humaniora.id – Stereotyping terhadap peran perempuan dalam kelas sosial masih melekat pada bias gender. Hal ini antara lain menjadi faktor pemicu munculnya metafora glass ceiling (penghalang atau pembatas).
Namun hambatan tersebut tidak menurunkan kesempatan perempuan menduduki jabatan dan atau pekerjaan tertentu. Faktanya perlakuan tersebut tidak berlaku bagi para perempuan pekerja di sektor industri perfilman.
Hal ini terungkap dalam acara Talkshow “7 Female Sinematografer” yang berlangsung di Rooftop Gedung Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail (PPHUI) HR.Rasuna Said, Kavling C 22. Kuningan Jakarta, Senin (30/10/2023).
Acara yang diselenggarakan KAV 22 Divisi Penyutradaraan KFT (Persatuan Karyawan Film dan Televisi Indonesia) secara off-line dan streaming YouTube tersebut, menampilkan nara sumber tujuh perempuan yang memiliki profesi sebagai sinematografer film dan news.
Mereka adalah; Anggi Frisca (Cinematographer), Rizky Dinihari (Cinematographer), Carita Candra (Cinematographer Dokumenter – under water), Diana (Camera person news), Novita Sari (Camera person News), Indah Revina (Camera person News), dan Mery Yuliana (Camera person News).
“Sinematografer perempuan baik di film, iklan, news, maupun dokumenter profesi langka di Indonesia. Menarik diapresiasi baik secara profile maupun dedikasi dan konsistensinya,” ujar sineas senior Maruli Ara, yang bertindak sebagai penanggung-jawab program ini kepada humaniora.id, di lokasi acara.
Para perempuan kerap berhadapan dengan pilihan atas prioritas mana yang harus didulukan. Apalagi masyarakat Indonesia masih erat dengan sistem yang patriarki.
“Artinya perempuan masih disematkan sebagai kaum yang paling cocok melakukan pekerjaan-pekerjaan domestik,” kata Maruli Ara.
Para Sinematografer perempuan ini mengaku bersyukur setidaknya mendapat dukungan keluarga dan suami. Walau dalam beberapa hal mereka juga menghadapi juga berbagai masalah.
“Namun hambatan tersebut tidak menurunkan semangat kami untuk melakukan profesi yang kami inginkan,” ujar Carita Candra (cinematographer dokumenter – under water).
Para Sinematografer perempuan ini mampu membangun garis demarkasi yang jelas dengan segala tantangan dan resiko. Tidak takut berprofesi yang kebanyak dilakukan oleh kaum lelaki. Tidak ingin dibedakan hanya berdasarkan gender dan ras. Sehingga keadaan ini mampu menciptakan kesetaraan.
KAV 22 adalah wadah atau kelompok diskusi para penggiat film (Audio visual) dibawah Divisi Penyutradaraan Persatuan Karyawan film dan Televisi Indonesia (KFT).
Berorientasi pada pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM), dalam upaya meningkatkan pengetahuan atau wawasan di bidang perfilman baik secara teknis maupun non teknis (skill, knowledge, Attitude).
Penggunaan nama KAV 22 diambil dari kedudukan kantor KFT yang berada di jalan H.R.Rasuna Said Kavling C 22, Karet Kuningan Jakarta.
Kavling C 22 disingkat dengan sebutan KAV 22 menjadi semacam forum diskusi, sebagai wadah pengembangan dari Program Kine Klub Mini (KKM) Divisi Penyutradaraan KFT.
“Diskusi ini dilaksanakan secara periodik sebulan sekali. Terbuka untuk umum baik amatir maupun profesional, perorangan maupun kelompok independen,” terang Ketua KAV 22, Ronny Mepet.
Hadir di acara ini beberapa insan perfilman baik aktor, sutradara, maupun director of photography (DoP), antara lain Slamet Rahardjo Djarot, Effi Zen, Ensadi Djoko Santoso, Bernhard Uluan, Karsono Hadi, Maruli Ara, Ronny Mepet, Dian Nitami, Guntoro Sulung, Didien Rochidien, Edward AN, Maya Azzezah, Vivie Mis Royani, dan seniman film lainnya./*