humaniora.id – Taman Ismail Marzuki adalah rumah besar kaum seniman. Seperti Gelanggang Olahraga Bung Karno (yang kini disempitkan dengan akronim GBK itu) ia menjadi arena pergulatan gagasan. Lapangan unjuk kepiawaian olah pikir dan karya. Ruang perhelatan dan perayaan karya seni yang memberi sumbangan bangunan kebudayaan. Dari sana pula, kebanggaan (national pride) dibuhulkan sebagai bangsa yang cerdas, arif, dan bermarwah.
Memang, kini sudah tak relevan lagi, mendudukkan Taman Ismail Marzuki atau Gelanggang Olahraga Bung Karno sebagai pusat (center) di peta nasional. Semangat desentralisasi politik dan pemerataan pembangunan pasca rezim Orde Baru, menguatkan kehendak bersama untuk menghidupkan daerah sebagai titik-titik pertumbuhan, dan perkembangan, tidak hanya kehidupan ekonomi dan sosial, tapi juga kebudayaan. Selera memusat-musatkan segala sesuatu, mulai dikurangi.
Tapi, bagi Jakarta, kawasan Taman Ismail Marzuki tetaplah menjadi pusat. Pusat Kesenian Jakarta, sebagaimana diniatkan sejak diresmikan pada tahun 1968. Pusat aktivitas kesenian, bagi sejumlah wilayah, termasuk Kepulauan Seribu. Pusat kesenian, yang menurut Goenawan Mohamad (Tempo, 2018), “harus terbebas dari intervensi yang memencongkan tujuannya. Ia harus merdeka dari pengekangan kreativitas. Ia perlu dikelola orang-orang yang kenal baik dunia kesenian, yang bisa mengelola mutu artistik dengan independensi yang luas.”
Berita Kompas (31/3), “Kisruh TIM Mencuat Lagi,” menyuratkan perkara serius. Menggedor dan menyesakkan. Karena pamor Taman Ismail Marzuki sebagai rumah besar seniman itu ternyata sudah rontok. Terasa benar kini, bahwa tak ada lagi hak seniman di sana. Yang mencuat adalah ikhwal transaksi: tarif sewa, bagi hasil, atau subsidi. Dan seniman, ‘diwakili’ oleh Dewan Kesenian Jakarta, mati pucuk dan lempar handuk. Bulan Film Nasional yang sudah diprogram lama, dibatalkan, karena Kineforum, bioskop mini, ruang pemutaran film alternatif dan diskusi film, yang hendak dipakai oleh Komite Film DKJ, digembok. Dua bioskop yang dinamai dengan nama dua tokoh film nasional, Asrul Sani dan Sjuman Djaya itu, bisa dibuka, jika jelas cara pembayarannya. PT Jakarta Propertindo (Jakpro) yang kini menguasai ruang kesenian itu telah bertindak sesuai dengan kodratnya sebagai institusi pencari laba.
Ketika TIM diresmikan pada tahun 1968 oleh Ali Sadikin, agaknya tak pernah ada yang membayangkan lebensraum kesenian itu akan dikelola oleh sebuah perusahaan.
Ambyarnya rencana Bulan Film Nasional itu, sama dengan bubarnya Tim U-20 Indonesia, yang tak bisa lagi bermain lantaran terganjal urusan ganjil. Urusan yang terkait dengan nalar rumit yang tak mudah dipahami. Yang bermuara dalam bentuk praktik berpikir yang banal. Kedua kasus itu, tak pelak, menjadi catatan sejarah yang memalukan.
Tak bisa menggunakan fasilitas yang ada di TIM, karena si seniman (baca: Dewan Kesenian Jakarta) harus membayar sewa, sungguh tak masuk akal. Padahal, dulu, disebutkan bahwa seluruh kawasan Taman Ismail Marzuki adalah modal Dewan Kesenian Jakarta. Dengan semua yang ada di sana, Dewan Kesenian Jakarta diharapkan bisa bekerja, menghidupkan, mengembangkan, dan memajukan aktivitas kesenian, termasuk film.
