humaniora.id – “Saya bersedih ‘lihat begini. Saya bersedih! Kita punya gedung yang begitu hebat, ya. Tapi kena hujan tadi, kita nyisir. Kita kayak gembel. Dan yang lebih sedih lagi, saya tak bisa ikut berjuang bersama kalian yang muda-muda. Saya sudah terlalu tua. Lelah saya. Sebab saya, pikiran saya, makan sehari-hari saja sudah susah betul! Jadi saya, dua kali sedih. Sedih melihat diri sendiri. Juga sedih melihat keadaan ini. Lucu sekali! Alangkah menyedihkan. Tetapi apakah kita memikirkan itu?”
Demikian petikan Amanah Kebudayaan yang disampaikan oleh penyair Sutardji Calzoum Bachri pada perhelatan Perayaan Hari Puisi Nasional, Sabtu (28/4) yang dibuka oleh Kepala Dinas Kebudayaan DKI Jakarta, Iwan Henry Wardhana, dan berlangsung meriah di Posko #saveTIM, di kawasan Pusat Kesenian Jakarta – Taman Ismail Marzuki. “Ini adalah kepedulian para seniman, aspirasi yang baik, untuk membangun ekosistem yang lebih baik pula,” ujar Iwan Henry Wardhana.
Hampir setengah jam, penyair nasional penerima Penghargaan SEA Write Award dari Raja Thailand, yang kini berusia 81 tahun, dengan bersemangat menguraikan peta dan suasana perpuisian Indonesia sejak kurun Pujangga Baru, periode Angkatan 45, Angkatan 66, hingga zaman Rendra, Wiji Thukul, dan sekarang.
Ia mengingatkan adanya dua arus besar pemikiran, barat dan timur, dengan tokoh-tokohnya: Sutan Takdir Alisyahbana, H.B. Jassin, Sanusi Pane, Muhammad Yamin, hingga periode Rendra, Arifin C. Noer, dkk. yang menggali kembali seni tradisi.
Menutup amanahnya, dengan suara meninggi, Sutardji menyampaikan keprihatinan berkenaan dengan kondisi Taman Ismail Marzuki yang tidak lagi bisa dipergunakan oleh para seniman dengan nyaman dan leluasa. Dan para seniman tidak boleh berdiam diri.
Ia berpesan, agar para penyair senantiasa meningkatkan nilai dan makna sebagai manusia. Jangan hanya mengulang-ulang. Karena yang mengulang-ulang sepanjang hidupnya adalah makhluk hewan. “Jadi, kalau kau bilang manusia ini lemah, karena berasal dari tanah, ya, jangan kau berhenti hanya menjadi tanah. Tapi dari tanah itu, jadilah mulia. Kau bisa jadi batu mulia. Jiwamu jadi mulia. Kata-katamu jadi mulia. Tapi, kemuliaan itu hanya bisa tercapai, kalau kau letakkan dirimu pada kemuliaan itu. Ada keterhubungan dengan kemuliaan, dengan zat yang mulia. Itulah yang kita pelajari dari tasawuf.”
Acara dengan tajuk “Panjang Umur Puisi Indonesia” yang digelar oleh FSP-TIM kemarin malam, selain dihadiri budayawan Taufik Rahzen, Iwan Burnani (aktor senior Bengkel Teater Rendra), Effendi Saman, SH (kuasa hukum FSP-TIM), diramaikan dengan kehadiran para penyair dari sejumlah komunitas sastra yang bergiat di Jabodetabek, seperti Dapur Sastra Jakarta, Taman Inspirasi Sastra Indonesia, Sastra Reboan, Bengkel Deklamasi, Ruang Puisi Kita, Jagat Sastra Milenial, Komunitas Sastra Semesta, Forum Seniman Indonesia, Komunitas Menteng Jakarta, Komunitas Planet Senen, Penyair Seksih, Teater Jalanan Nusantara, Koloni Seniman Ngopi Semeja/Kesengsem- Depok, Sastra Senja, Geng Sendal Jepit, Komunitas Indonesia Kreatif/KEPIK, Kampung Seni Jakarta, FSP-TIM, dan beberapa lainnya.
Di depan wakil-wakil komunitas sastra itu, Tatan Daniel, aktivis FSP-TIM yang juga peserta Musyawarah Kesenian Jakarta 2022, menyempatkan mengenalkan empat orang kandidat anggota Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta periode 2023-2026, yang direkomendasikan oleh Musyawarah Kesenian Jakarta. Diharapkan keempat kandidat yang aktif bergat di kalangan akar rumput itu; yaitu Sihar Ramses Simatupang, Exan Zen, Imam Maarif, dan Nuyang Jaimee, agar diberi kesempatan oleh Akademi Jakarta untuk melakukan penyegaran dan perubahan dalam kebijakan pengembangan sastra kedepan.
Mujib Hermani, Ketua Umum Federasi Pekerja Seni Indonesia (FPSI) menyebutkan, “Peringatan Hari Puisi Nasional ini sebenarnya momentum. Ada kesadaran kawan-kawan dari komunitas sastra untuk berhimpun. Kurangnya tempat-tempat mereka untuk berekspresi. Saya terharu atas sambutan dari teman-teman komunitas yang anthusias untuk menghadiri acara ini. Ke depannya, ada rencana tadi bersama-sama pimpinan komunitas, kita akan bikin kelanjutan lebih besar, yaitu temu penyair se-Jabodetabek.”
