humaniora.id – Dunia dipenuhi berbagai teks biografi, dan hanya orang yang gemar menulis mau menyalin kisahnya.
Kehidupan manusia memang fase-fase. Setiap tahapan hadir sosok tersendiri yang menginspirasi. Termasuk presensi sosok artis idolaku Yessy Gusman yang menjadi titik balik ingatan.
Artis yang dulu hanya dapat aku tatap lewat screen bioskop tempatku bekerja, saat ini aku dapat duduk bersanding dengannya.
Kami sama-sama menjadi narasumber di acara “Bincang-Bincang Sastra dan Film – Dulu dan Sekarang,” yang digelar di Taman Ismail Marzuki Jakarta, Selasa, 5 Desember 2023.
***
Remaja tahun 1970 -1980-an penonton film Indonesia pastilah mengenal Yessy Gusman, artis idola remaja waktu itu. Aktris yang kerap disandingkan dengan aktor Rano Karno dalam belasan judul film.
Aku mengenal Yessy Gusman juga lewat film.
Paling berkesan di tahun 1979, ada film drama percintaan remaja “Gita Cinta dari SMA” yang dibintangi Yessy Gusman dan Rano Karno. Ceritanya berbasis novel karya Eddy D. Iskandar, dan disutradarai Arizal.
“Gita Cinta dari SMA” film fenomenal di tahun itu yang berhasil menyematkan tokoh fiksi; Galih dan Ratna. Karena film ini sukses lalu diproduksi film sekuelnya berjudul “Puspa Indah Taman Hati”.
Film ini juga ikut melambungkan lagu “Galih dan Ratna” karya Guruh Soekarnoputra. Lagu ini pertama kali dinyanyikan Iromy Nursaid dari The Kid Brothers, yang muncul dalam soundtrack film “Gita Cinta dari SMA”.
Di tahun 1980 penyanyi Chrisye membawakan ulang lagu ini yang menjadi lagu tema film “Puspa Indah Taman Hati”.
Film “Gita Cinta dari SMA” dan “Puspa Indah Taman Hati” sangat berkesan. Sekurang-kurangnya buat aku.
Menariknya film-film ini bukan hanya dari segi konflik dramatiknya. Namun serangkaian ungkapan cinta dalam bentuk puisi, yang membuat film ini menjadi salah satu film remaja dinilai paling romantis.
Tak hanya film “Gita Cinta dari SMA” dan “Puspa Indah Taman Hati,” ada banyak film lain yang juga dibintangi artis idolaku ini. Diantaranya; “Romi & Yuli”, “Buah Terlarang”, “Neraca Kasih”, “Tali Merah Perkawinan” dan beberapa film lainnya.
Sebagai anak petani miskin, dan mantan pekerja di bioskop, aku bersyukur dapat menjumpai Yessy Gusman. Semua tak terbayangkan waktu itu. Termasuk tak terbayangkan bisa menjadi insan film dan berkarya dengan orang-orang hebat di industri perfilman di Jakarta.
Saat jumpa dengan Yessy Gusman terus terang aku sempat speechless ; kehilangan kata-kata. Dan inipun aku sampaikan kepada artis idolaku Yessy Gusman, sosok yang dulu hanya bisa aku saksikan di layar bioskop.
***
Berjumpa dengan Yessy Gusman ingatan balik ke masa lalu. Mengenang masa remajaku sekolah sambil bekerja di sebuah bioskop, di kota kelahiranku Kisaran Asahan Sumatera Utara.
Bekerja paruh waktu menangani promosi film-film Indonesia box office pada masanya. Setiap hari selepas sekolah menggunakan becak dayung aku keliling kota berkoar-koar dengan pengeras suara mempromosikan film yang akan diputar sambil menyebar brosur film.
Tugas lain, menuliskan judul film yang akan diputar di papan tulis. Kemudian memasang gambar-gambar adegan film di layar dan poster-poster film di depan gedung bioskop.
Setiap hari aku mendisain berbagai pengumuman dan iklan di atas media kaca berukuran kecil, kemudian disorot lewat alat proyektor, agar dapat disaksikan penonton film.
