pula menegaskan fakta bahwa TMII bukanlah onggokan benda-benda mati, melainkan kawasan perlindungan, pengembangan, dan aktivitas budaya.
Sebagai kawasan pengembangan budaya, menguat tuntutan agar TMII menjadi kawasan yang memuliakan beragam bentuk ekspresi seni. Tidak semata kesenian tradisi, tetapi juga kesenian nontradisi, modern, dan kontemporer, serta karya-karya baru yang berbasis budaya lokal. Mengembangkan fungsi-fungsi aktivasi sumber daya dan potensi, dan penyemaian gagasan-gagasan baru yang bernas, sebagai fungsi strategis yang terhubung intensif ke jejaring yang luas. Dengan Taman Budaya di berbagai daerah, dengan ruang-ruang budaya seperti Bentara Budaya, pusat-pusat kebudayaan asing di Jakarta dan kota-kota dunia, serta kantong-kantong seni dan budaya yang dikelola oleh masyarakat di berbagai pelosok Indonesia.
Gerakan Kebudayaan
Goenawan Mohamad, lewat kolom Catatan Pinggir-nya (Tempo, 4/2021), pernah menulis kritik tentang TMII yang ia sebut sebagai ”kitsch” dan klise, yang ”dibangun dengan konsep yang hanya mengulang-ulang kebinekaan yang beku”. Adapun perbedaan, hanya dilambangkan dengan ”sesuatu yang sudah jadi: bangunan rumah”. Baiklah. Namun, bagaimanapun, kawasan itu masih tegak di sana, lebih dari sekadar sebagai taman hiburan. Selama hampir 50 tahun usianya, anjungan-anjungan di sana—rumah-rumah itu—ternyata melahirkan banyak seniman dan peristiwa kesenian.
TMII telah tumbuh dan berkembang sebagai entitas. Ia berbeda dengan Taman Impian Jaya Ancol, Taman Safari Indonesia, apalagi Kebun Binatang Ragunan. Akal yang sehat akan menolak pula apabila ia disamakan dengan Borobudur, Mandalika, atau Labuan Bajo. Akan adil apabila mendudukkan TMII hari ini sebagai lebensraum, yang menghidupkan dan dihidupkan oleh para seniman dan budayawan, pemangku kepentingan yang inheren dalam setiap peristiwa yang berlangsung di sana. Para kreator yang eksistensinya secara empiris dan faktual ada, sah.
Kita berharap, di kawasan hijau itu kelak, Riau Rhythm Chamber, campur sari, musikalisasi puisi, dulmuluk, world music, ronggeng Melayu, gambang kromong, pentas puisi Sutardji Calzoum Bachri, opera Batak, diskusi budaya, jazz etnik, happening art, keroncong tugu, longser, kecapi dari Mongolia, samrah Betawi, teater Mandiri Putu Wijaya, pantun dan gurindam, kelompok musik Horja Bius, gemuruh perkusi Afrika, pameran lukisan Joko Pekik, pemutaran film retro Teguh Karya, dan sebagainya bisa duduk bersama. Semua mendapat tempat, gembira, bermartabat, dan berwibawa. Sepanjang hari, sepanjang tahun. Saling berinteraksi, memperkaya, dan menajamkan kualitas. Melahirkan karya monumental dengan virtuoso yang kuat. Memberi warna bagi kebudayaan dan kesenian dunia.
Dengan demikian, TMII akan menjadi rumah besar bagi gerakan kebudayaan. Menjadi ”titik api”, dan tungku penghangat gairah berkebudayaan dan berkesenian di berbagai penjuru negeri ini. Kembalinya TMII kepada negara mutlak harus diikuti dengan keberpihakan kepada kedaulatan seniman. Ruang-ruang pertunjukan yang semula dibangun untuk pementasan kesenian harus dikembalikan fungsinya. Tidak lagi dipergunakan untuk segala macam urusan memalukan yang tidak berhubungan sama sekali dengan kesenian, seperti acara pernikahan, wisuda, reuni, dan sebagainya.
Gedung pertunjukan yang rusak segera direvitalisasi, semisal gedung Teater Tanah Air, yang dahulu dibangun berdasarkan studi ke Sydney Opera House di Australia dan panggung teater broadway di New York. Penting pula dirancang dengan serius, penyediaan ruang-ruang pementasan di berbagai titik: teater arena, teater halaman, dan teater terbuka, serta ruang-ruang pelatihan kesenian, ruang diskusi, ruang lokakarya, galeri pameran, perpustakaan, dan wisma seni yang murah dan nyaman.
TMII harus dipersiapkan menjadi pusat kebudayaan dunia. Jika negara hari ini tengah sibuk membangun infrastruktur ekonomi, TMII sebagai infrastruktur kebudayaan, satu-satunya milik negara, seharusnya juga mendapat perhatian khusus.
Pembangunan kebudayaan, prasarana, sarana, dan manusianya adalah investasi immaterial. Tidak sepatutnya TMII ”diperas” menjadi obyek penghasil pendapatan negara, dengan kalkulasi untung rugi sebagai satu-satunya tolok ukur. Aktivitas kebudayaan yang berlangsung di dalamnya akan terdisrupsi, sebagai komoditas dan hiasan seremonial kepariwisataan belaka. Semacam topeng monyet, dengan kemasan murahan, pemuas selera turistik yang tidak berfaedah sedikit pun bagi pemajuan kebudayaan. Seakan-akan melestarikan kebudayaan, tetapi malah mengerdilkan.
Paradigmanya harus dibalik. Tetapkan lebih dulu komitmen yang kuat dan konsisten bahwa TMII adalah ruang perayaan kebudayaan, baru bicara urusan kepariwisataan. Penamaan TMII yang baru, katakanlah: Taman Budaya Nasional, Taman Budaya Indonesia, atau Taman Budaya Nusantara, menjadi penting untuk menjelaskan perannya sebagai atmosfer yang memberi nyawa bagi kebudayaan. Ikhwal yang sejalan dengan ketentuan perundang-undangan yang menaunginya, konteks akademik, sejarahnya, dan kerangka kerja yang selama ini diterapkan.
TMII akan menciptakan branding dengan karakter yang kuat, dengan spirit baru. Tidak lagi mencitrakan diri sebagai ”miniatur”, tetapi menjadi representasi Indonesia yang besar, kepulauan (archipelago) dengan segala keragaman dan kekayaan kebudayaan.
Dengan begitu, ke depan, kita bisa membayangkan TMII bertransformasi sebagai taman budaya berskala dunia. Lanskap yang meriah, hangat, menggairahkan, dan terbuka bagi segenap dinamika kebudayaan. Tak lagi dipandang remeh, sebagai kitsch, klise, artefak dan fosil masa lalu warisan Orde Baru, etalase unggah-ungguh dengan polesan budaya artifisial, gundukan bangunan hampa yang tidak bertaksu, yang (selama ini) diramaikan oleh wahana ganjil: California Fried Chicken, Snow Bay, Sky World, Taman Dinosaurus, keriuhan aktivitas penghibur acara piknik keluarga.
Gerakan pemajuan kebudayaan yang diterapkan secara benar di TMII, dipastikan akan menjadi episentrum bagi gerakan yang sama di berbagai pelosok negeri ini. Menghidupkan kembali kebanggaan pada kebudayaan sendiri, kepada kearifan lokal, kepada keberagaman, kepada khazanah etnis dan tradisi, yang belakangan ini terancam oleh gerusan politik identitas dan primordialisme banal./*
Tatan Daniel, adalah Penyair Mantan Kepala Anjungan Sumatera Utara di TMII (2010-2019)