Sementara itu, David Karo-karo dari FSP-TIM menegaskan, “Seniman harus terus berkarya. Persoalannya, Dewan Kesenian Jakarta sekarang sudah tidak berfungsi sebagai perwakilan seniman. TIM juga sudah tidak bisa dimasuki oleh seniman. Maka, kami berbuat, menyelenggarakan berbagai kegiatan, sebagai tanggung jawab bersama, di tempat ini. Dan tetap menuntut tanggung jawab Dewan Kesenian Jakarta!”
Menyikapi secara kritis sejumlah persoalan yang belakangan mengemuka secara luas di ranah publik, dan berkembangnya fenomena tidak sehat yang tengah mengancam ekosistem kesenian di Jakarta, yang potensial mengganggu jalannya kegiatan kreatif dalam proses penciptaan seni, serta fungsi dan kebermanfaatan Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki, disela acara, para seniman dengan diinisiasi oleh Forum Seniman Peduli Taman Ismail Marzuki (FSP-TIM), menyampaikan “Petisi Cikini Raya 73” sebagai pernyataan keprihatinan atas sikap dan kebijakan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) yang abai terhadap berbagai persoalan krusial yang dihadapi oleh para seniman, dan juga PKJ-TIM, yang sebagian besar kawasannya kini sudah dikuasai oleh PT Jakarta Propertindo.
“Para seniman menilai Dewan Kesenian Jakarta tidak sungguh-sungguh berpikir dan bekerja, menjalankan fungsinya sebagai perwakilan kepentingan seniman. Begitu juga dalam menjaga ruang-ruang ekspresi kesenian di TIM, dan di lima wilayah Jakarta, termasuk Gelanggang Remaja!” tegas Nuyang Jaimee, salah seorang penandatangan petisi dari FSP-TIM, yang juga bertugas sebagai pemandu acara.
Petisi yang ditandatangani oleh seluruh pegiat sastra yang hadir, menuntut Dewan Kesenian Jakarta agar tidak melakukan pembiaran terhadap penyimpangan proses dan hasil revitalisasi fisik dan non fisik Taman Ismail Marzuki yang dilakukan oleh PT Jakarta Propertindo, yang ditengarai mengandung permasalahan teknis dan non-teknis, malpraktik perencanaan, malpraktik pembangunan, dan malfungsi. Kesalahan merancang dan membangun, yang diakui oleh Dirut PT Jakpro, sebagai “nasi sudah jadi bubur.”
Dewan Kesenian Jakarta juga dituntut agar secara tegas menolak tarif penyewaan ruang dan bangunan yang ditetapkan sepihak oleh PT Jakarta Propertindo, agar segera melaksanakan rekomendasi Musyawarah Kesenian Jakarta 2022, yaitu revisi regulasi Peraturan Gubernur Nomor 4 Tahun 2020 tentang Akademi Jakarta dan Dewan Kesenian Jakarta, dan rumusan Rencana Strategis Pengembangan Kesenian di Jakarta, yang sampai hari ini belum dituntaskan, begitu pula dengan rekomendasi Musyawarah Kesenian Jakarta tentang kandidat anggota Dewan Kesenian Jakarta periode 2023-2026 yang saat ini di tangan Akademi Jakarta.
Selain itu, Dewan Kesenian Jakarta dituntut untuk melaksanakan tugas kuratorial terhadap aktivitas yang berlangsung di kawasan Taman Ismail Marzuki, dan segera mengupayakan agar ruang dan gedung khususnya yang dikuasai dan dikelola oleh PT Jakarta Propertindo, segera dibuka untuk dapat dipergunakan oleh para seniman. Para seniman juga menuntut Dewan Kesenian Jakarta untuk mencantumkan nama Ajip Rosidi (sebagai pendiri TIM), dan Huriah Adam, untuk ruangan atau gedung yang ada di TIM.
Menyangkut kasus Joel Thaher sebagai karyawan tetap Dewan Kesenian Jakarta yang diberhentikan dengan alasan tidak jelas, para seniman menuntut agar Dewan Kesenian Jakarta memberikan pertanggungjawaban, pembelaan dan perlindungan.
Setelah sempat sebentar diguyur gerimis, acara yang berlangsung lebih dua jam, diisi dengan pembacaan puisi, musikalisasi puisi, dan performing art, antara lain oleh Nestor Rico Tambun, Jose Rizal Manua, Remmy Novaris, Romo Marthin, Riri Satria, Ireng Halimun, Narima Beryl Ivana, Octavianus Masheka, Wig SM, Eki Thadan, Nurhayati, Dyah Kencono Puspito, Sihar Ramses Simatupang, Nuri Laksmi, Theodora Polar Hutadjulu, Nanang R. Supriyatin, Megawati Nurdin, Nunung Noor El Niel, Mita Katoyo, Iwoe Banyu Gesang, Giyanto Subagio, Endin SAS, Rachma Effendi, Ayu, Mulya. “Nyanyi” puisi ditampilkan oleh Qthink Cakrawala dari Geng Sendal Jepit, dan Iyus Jayadibumi dari kelompok Kromatik./*
Comments 1