Di masa itu pekerjaan designer grafis dikerjakan secara manual. Tidak secanggih sekarang serba computerized dan digital. Di bioskop inilah tempatku “sekolah akting” dan belajar mencermati berbagai karya film.
Jalan panjang ini membuat aku dapat berkawan dengan orang-orang film, produser, sutradara, aktor dan aktris film, yang dulu karya-karyanya hanya dapat aku saksikan di layar bioskop tempatku bekerja.
Aku bersyukur atas nikmat Allah yang tak terukur. Bisa menjadi aktor film dan sinetron, menjadi penulis cerita film, menulis buku film, menjadi wartawan film, kritikus film, menjadi produser film, serta mendapat berbagai penghargaan di bidang karya film.
Tak hanya Yessy Gusman tentunya. Banyak aktor dan aktris populer lain di masa itu – yang hanya dapat kusaksikan di layar bioskop — merebut perhatianku yang terus menggumpal membangun impian.
Sebut misalnya Rhoma Irama, Rano Karno, Lydia Kandou, Roy Marten, Yenny Rachman, Yati Octavia, Herman Pelani, Rudi Salam, Pong Hardjatmo, Dorman Borisman, dan aktor lain yang filmnya selalu box office di bioskop tempatku bekerja.
Deretan nama-nama artis ini setidaknya aku pernah kreatif bareng dalam satu produksi film layar lebar maupun sinetron. Semua akhirnya menguak imaji mengudar riwayat membentang panjang.
Dengan Yessy Gusman, di acara “Bincang-Bincang Sastra dan Film” sungguh ini pertama kali jumpa, setelah selama puluhan tahun aku bergulat di industri perfilman dan pertelevisian di Jakarta. Memang tak ada sarana dan media yang memberi alasan aku jumpa dengan dia.
Sejak industri perfilman Indonesia runtuh dan kemudian pekerja film banyak beralih ke film televisi (sinetron), Yessy Gusman seperti ikut menghilang. Sempat juga terlihat bersama Rano Karno membintangi sinetron berjudul “Kau Di atas Aku Dibawah” yang tayang di Indosiar.
***
Aku bangga dan mengidolakan Yessy Gusman. Memandang sosoknya sekarang, seperti memotret segala kelebat, segala peristiwa, dan segala kenangan, saat artis idolaku ini usianya masih belasan tahun. Saat-saat aku belajar jatuh cinta, saat-saat aku kehilangan jatidiri, hingga menyulam mimpi tentang hari esok.
Dia memang tidak seperti artis kebanyakan. Lepas di dunia perfilman justru dia fokus di dunia akademisi. Meraih gelar BA dengan predikat Cumlaude di University of San Fransisco; M.B.A di Golden Gate University of San Fransisco; dan SH berpredikat Cumlaude di Fakultas Hukum Universitas Pancasila.
Yessy Gusman juga memfokuskan kegiatannya pada pendidikan anak. Ia mendirikan 46 Taman Bacaan Anak (TBA) dan Sanggar Kreativitas Anak, di bawah naungan Yayasan Bunda Yessy.
Hingga sekarang dia masih menjadi guru di lembaga pendidikan non-formal, serta menjadi dosen di berbagai perguruan tinggi. Orangnya sangat berempati dan altruism.
Atas kepeduliannya menyediakan sarana taman bacaan bagi anak-anak, ia mendapat penghargaan dari penerbit buku Mizan. Penghargaan lainnya dari Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Malik Fadjar atas prestasinya meningkatkan minat baca masyarakat melalui Taman Bacaan Anak Yayasan Bunda Yessy.
Perempuan gemar membaca ini juga menulis sebuah buku “Menyemai Kasih : Suatu Perjalanan” yang diterbitkan Penerbit Baraka (Mizan).
***
Inilah kisah perjumpaan dengan artis idola masa remajaku di perbincangan sastra dan film. Kutulis disini agar sejarahnya tidak dilupakan oleh zaman, dan tetap berjalan dalam ingatan.
Tentu tak hanya menjadi penanda bagi ingatan. Tapi juga bermanfaat untuk direnungkan dalam rangka membangun konsepsi konstruktif bagi kebudayaan, dan kemanusiaan. Sekali lagi kemanusiaan!