Ekky Imanjaya, Ketua Komite Film DKJ, dalam acara pembukaan kembali Kineforum pada bulan September tahun lalu dengan bersemangat menyatakan: “Dengan dibukanya kembali Kineforum, diharapkan menjadi wadah pertemuan para pemangku kepentingan film, baik produser, wartawan film, distributor, kritikus film, hingga masyarakat. Memperkuat ekosistem film, baik dari sisi edukasi maupun apresiasi.”
Tapi, apa lacur? Kineforum yang berada di bawah Dewan Kesenian Jakarta itu sudah menjadi ‘barang dagangan.’
Selain membayar sewa, atau bagi hasil, ditawarkan oleh Jakpro skema ketiga, yaitu penerbitan surat rekomendasi subsidi penggunaan ruang dari Dinas Kebudayaan DKI Jakarta. Subsidi itu, nantinya akan dihitung sebagai hutang Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kepada Jakpro.
Skema subsidi seperti itu, jika dirunut, tak lain adalah buntut dari Peraturan Gubernur Nomor 63 Tahun 2019 yang blunder, yang memaksakan Jakpro menjadi pengelola Taman Ismail Marzuki selama 28 tahun. Peraturan yang mengamputasi kewenangan Dinas Kebudayaan DKI Jakarta, dan melimpahkan kewenangan itu kepada PT Jakpro. Dengan Pergub itu Jakpro dibebaskan menyewakan seluruh ruang dan bangunan yang direvitalisasi olehnya, dengan tarif yang mereka tentukan sendiri. Misalnya, Graha Bakti Budaya yang baru, konon ditetapkan oleh Jakpro sewanya Rp 205 juta per hari. Jika seniman tidak mampu membayar, maka ada pilihan mendapat subsidi dari APBD Jakarta sebesar Rp 133 juta. Seniman ‘cukup’ membayar Rp 72 juta saja (!).
Subsidi sewa tempat ‘milik’ PT Jakpro, digelontorkan lewat meja Dinas Kebudayaan DKI Jakarta. Dinas Kebudayaan yang berdasarkan Peraturan Daerah resmi ditugasi sebagai pengampu dan pemangku urusan kebudayaan, malah dapat tugas sampingan menjadi juru bayar untuk kelancaran urusan PT Jakpro dalam mengelola urusan kesenian. Sungguh ngawur! Untunglah, Peraturan Gubernur tentang subsidi itu belum diteken oleh Gubernur, baik yang lama maupun yang baru.
Subsidi seperti itu, menurut Butet Kertaradjasa dalam sebuah diskusi, adalah muslihat akal-akalan, subsidi yang keluar dari saku kanan masuk ke saku kiri. Dari APBD, kembali ke APBD (sebagai sesuatu yang dianggap laba perusahaan, yang wajib disetor ke kas daerah). Tapi sebenarnya, sebagian besar sangkut di saku PT Jakpro sebagai biaya pemeliharaan, beban pajak, dividen, dan sebagainya. Si seniman yang berpentas malah tidak mendapat apa-apa. Bahkan masih harus membayar Rp 72 juta. “Jakpro mencangkul dan berladang di punggung seniman!” ujar seorang seniman, marah.
Padahal sesungguhnya, yang paling berhak mendapatkan subsidi itu adalah para seniman. Semacam renumerasi, dalam bentuk penyediaan bantuan biaya produksi, dan sebagainya.
Jadi, itu subsidi yang aneh, yang tak ada dalam kamus dan rumus bisnis di negeri kapitalis mana pun. Tak bisa dibenarkan. Perusahaan, BUMD yang bergiat dalam urusan pembangunan properti itu, terlarang memperoleh subsidi, apalagi dengan mekanisme manipulatif seperti itu.
