Oleh: H. J. FAISAL
Interaksi Sosial yang Sakit
Para ahli ilmu sosial modern seperti Erving Goffman (Kanada, 1922-1982) dan George Simmel (Jerman, 1858-1918) yang mempelajari tentang interaksi sosial, pernah mengungkapkan bahwa telah terjadi pergeseran nilai interaksi sosial di dunia, dari nilai-nilai yang mengangkat keutamaan kebersamaan, menjadi nilai-nilai yang mementingkan kepentingan individual.
Terdengar sangat ironis memang, tetapi memang itulah kenyataan yang terjadi saat ini. Pergeseran pandangan manusia terhadap perlunya mengangkat kepentingan pribadi sudah menjadi sangat penting, bahkan ditopang dengan segala macam bentuk pergerakan dan aliran ‘pemberontakan’ sosial, seperti liberalisme, sekulerisme, feminisme, dan pluralisme. Apalagi dengan maraknya penggunaan gadget pribadi sebagai akibat dari kemajuan teknologi komunikasi dan informatika pada awal abad ke-20, semakin memperkuat kebenaran teori dua ahli ilmu sosial tersebut.
Semakin menipisnya nilai kebersamaan sebagai akibat dari kemajuan teknologi komunikasi dan informatika yang dirasakan masyarakat dunia saat ini, pastinya juga dirasakan oleh masyarakat bangsa Indonesia. Karena keberadaan kita sebagai bagian dari masyarakat atau warga dunia, mau tidak mau kita harus beradaptasi dengan kemajuan teknologi komunikasi dan informatika yang sedang terjadi saat ini.
Akses lain yang ditimbulkan dari kemajuan teknologi komunikasi dan informatika tersebut, antara lain juga semakin sering terjadinya gesekan sosial atau interaksi sosial yang outputnya bisa bersifat positif atau negatif, yang bisa diawali terjadi di dunia maya atau dunia digital dalam platform media sosial, yang kemudian berlanjut ke dalam interaksi sosial di dunia nyata sehari-hari. Atau bisa juga sebaliknya, ketika apa yang terjadi di kehidupan dunia nyata dirangkum atau interpretasikan ke dalam dunia maya atau dunia digital, maka interaksi atau gesekan sosial tersebut berpindah tempat ke dalam dunia digital.
Nilai positif maupun negatif yang dihasilkan sebagai output interaksi sosial di dunia nyata maupun di dunia maya tersebut, sesungguhnya sangat tergantung dari kemampuan dan kualitas berpikir, bernalar, dan berlogika dari manusia yang melakukan interaksi sosial tersebut.
Untuk masyarakat yang tinggal di negara-negara maju, dimana pola peradabannya sudah terbentuk berdasarkan kepatuhan mereka terhadap sistem, hukum dan peraturan yang berlaku, output dari interaksi sosial yang dihasilkan biasanya lebih banyak bernilai positif, karena koridor sistem, hukum, dan peraturan-peraturannya tersebut dijadikan konsensus bersama sebagai instrument yang memang harus dipatuhi dan dilaksanakan dengan baik oleh mereka, demi terciptanya keteraturan sosial.
Sedangkan bagi masyarakat dunia yang tinggal di negara-negara yang masih ‘mencari jati diri’ alias negara berkembang atau negara dunia ketiga, yang masyarakatnya terbukti masih suka ‘mengakali’ sistem dan peraturan-peraturan yang sudah dikonsesuskan bersama, maka kemungkinan output dari interaksi sosial yang dihasilkan biasanya lebih banyak bernilai negatif.
Artinya, nilai negatif yang muncul tersebut lebih banyak disebabkan karena interaksi sosial yang dilakukan baik di dunia nyata maupun maupun di dunia maya dinilai sebagai interaksi sosial yang sakit, yang biasanya dilakukan tanpa dasar penghormatan dan penghargaan terhadap sesamanya.
Contoh nyata dari interaksi sosial yang sakit tersebut, yang sangat mudah kita lihat adalah bagaimana kita melihat ‘barbarnya’ lalulintas di jalan raya, hampir di seluruh jalan raya di Indonesia, baik jalan raya nasional, jalan raya provinsi, bahkan sampai di jalan raya ‘kampung’.
