humaniora.id – Ya memang benar, bahwasannya proses kepemimpinan adalah sebuah proses mempengaruhi orang lain agar mengikuti apa yang menjadi kehendak sang pemimpin. Dan di dalam teori kepemimpinan modern yang ada saat ini, banyak sekali aliran, gaya, dan tipe-tipe kepemimpinan yang dikemukakan oleh para ahli sosiologi yang berkhidmat secara khusus di dalam dunia teori kepemimpinan Barat, seperti Hargreaves & Fink, Douglas McGregor, Chaudhry & Javed, dan yang lainnya.
Adapun aliran atau teori kepemimpinan yang dikembangkan oleh dunia pengetahuan Barat, antara lain Great Man Theory, Trait Theory, Contingency Theory (Situational), Process Leadership Theory, Transactional Theory, Transformational Theory, dan Style and Behavior Theory.
Sedangkan gaya kepemimpinan yang dikenal secara luas adalah gaya kepemimpinan otokratik / otoriter, birokrat, karismatik, demokratis / partisipatif, Laissez-Faire, dan gaya kepemimpinan transaksional.
Semua aliran atau teori, serta gaya-gaya kepemimpinan tersebut tentu saja dapat dipelajari secara lebih mendalam dari sumber-sumber keilmuan yang dapat dipercaya, seperti dari buku-buku kepemimpinan yang ditulis oleh para ahlinya, dari jurnal-jurnal ilmiah tentang kepemimpinan, bahkan dapat kita pelajari dari sumber-sumber primernya secara langsung, yaitu dari mereka yang sedang atau pernah memegang sebuah tampuk kepemimpinan organisasi.
Namun terlepas dari semua teori yang ada di atas, menurut pengamatan saya sebagai seorang pembelajar dalam ilmu pendidikan dan ilmu sosial, saya berpendapat bahwa kepemimpinan adalah sebuah seni bagaimana membuat sebuah kesatuan kepentingan yang sama dari seluruh anggota organisasi kita (member interest) yang dikemudian diatur dengan konsep-konsep rencana organisasi dan rencana kerja yang jelas, demi meraih tujuan bersama (organisation interest).
Sebab jika sebuah organisasi yang dipaksakan untuk ‘berjalan’ tanpa konsep dan tanpa rencana kerja yang jelas, dapat dipastikan organisasi tersebut akan berjalan secara ‘sempoyongan’ dan ‘terseok-seok’ tanpa tujuan, dan akan menjadi organisasi yang ‘hidup segan mati tak mau.’
Dengan kata lain, seorang pemimpin harus bisa memetakan atau membuat mitigasi tentang apa sebenarnya kepentingan atau hal yang membuat anggota organisasinya menjadi bersemangat (interest) untuk berkarya di dalam organisasinya tersebut.
Sebagai contoh sederhana, jika dalam teori pembelajaran di dalam dunia pendidikan, seorang guru harus mampu membuat sebuah apersepsi untuk murid-muridnya terhadap pelajaran yang akan dia terangkan. Sebagai seorang pemimpin di dalam sebuah ‘organisasi’ kelasnya tersebut, maka sang guru harus mampu untuk ‘melihat’ minat dan ‘interest’ dari murid-muridnya tersebut, sampai sejauh mana murid-muridnya tersebut tertarik dengan pelajaran yang akan dia terangkan kepada mereka, agar dapat menangkap inti dari pelajaran tersebut.
Artinya, guru tersebut harus mampu membangkitkan minat murid-muridnya dengan ‘memancing’ interest mereka sebelum masuk kepada pelajaran intinya, dengan cara mengajak mereka berdiskusi dengan cara yang menyenangkan terlebih dahulu, dan memetakan tingkat ketertarikan mereka.
Dari diskusi yang menyenangkan tersebut, maka kondisi otak murid-muridnya akan berada pada kondisi yang tenang (kondisi Alpha). Dan dari kondisi yang tenang dan menyenangkan tersebut, maka sang guru akan mampu untuk membuat sebuah gaya pembelajaran yang menyenangkan untuk murid-muridnya. Dan dapat dipastikan, jika ada banyak kesenangan dan kebahagiaan di dalam diri dan pemikiran murid-muridnya tersebut, maka tujuan pembelajaran pun akan dapat diraih dengan mudah.