Blunder, kerancuan, dan kejanggalan itu harus segera diakhiri. Maka, Peraturan Gubernur yang mengusung PT Jakpro bercokol di Taman Ismail Marzuki, peraturan nyeleneh yang menjadi biang ‘kerusuhan’ itu, harus segera dicabut. Jika tidak, perlakuan buruk seperti yang dialami oleh Komite Film Dewan Kesenian Jakarta itu akan terus terjadi. Korban-korban akan berjatuhan. Kegiatan kesenian akan terhambat. Yang dirugikan, moriel maupun materiel, tentulah para seniman, mereka yang proses kreatif pengkaryaannya terhambat. Tapi, patut diingat bahwa kerugian juga dialami oleh masyarakat luas, yang terhambat mendapatkan asupan tontonan kesenian yang bagus. Tentu, dengan biaya yang terjangkau oleh kocek mereka.
Pembiaran akan membuat luka menjadi borok. Dan penyakit akan menjalar kemana-mana. Menjadi preseden buruk, yang justru bukan tak mungkin akan ditiru bulat-bulat para Gubernur dan Bupati sebagai model pengelolaan kawasan kesenian di daerah masing-masing, sebagaimana cek ombaknya sempat dilakukan penguasa setempat terhadap Taman Budaya Sumatera Barat, yang merencanakan pembangunan hotel komersial di sebagian kawasannya.
Tak ada pilihan lain, untuk menggantikan PT Jakpro, kecuali dengan selekas mungkin membentuk Badan Layanan Umum Daearah (BLUD) Pusat Kesenian Jakarta – Taman Ismail Marzuki. Seperti yang diterapkan untuk Museum Nasional, Galeri Nasional, dan Museum Benteng Vredeburg.
Kalangan seniman, yang diwakili oleh FSP-TIM sejak awal sudah melakukan kajian kritis tentang hal itu. Kelebihan BLUD, yang berbeda dengan BUMD seperti PT Jakpro ialah ia tidak dibebani pajak perusahaan, masih bisa mendapatkan potongan tarif listrik dari PLN (berupa tarif khusus untuk kantor pemerintah), dan yang terpenting ia tidak diwajibkan memburu laba dan rente. Dan masih bisa mendapatkan subsidi dari APBD, karena tugas dan fungsinya yang murni untuk pelayanan publik, dengan mengedepankan manfaat (benefit) ketimbang profit.
Jika pun revitalisasi Taman Ismail Marzuki dibiayai lewat penanaman investasi atas nama PT Jakpro, maka upaya divestasi harus segera dilakukan. Malpraktik kebijakan yang telah terjadi harus diakui dan diluruskan. Pihak eksekutif dan legislatif harus segera duduk satu meja. Begitu pula pihak Pemerintah Jakarta, dan Pemerintah Pusat.
Sesungguhnya publik juga sangat paham bahwa tidak ada kewajiban bagi PT Jakpro untuk membayar cicilan hutang dengan alasan telah dimodali oleh Pemprov Jakarta. Karena pembiayaan revitalisasi Taman Ismail Marzuki adalah melalui dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) bagi masyarakat terdampak pandemi Covid-19 kemarin, yang jika pun harus dikembalikan ke pusat, itu adalah hutang Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Lebih dari itu semua, komersialisasi Taman Ismail Marzuki berpotensi melanggar amanat Undang-undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Bahwa kawasan kesenian yang telah menjadi situs kebudayaan itu, harus dilindungi, dan dikelola dengan cara-cara yang bermartabat.
TIM bukanlah kawasan yang tiba-tiba muncul dari perut bumi. Atau sekonyong-konyong berdiri karena dibangun oleh PT Jakarta Propertindo. Ia adalah sejarah. Warisan yang lahir dari gagasan besar dan kecerdasan para tokoh visioner dimasanya: Ajip Rosidi, dan kawan-kawan. Mereka yang paham betul bahwa seniman dan kesenian itu, bahwa nilai-nilai yang mereka hidupkan dan persembahkan kepada bangsa ini, bukan dilahirkan dari rahim teori dagang, selera jual beli, dan kemaruk untung laba.
Tatan Daniel, Penyair, Aktivis Forum Seniman Peduli TIM