Menyalip kendaraan lain dari sebelah kiri, keluar dari jalan dalam (gang) seenaknya tanpa melihat kanan kiri terlebih dahulu, membunyikan klakson pada saat yang tidak tepat sehingga dapat mengganggu konsentrasi pengendara lainnya, memaksakan diri untuk mendahului kendaraan di depannya dari sebelah kiri, menjalankan kendaraan di atas trotoar yang seharusnya digunakan oleh pejalan kaki, bahkan terkadang tidak memberikan kesempatan kepada pejalan kaki untuk menyebrang, padahal pejalan kaki tersebut sudah menyebrang di atas tanda zebra cross, belok kanan atau kiri tanpa menyalakan lampu sign, dan berbagai macam bentuk ‘kebarbaran’ lainnya. Sehingga secara umum dapat disimpulkan bahwa sudah tidak ada lagi bentuk penghormatan dan penghargaan di antara sesama pengguna jalan lainnya.
Dan lucunya, terkadang pelanggaran-pelanggaran tersebut justru dibiarkan saja oleh petugas, bahkan jarang ada petugas yang bertugas di jalan raya, terkecuali di jam-jam tertentu saja, atau pada waktu razia saja. Selebihnya justru banyak ‘petugas-petugas’ liar yang sering berdiri di rambu putaran sepanjang hari, yang justru sangat ‘merepotkan’ dan membahayakan bagi para pengguna kendaraan di jalan raya.
Kemudian, contoh nyata dari interaksi sosial yang sakit, yang sangat mudah kita temukan dalam interkasi sosial di dunia maya adalah, begitu banyaknya segala macam bentuk hinaan, cacian, kata-kata mesum, ancaman, ajakan berkelahi, dan curahan-curahan hati ‘cengeng’ yang berseliweran di media sosial. Contoh nyata yang sedang viral adalah bentuk hinaan, kata-kata rasis, dan mesum yang dilakukan oleh pemilik akun fufufafa.
Maka, jika interkasi sosial yang sakit seperti ini dibiarkan terlalu lama, atau tidak ada perubahan menuju kultural menuju interaksi sosial yang lebih sehat, maka yang terjadi adalah sebuah bentuk interaksi sosial yang rusak (social disorder) dan hilangnya rasa kepercayaan terhadap lingkungan sosialnya (social distrust), yang akhirnya akan membentuk sebuah perlawanan atau ketidakpatuhan terhadap nilai-nilai sosial yang baik (social disobedience).
Ketidakpatuhan masyarakat terhadap terhadap nilai-nilai sosial yang baik (social disobedience) tersebut dapat muncul dikarenakan ada pergeseran nilai dan pemahaman di masyarakat, bahwa jika interaksi sosial yang sakit (social disorder, distrust, dan disobedience) tersebut terus-menerus dilakukan tanpa adanya tindakan hukum yang tegas dari sistem yang berlaku secara sistemik dan struktural, maka sakitnya interaksi sosial yang terjadi tersebut akan dianggap sebuah kebiasaan yang lumrah, karena telah menjadi sebuah ‘kebenaran yang baru.’ Belum lagi akan muncul peningkatan kriminalitas di tengah masyarakat, yang akhirnya dianggap biasa dan lumrah-lumrah saja.
Penyebab Interaksi Sosial Menjadi Sakit Dan Solusi Memperbaikinya
Selain disebabkan oleh faktor kemajuan teknologi dan informasi yang begitu cepat, ketidakpatuhan terhadap sistem dan peraturan yang ada, dan sanksi sosial yang tidak berfungsi, seperti yang saya telah sebutkan di atas, sesungguhnya penyebab terjadinya social disorder (ketidakteraturan sosial), social distrust (ketidakpercayaan sosial), dan social disobedience (ketidakpatuhan sosial) dalam masyarakat Indonesia bisa sangat kompleks dan beragam.
