Dari Presiden AS, jubir PM Israel, sampai jurnalis teve-penulis kondang Australia ikut sebarkan kabar dusta. Seorang fotografer Israel mengklarifikasinya
humaniora.id – Sebelum Sabtu 7 Oktober, dunia praktis tak mengenal nama Kfar Aza. Ini sebuah kampung ( kibbutz) dari 270 kibbutzim–bentuk jamak kibbutz–di seantero Israel. Jumlah penduduknya kurang dari 800 orang. Menggunakan ukuran Indonesia, angka itu adalah jumlah warga 1 RW yang terdiri dari 4 RT, dengan asumsi setiap RT memiliki 200 jiwa.
Kfar Aza salah satu target Operasi Topan Al Aqsha yang dilancarkan Hamas karena jaraknya kurang lima kilometer dari garis terluar Gaza. Tetapi nama kibbutz ini baru benar-benar menyedot perhatian global sejak Selasa, 10 Oktober, ketika juru bicara PM Benjamin Netanyahu, Tal Heinrich, bicara kepada CNN. “Bayi-bayi dan anak-anak ditemukan mati dengan kepala terpenggal di Kfar Aza,” ujarnya.
Sehari kemudian, Rabu (10/10), Presiden AS Joe Biden mengatakan kepada para tokoh Yahudi-AS di Washington D.C. bahwa “… saya tidak pernah menyangka akan melihat dan bisa memastikan keaslian foto-foto para teroris memenggal kepala anak-anak …,” ujarnya dari mimbar kepresidenan. Suaranya serak, terbata-bata.
Berapa jumlah ‘bayi yang dipenggal kepalanya’? Heinrich dan Biden tak menyebut angka kecuali menggunakan kata dalam bentuk jamak, yang berarti banyak.
Angka baru muncul dari kanal Sky News Australia. Pembawa berita, jurnalis dan penulis Sharri Markson dalam program berita eksklusif yang menggunakan namanya Sharri memasang judul menyeramkan: “ Horrific: Israel Forces Discover Bodies of 40 Babies Murdered by Hamas”.
Sharri menjadikan liputan Nicole Zedeck , koresponden i24News yang ikut turun ke Kfar Aza bersama tentara Israel (IDF, Israel Defense Forces) sebagai inti informasi. Zedeck menyebut ada sebuah keranjang bayi dengan sehelai baju yang bersimbah darah. “Tentara bilang kepada saya banyak bayi ditemukan di samping keranjang-keranjang mereka dengan kepala terpenggal.”
Dalam tayangan itu, Zedeck mengenakan kaus lengan panjang warna hijau dibalut rompi antipeluru dan tulisan “Press” di bagian punggung. Kepalanya dilindungi helm militer.
Di belakangnya lalu lalang anggota IDF dan jurnalis lain dalam media tour yang difasilitasi Pemerintah Israel. Sejumlah kantong mayat berwarna hitam tergeletak di tanah juga terekam kamera. Namun, tak ada gambar “bayi tanpa kepala”, meski dalam format yang disamarkan ( blur). Boleh jadi gambar tak ditampilkan produser acara karena pertimbangan terlalu sadistis dan mengerikan bagi penonton.
Sampai di sini status berita masih terdengar meyakinkan. Apalagi sumber berita bukan kaleng-kaleng. Seorang jubir Perdana Menteri Israel, seorang Presiden AS, serta seorang jurnalis-penulis kawakan Australia yang sudah berkiprah 23 tahun dan meraih dua Walkley Awards, penghargaan prestisius bagi insan media cetak, radio, televisi, online dan fotografi di Benua Kanguru. Oh ya, Sharri juga editor investigasi di koran The Australian.
Bahkan Duta Besar Israel untuk Singapura, Eli Vered Hazan, pun menyebutkan soal pembantaian bayi saat diwawancarai jurnalis Kumparan, Aliyya Bunga, secara online pada Rabu (11/10).
Dunia gempar. Ini kejahatan terhadap kemanusiaan yang sungguh durjana, bila benar.
Media sosial pun ingar bingar. Dan seperti biasa terpecah dalam tiga kelompok: ada yang langsung percaya total, ada yang spontan tak percaya, dan ada yang butuh bukti-bukti lanjutan untuk bisa “percaya” atau “tidak percaya”. Alasannya: kita hidup di zaman digital ketika A.I. semakin berkuasa. Jangankan foto, video pun bisa diakali kecerdasan buatan dengan deepfake sehingga terlihat orisinal.