Dari contoh deskripsi di atas, maka dapat kita tarik sebuah pembelajaran sederhana, bahwasannya seorang pemimpin yang baik bukanlah seorang pemimpin yang hanya pandai berbicara, selalu membanggakan dirinya dan ilmunya, atau selalu membuat perbandingan antara organisasi yang dipimpinnya dengan organisasi lain.
Seorang pemimpin yang baik adalah seorang pemimpin yang mampu mendengar dan melihat apa yang membuat para anggotanya menjadi senang untuk bergabung di dalam organisasinya, dan apa yang ingin mereka raih di dalam organisasinya tersebut.
Ketika seorang pemimpin mampu melihat apa ‘interest’ anggota-anggota organisasinya tersebut, maka pemimpin tersebut akan mampu membuat berbagai macam rencana kerja organisasi yang sesuai untuk dibebankan kepada para anggotanya, dan mampu untuk membuat sebuah motivasi yang tinggi bagi para anggotanya untuk berprestasi dan mendapatkan ‘pengakuan’ atas prestasinya tersebut, sehingga kinerja mereka pun akan meningkat dengan sendirinya.
Satu hal yang harus kita ingat bahwasannya kebutuhan manusia yang tertinggi bukanlah mendapatkan materi yang banyak, tetapi kebutuhan manusia yang tertinggi adalah mendapatkan apresiasi dan pengakuan yang layak dari sesamanya, terlebih dari lagi dari pemimpinnya.
Meskipun tentu saja, tidak semua teori kepemimpinan dan gaya-gaya kepemimpinan tersebut dapat diterapkan sepenuhnya di dalam organisasi kita. Jika kita memang mendapatkan amanah untuk menjadi seorang pemimpin, maka kita harus memilih teori dan gaya kepemimpinan apa yang cocok diterapkan di dalam organisasi kita.
Tetapi satu hal yang pasti, jika ‘seni’ keterampilan dasar sebagai seorang pemimpin sudah mampu untuk kita kuasai, yaitu mampu melihat kekuatan dan kelemahan organisai kita sendiri, serta mampu untuk mendengar dan melihat apa kebutuhan atau keinginan para anggota organisasi kita, maka itu artinya separuh tugas kita sebagai pemimpin sudah mampu untuk kita selesaikan, tinggal dilanjutkan untuk menyelesaikan masalah teknis lainnya untuk dibagi kepada seluruh anggota organisasi secara adil.
Dan pastinya kita juga harus menyesuaikan diri kita, apakah kita memang mempunyai kemampuan untuk menguasai ‘seni’ keterampilan dasar sebagai seorang pemimpin (leadership), dan mampu menjalankan amanah serta tanggungjawab kepemimpinan kita tersebut, atau jangan-jangan kita hanya mempunyai kemampuan untuk menjadi seorang pengikut saja (followership).
Sebab dapat dipastikan, akan sangat berbahaya sekali dampaknya bagi sebuah organisasi, jika ternyata pemimpinnya sebenarnya tidak mempunyai pengetahuan dan keterampilan yang cukup untuk menjadi seorang pemimpin, namun tetap ‘dipaksakan’ untuk menjadi seorang pemimpin, padahal kemampuan sebenarnya baru sekedar menjadi seorang pengikut (follower). Dan inilah masalah yang sebenarnya banyak terjadi dalam dunia keorganisasian kita di Indonesia, terlebih lagi dalam organisasi kenegaraan kita.
Dan apakah organisasi anda atau negara anda termasuk di dalamnya? Jika ya, segeralah diadakan sebuah evaluasi kepemimpinan, agar organisasi anda tidak terjerumus ke dalam kegagalan organisasi (management failure) yang lebih dalam, hanya karena salah memilih seorang pemimpin….
Wallahu’allam bisshowab
Jakarta, 24 Desember 2023
*Pemerhati Pendidikan dan Sosial/ Sekolah Pascasarjana UIKA Bogor/ Anggota PJMI