Beberapa faktor utama yang berkontribusi menjadi penyebabnya antara lain, yaitu:
1. Proses pendidikan dalam sebuah bangsa yang gagal, terutama pendidikan keagamaan, karena tidak dapat menghasilkan proses transformasi perubahan sikap, akhlak, dan adab yang lebih baik bagi para peserta didik dalam membentuk kepribadian yang lebih baik.
2. Tidak adanya keteladanan dari pemimpin, baik skala kepemimpinan yang paling kecil yang bersifat struktural, maupun kepemimpinan yang bersifat kultural, seperti para guru dan pemimpin keagamaan. Para pemimpin tersebut tidak memiliki visi dan misi yang jelas tentang apa yang harus mereka lakukan dalam upaya melakukan perbaikan interaksi sosial yang tidak benar tersebut secara kultural. Bahkan sering terjadi kasus dimana para pemimpin tersebut yang menjadi dalang dari segala macam bentuk kejahatan, baik yang dilakukan secara sistemik maupun secara tersembunyi, yang menyebabkan ketidakpercayaan dari masyarakat terhadap mereka.
3. Krisis identitas dan nilai yang dapat membawa perubahan negatif dalam budaya, disebabkan oleh perkembangan teknologi informasi dan proses globalisasi yang sangat disruptif, dapat menyebabkan krisis identitas dan krisis nilai di kalangan masyarakat. Ketidakselarasan antara nilai-nilai tradisional dan modern ini dapat memicu konflik dan ketidakpatuhan sosial dengan cepat pula.
4. Ketimpangan ekonomi dan ketidakadilan sosial, serta jurang atau gap antara orang kaya dan miskin (Gini Ratio) yang terlalu dalam, sering kali menjadi pemicu utama ketidakpuasan dan protes sosial. Ketidakmerataan distribusi sumber daya dan kesempatan yang ‘dipersempit’ dapat menyebabkan rasa ketidakadilan di kalangan masyarakat.
5. Proses sosialisasi yang tidak efektif dapat menyebabkan individu dalam sebuah komunitas masyarakat tidak memahami atau tidak menghormati norma dan nilai yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Hal ini dapat menyebabkan perilaku yang tidak sesuai dengan harapan sosial.
6. Perubahan yang cepat dalam struktur sosial, ekonomi, dan politik dapat menyebabkan ketidakstabilan dan ketidaksesuaian dalam norma dan nilai masyarakat. Misalnya, urbanisasi yang cepat dan massif, pemutusan hubungan kerja dalam gelombang besar dan cepat, rusaknya sistem perpolitikan yang dilakukan oleh para pemimpin pemerintahan dan para politikus yang tetap ingin mempertahankan kekuasaannya, dan beban kesulitan ekonomi yang terlalu lama dirasakan oleh masyarakat.
7. Komunikasi yang buruk antara pemerintah dan masyarakat yang dapat memperburuk ketidakpuasan dan ketidakpercayaan secara struktural. Ketidakmampuan masyarakat untuk menyampaikan aspirasi dan keluhan secara efektif juga dapat menyebabkan ketidakpatuhan dan ketidakpercayaan sosial.
8. Perbedaan nilai dan kepentingan pemerintah dan kepentingan masyarakat juga dapat menyebabkan konflik dan ketidakpatuhan. Misalnya, pengambilalihan paksa hak rakyat atas tanahnya oleh pemerintah dengan alasan digunakan untuk ‘kepentingan’ negara. Juga contoh lain adalah pemaksaan kehendak rezim pemerintahan yang ada atas kehendak mereka, dengan memanipulasi instrument hukum yang ada secara salah sebagai dasar kebijakan dalam mewujudkan kehendak mereka tersebut.
Setelah kita memahami penyebab terjadinya social disorder, social distrust, dan social disobedience dalam masyarakat, maka solusinya memerlukan pendekatan yang komprehensif dan berkelanjutan pula. Dibutuhkan kerja bersama semua pihak, baik dari pemerintah sebagai subjek penyelenggara negara, maupun masyarakat sebagai objek penerima manfaat dari proses penyelenggaraan negara tersebut.