Perkembangan mengejutkan terjadi sehari kemudian, Kamis (12/10). Gedung Putih mengatakan bahwa baik Joe Biden maupun anggota administrasi pemerintahannya tak ada yang melihat langsung foto-foto ‘bayi terpenggal’ itu. “Informasi Biden mengacu pada keterangan jubir Netanyahu dan media-media Israel yang memberitakan itu,” ungkap sumber Gedung Putih yang dipublikasikan harian The Washington Post. “Terhadap pertanyaan yang kami sampaikan, juru bicara IDF menolak memberikan jawaban tentang kondisi korban.”
Itu artinya, Biden tidak melihat dan memastikan keaslian foto-foto seperti klaimnya. Dengan kata lain, “Biden berbohong,” ujar Briahna Joy Gray dan Robby Soave dari kanal berita politik The Hill TV yang dimiliki Nexstar Media Group. Klarifikasi juga datang dari CNN yang mencuit lewat akun resmi di X (Twitter) bahwa “Israel tak bisa mengonfirmasi klaim spesifik tentang bayi-bayi yang dipenggal kepalanya dalam serangan Hamas, menurut pernyataan seorang pejabat, yang bertolak belakang dengan pernyataan publik sebelumnya.”
Bantahan lebih telak datang dari Oren Ziv, 38 tahun, jurnalis foto Israel yang ikut dalam media tour ke Kfar Aza bersama Nicole Zedeck, koresponden i24News.
Ziv yang sudah meliput berbagai perang Palestina – Israel sejak 2005 menjelaskan dalam lima cuitannya di akun @OrenZiv_ berikut ini.
“Selama tur media kami tidak melihat adanya bukti tentang “Hamas memenggal kepala bayi” yang menghebohkan itu dan juru bicara militer atau komandan lapangan juga tidak menyebutkan adanya insiden itu. Selama di lokasi, para jurnalis dibebaskan berbicara dengan ratusan tentara yang berada di lokasi tanpa arahan para jubir militer. Reporter i24 (maksudnya Nicole Zedeck ) mengatakan dia mendengar kejadian itu ‘dari tentara’. Namun, tentara-tentara yang saya ajak bicara tidak satu pun yang menyebutkan adanya ‘kepala bayi dipenggal’. Juru bicara militer mengatakan, ‘Kami tidak bisa mengonfirmasi pada tahap ini … kami hanya menyadari tindakan keji yang bisa dilakukan Hamas.’ … Ini menyedihkan, karena Israel akan menggunakan informasi palsu itu untuk meningkatkan pengeboman terhadap Gaza dan untuk membenarkan kejahatan perang mereka di sana.”
Jadi, apakah Nicole Zedeck berbohong? Oren Ziv tak mengatakan secara gamblang selain apa yang dia cuitkan di atas.
Informasi penjelas justru dari media tempat Zedeck bekerja. i24News adalah kanal televisi Israel yang bermarkas di Tel Aviv. Siarannya dalam bahasa Prancis, Inggris, dan Arab.
Lantas, mengapa Sharri Markson, jurnalis dan penulis Australia terkemuka, langsung menggunakan siaran Nicole Zedeck sebagai basis acaranya sendiri di Sky News?
Kemungkinan pertama, demi kecepatan berita. Kendati Markson juga jurnalis investigasi di harian The Australian, namun dia tidak mengecek lagi validitas informasi Zedeck selain memercayai 100%.
Kemungkinan kedua, solidaritas sesama orang Yahudi. Kedua orang tua Sharri adalah Yahudi tulen yang tinggal di Australia. Ayahnya, Mark Markson, adalah manajer selebritas ternama. Artis yang ditanganinya sebagian artis-artis kondang Australia dan juga dari Hollywood. Sedangkan ibunya, Ro Markson, adalah Wakil Direktur Queensland Holocaust Museum.
Sebagai sebuah kemungkinan, tentu belum bisa dipastikan mana yang lebih kuat. Bisa salah satu kemungkinan, atau bisa juga keduanya berkelindan. Hanya Sharri Markson yang bisa menjelaskan. Itupun kalau ada tekanan signifikan dari rakyat Australian atas tayangan Sharri.
Yang pasti, skandal hoaks Kfar Aza ini menunjukkan kita tak boleh serta merta begitu saja percaya dengan berita yang beredar. Bahkan yang disampaikan orang-orang penting dan terlihat kredibel. Jangan langsung memercayai informasi pada kesempatan pertama. Bebankan kepada diri kita tiga tugas ini: verifikasi, verifikasi, dan verifikasi.
Dan itu bukan hanya menyangkut Kfar Aza. Juga 1001 tsunami informasi yang menenggelamkan kita dari hari ke hari.
Cibubur, 14 Oktober 2023
Penulis adalah sosiolog, penulis penerima Anugerah Sastra Andalas 2022 bidang Sastrawan/Budayawan Nasional dan National Writer’s Award 2021 Perkumpulan Penulis Nasional SATUPENA, mantan redaktur kompartemen luar negeri majalah berita Gatra dan Tempo.