humaniora.id – Tatan Daniel. Doeloekala, tahoen 1980, surat kabar Sinar Pembangunan yang terbit di Medan ini, punya halaman budaya yang lebar, dan berwibawa, “Diskusi.”
Ada tulisan sahabat saya Ikhwan AR (sekarang Prof. Ichwan Azhari), ada catatan Bang Zainuddin Tamir Koto alias Zatako (jurnalis yang penyair yang penerjun payung dengan banyak wing) tentang Temu Sastrawan 1979 yang dihelat oleh Dewan Kesenian Jakarta (yang masa itu masih merakyat, belum elitis).
Ada juga puisi sahabat saya Mohamad Yasmoney, dulu bernama Mohamad Yasmani, dan puisi saya, yang judulnya bikin bapak saya geleng-geleng kepala. Karena senang.
Koran ini sudah tiada. Menyusul kerabatnya, menyusul datuk para koran tempo doeloe, semisal Pewarta Deli, dan sebagainya. Entah ada yang mencatatnya atau tidak, semacam batu nisan penanda, tak tahulah saya.
Adapun Harian Waspada, yang lahir pada 11 Januari 1947, tertua kedua setelah harian Mimbar Umum, pada priode tahun 1970-1980-an adalah surat kabar yang paling royal, paling murah hati, dengan membuka halaman seni dan budaya (dan sejarah).
Hampir setiap hari, dengan aneka judul: Rubrik Musik, Rubrik Senirupa, ruang seni remaja, Halaman Budaya, Kolom Abrakadabra, etc.
Harian Waspada, yang dulu berhaluan nasionalis marhaenis itu, sampai hari ini masih eksis. Terus terbit tanpa jeda. Masih bertahan, dengan segala cabaran ganas yang dihadapi.
Sebentar lagi ia berulang tahun yang ke-76. Saya berdoa untuk kelanjutan umurnya. Setidaknya, sampai 100 tahun (lagi).
Saya berdoa untuk nyawa yang tetap hidup, yang telah memberi sumbangan tak ternilainya bagi pemajuan kesenian, kebudayaan, dan peradaban di Sumatera Utara selama ini (bahkan dulu, ia pun sangat terkenal dan dibaca khalayak di berbagai kota di Aceh).
Begitulah. Tahun berganti. Harapan dibuhul. Tapi tak semuanya makbul. Ada yang wafat, ada yang masih kuat-kuatan melawan ‘angin beliung Bohorok’, entah sampai kapan./*
Comments 1