JAKARTA, humaniora.id – Ketua MPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo menuturkan pandangan bahwa arus globalisasi dan kemajuan teknologi, khususnya teknologi informasi, turut memiliki andil pada terjadinya degradasi moral, bukan saja menjadi kekhawatiran para tokoh masyarakat atau generasi tua. Dengan pandangan senada, generasi muda bangsa juga menjadikan isu-isu terkait moralitas sebagai perhatian utama yang perlu disikapi secara serius.
“Hasil survei Good News from Indonesia (GNFI) bersama Kelompok Kajian dan Diskusi Opini Publik Indonesia (KedaiKOPI) pada Juli 2022, diketahui bahwa tiga dari empat isu utama yang menjadi perhatian mayoritas generasi muda, adalah isu-isu yang berkaitan dengan persoalan moralitas, antara lain pelecehan seksual 13,7 persen, penyebaran berita hoaks 9,5 persen, dan degradasi moral dan ideologi 8,4 persen,” ujar Bamsoet dalam sosialisasi Empat Pilar MPR RI bersama Badan Kontak Majelis Taklim (BKMT), secara virtual dari Jakarta, Senin (20/2/23).
Turut hadir antara lain, Ketua Umum BKMT Syifa Fauzia, Sekretaris Umum BKMT Andalusia Eka Setiyawati, serta para peserta Sosialisasi Empat Pilar MPR RI, sekaligus peserta Seminar Internasional yang diselenggarakan oleh BKMT.
Ketua DPR RI ke-20 dan mantan Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini menjelaskan, degradasi moral adalah sebagian dari sekian banyak persoalan yang akan dihadapi, seiring laju perkembangan zaman. Berbagai persoalan kebangsaan itu antara lain mewujud pada masih lemahnya penghayatan dan pengamalan agama secara komprehensif, di mana ajaran agama dimaknai secara sempit, tergerusnya sikap toleransi, berkembangnya faham ekstremisme, bahkan munculnya sikap dan perilaku yang menegasikan Pancasila sebagai dasar negara.
Merujuk pada fakta sejarah, ketika pendidikan Pancasila dihapuskan dari mata pelajaran pokok dalam dunia pendidikan, dan pemaknaan Pancasila diserahkan pada mekanisme ‘pasar bebas’, telah menyebabkan absennya negara dalam pembinaan mental ideologi bangsa. Tercermin pada publikasi berbagai hasil survei yang dilakukan pada tahun 2018, di mana 63 persen guru memiliki opini intoleran terhadap agama lain, 3 persen anggota TNI terpapar faham ekstremisme, 19,4 persen PNS atau ASN tidak setuju Pancasila, dan 7 kampus terindikasi terpapar ekstremisme agama.
“Gambaran di atas semakin menegaskan pentingnya pendidikan karakter bangsa yang dilakukan secara intens, masif, dan berkesinambungan. Pandangan inilah yang mendorong MPR untuk senantiasa berupaya untuk menanamkan pendidikan karakter bangsa dan wawasan kebangsaan kepada segenap lapisan masyarakat, khususnya melalui program Sosialisasi Empat Pilar MPR RI,” jelas Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila dan Wakil Ketua Umum FKPPI ini menambahkan, dirinya turut mengapresiasi perjalanan Badan Kontak Majelis Taklim (BKMT) yang kini memasuki usia ke-42 tahun. Selama 42 tahun berkiprah, BKMT tetap solid dan sukses membangun syiar keagamaan dan ilmu pengetahuan. Sekaligus menjadi wadah silaturahmi bagi lebih dari 400 Kabupaten di seluruh penjuru Nusantara, serta menjadi mitra strategis pemerintah dalam menyukseskan berbagai program pembangunan.
Dari aspek regulasi, keberadaan Majelis Taklim memiliki rujukan hukum yang jelas. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, salah satunya mengatur mengenai pendidikan keagamaan. Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan, Majelis Taklim secara eksplisit diakui sebagai lembaga pendidikan non formal.
“Kehadiran Majelis Taklim mampu mengisi ruang-ruang yang tidak dapat dijangkau oleh pendidikan formal, khususnya pendidikan moralitas. Di tengah derasnya arus globalisasi dan lompatan kemajuan teknologi yang menafikkan adanya filtrasi arus informasi yang dapat menggerus nilai-nilai luhur dan kearifan lokal, kehadiran Majelis Taklim sebagai sumber pendidikan keagamaan adalah sebuah hal yang patut disyukuri,” pungkas Bamsoet. (*)
Comments 1