JAKARTA, humaniora.id – Ketua MPR RI sekaligus Dosen Tetap Pascasarjana Universitas Borobudur dan Ketua Dewan Pembina Alumni Doktor Ilmu Hukum UNPAD Bambang Soesatyo akan menjadi Keynote Speech pada The 5th National Conference on Law Studies (NCOLS), dengan tema “Partisipasi Masyarakat Dalam Mewujudkan Negara Hukum Kesejahteraan (Welfare State) Indonesia”. Diselenggarakan Fakultas Hukum (FH) Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta, di Auditorium Bhineka Tunggal Ika, UPN Veteran Jakarta, pada 27 Juli 2023.
Selain Bamsoet, para narasumber lainnya yakni Kepala Kejaksaan Tinggi Bali Dr. Narendra Jatna, Guru Besar Hukum Tata Negara UPN Veteran Jakarta Prof. Dr. Wicipto Setiadi, Guru Besar Hukum Pidana UPN Veteran Jakarta Prof. Dr. Bambang Waluyo serta Guru Besar Hukum Bisnis Universitas Muhammadiyah Malang Prof. Dr. Rahayu Hartini.
“Konsep negara kesejahteraan (welfare state), pada awal kelahirannya di Eropa tumbuh dari pemikiran sederhana, yaitu bahwa kebijakan yang dibuat oleh pemerintah sebagai representasi negara harus dapat membahagiakan dan mensejahterakan banyak orang. Konsep negara kesejahteraan telah mengoreksi sistem kapitalis dan sosialis yang dinilai melahirkan kesenjangan ekonomi dan sosial. Di Indonesia, kita memiliki Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, yang dapat dijadikan rujukan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan rakyat,” ujar Bamsoet saat menerima Rektor UPN Veteran Jakarta Dr. Anter Venus bersama Wakil Dekan FH UPN Veteran Jakarta Taupiqqurrahman, di Jakarta, Senin (26/6/23).
Ketua DPR RI ke-20 dan mantan Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini menjelaskan, dalam sejarah kelahiran Pancasila, isu kesejahteraan rakyat telah mendapat perhatian khusus dan pemikiran mendalam dari para founding fathers. Semua bermuara pada lahirnya rumusan sila kelima Pancasila, yaitu “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Kemudian diturunkan dalam beberapa pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sebagai pengejawantahan nilai-nilai dasar konsep kesejahteraan yang terkandung dalam Pancasila.
“Misalnya, pasal 27 ayat (2) yang mengatur hak warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Pasal 28 h mengenai hak setiap orang untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta memperoleh pelayanan kesehatan. Pasal 31 menjamin hak hak warga negara untuk memperoleh pendidikan. Pasal 34 yang mengatur tanggungjawab negara terhadap fakir miskin dan anak terlantar, pengembangan sistem jaminan sosial, serta penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak,” jelas Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar dan Kepala Badan Hubungan Penegakan Hukum, Pertahanan dan Keamanan KADIN Indonesia ini menerangkan, untuk mengetahui sejauh mana konsep negara kesejahteraan terealisasi, setidaknya dapat diukur dengan 18 indikator. Antara lain dari data Pengeluaran per kapita, angka harapan hidup, persentase penduduk miskin, persentase rumah tangga yang mampu hidup layak, jumlah pengangguran terbuka, dan lain-lain.
BPS mencatat rata-rata pengeluaran per kapita penduduk Indonesia (perkotaan dan perdesaan) sebesar Rp 1,28 juta sebulan pada September 2021, angka harapan hidup pada 2022 mencapai 73,5 tahun, persentase penduduk miskin pada September 2022 sebesar 9,57 persen, persentase rumah tangga yang memiliki akses hunian layak dan terjangkau sebesar 60,68 persen pada 2022, tingkat pengangguran terbuka (TPT) per Agustus 2022 mencapai 5,86 persen.
“Merujuk pada berbagai indikator tersebut, harus diakui bahwa konsep kesejahteraan yang dicita-citakan oleh Pancasila dan konstitusi kita masih belum sepenuhnya terpenuhi. Banyak capaian yang telah diraih, namun masih lebih banyak lagi yang belum diraih. Untuk mewujudkan kesejahteraan, sendi-sendi yang menopang sistem perekonomian dan sistem sosial harus terus menerus kita perkuat, kita lindungi dan kita kembangkan,” pungkas Bamsoet./*