Adapun beberapa solusi yang dapat dilakukan untuk menghindari interaksi sosial yang sakit tersebut, menurut para ahli sosiologi bangsa ini, antara lain:
1. Melakukan reformasi sistem pendidikan nasional secara menyeluruh, dengan cara meningkatkan kualitas sumber daya manusia, membuat kurikulum yang relevan dengan kebutuhan bangsa, dan menambah porsi pendidikan tentang akhlak, adab, moral, dan etika.
2. Mendapatkan pemimpin cerdas dan berkualitas dalam bidang ilmu pengetahuan dan spiritual, yang dapat memberikan keteladanan dalam proses perbaikan sosial secara berkesinambungan. Kaderisasi kepemimpinan seperti ini wajib dilakukan oleh seluruh lembaga pendidikan, lembaga hukum, dan lembaga-lembaga tinggi lainnya. Kepemimpinan yang kuat, visioner, dan berintegritas sangat penting untuk mengarahkan masyarakat menuju perubahan positif. Pemimpin yang mampu mendengarkan dan merespons kebutuhan masyarakat dapat membangun kepercayaan dan stabilitas.
3. Peningkatan keadilan sosial dan ekonomi secara merata, dengan cara mengurangi ketimpangan ekonomi dan sosial melalui kebijakan redistribusi yang adil, peningkatan akses Pendidikan sampai daerah pelosok Indonesia, dan peluang kerja yang merata dengan melihat kemampuan (meritokrasi), dan bukan berdasarkan kolusi dan nepotisme.
4. Melakukan peningkatan komunikasi dan partisipasi publik, serta membangun saluran komunikasi yang efektif antara pemerintah dan masyarakat untuk mendengarkan aspirasi dan keluhan. Partisipasi publik dalam pengambilan keputusan dapat meningkatkan rasa memiliki masyarakat (sense of belonging) dan kepercayaan terhadap pemerintah.
5. Penegakan hukum yang adil dan konsisten dapat meningkatkan rasa keadilan dan kepatuhan sosial. Sistem hukum yang transparan dan tidak diskriminatif sangat penting. Tidak menggunakan hukum sebagai instrument yang justru menyakiti rasa keadilan masyarakat, seperti banyak kasus ‘pemerkosaan’ nilai-nilai keadilan dalam hukum yang dilakukan oleh rezim pemerintahan Indonesia dalam kurun waktu 10 tahun terakhir ini.
6. Memberdayakan masyarakat melalui program-program yang meningkatkan kapasitas dan keterampilan mereka, juga dapat membantu mengurangi ketergantungan dan meningkatkan kemandirian. Pemberdayaan ekonomi dan sosial dapat mengurangi ketidakpuasan dan ketidakpatuhan.
Dari uraian singkat di atas, menjadi jelaslah bahwa betapa sangat berbahayanya sebuah kondisi bangsa atau negara, dimana interaksi sosialnya sudah menjurus kepada interaksi sosial yang sakit, yang mana pastinya akan menimbulkan kerusakan sosial, ketidakpercayaan sosial, dan ketidakpatuhan sosial.
Karena seperti yang dikatakan oleh ahli sosial Islam Ibnu Khaldun di dalam bukunya yang berjudul ‘Muqaddimah’ bahwa banyak bangsa-bangsa di dunia yang peradabannya hancur, disebabkan oleh sakitnya interaksi sosial dan hancurnya nilai-nilai sosial yang terjadi di dalam masyarakatnya. Termasuk di dalam nilai-nilai sosial yang sakit tersebut adalah nilai-nilai akhlak, moral, etika dan adab yang sakit pula.
Apakah kita sebagai masyarakat bangsa ini, meyakini bahwa kita sedang mengalami berbagai macam pola interaksi sosial yang sakit?
Wallahu’allam bisshowab
Jakarta, 12 September 2024
*Dosen Prodi PAI UNIDA Bogor/ Director of Logos Institute for Education and Sociology Studies (LIESS) / Pemerhati Pendidikan dan Sosial/ Anggota PJMI