humaniora.id – Karya film abad ini tidak lagi menjadi suatu upacara besar. Film bisa dikelola oleh kelompok-kelompok kecil yang lebih demokratis. Komunitas film bisa merupakan gerakan budaya, tetapi sekaligus menjadi bagian dari pasar kecil yang berhubungan satu sama lain.
Karya film tidak lagi ditempatkan di ruang khusus, tapi dapat menjadi bagian dari gaya hidup. Sebagai tontonan luar yang masuk di ruang publik dengan gaya hidup yang sama sekali baru.
Banyak lahir karya baru dari para sineas muda yang ikut menandai lahirnya berbagai karya dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi masa kini.
Para sineas generasi sekarang menemukan hubungan dengan penontonnya sendiri melalui jalur karya film independen.
“Mungkin karena itulah saya dulu lebih memilih film independen. Atau teater yang punya ‘kemewahan’ berproses lebih dalam dibanding ruang seni peran yang lain,” kata Sha Ine Febriyanti, di acara diskusi film “Pada Dua Sisi Lensa” yang diselenggarakan Komunitas Film KAV 22 melalui online di Jakarta, Jum’at (13/10/2023).
Sebelum diskusi berlangsung, penyelenggara terlebih dulu memutar film pendek berjudul “Tuhan Pada Jam 10 Malam” yang disutradarai kata Sha Ine Febriyanti.
Diputar juga penggalan adegan film “Bumi Manusia” karya Hanung Bramantyo. Film yang ikut mengantar sukses Sha Ine Febriyanti menerima banyak pujian karena dinilai berhasil memerankan tokoh Nyai Ontosoroh.
Masih menyoal proses pada karya film independen, menurut Ine, agak sulit memang ketika awal dirinya memulai karir. Namun bagi Ine proses jauh lebih penting daripada yang lain-lain.
“Dan proses itu ternyata menjadi investasi. Investasi tidak harus berupa uang. Proses-proses yang saya lalui itu menjadi investasi ilmu yang jauh lebih berguna di perjalanan karir saya selanjutnya,” ungkapnya.
Terkait film komersil untuk saat ini, kata Ine, ada banyak film industri yang digarap dengan pengerahan yang sungguh-sungguh, utuh, dan memberikan peluang proses menarik.
“Tentu saja menyelaraskan idealisme dan industri dengan proses pra produksi yang teliti kemudian dengan strategi pemasaran yang baik,” ungkapnya.
Banyak pertanyaan mengemuka dari para peserta diskusi yang sebagian besar adalah anggota grup WhatsApp (WA) KAV 22 dari berbagai daerah di Indonesia.
KAV 22 adalah wadah atau kelompok diskusi para penggiat film (Audio visual) dibawah Divisi Penyutradaraan Persatuan Karyawan film dan Televisi Indonesia (KFT).
Berorientasi pada pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM), dalam upaya meningkatkan pengetahuan atau wawasan di bidang perfilman baik secara teknis maupun non teknis (skill, knowledge, Attitude).
Penggunaan nama KAV 22 diambil dari kedudukan kantor KFT yang berada di jalan H.R.Rasuna Said Kavling C 22, Karet Kuningan Jakarta.
Kavling C 22 disingkat dengan sebutan KAV 22 menjadi semacam forum diskusi, sebagai wadah pengembangan dari Program Kine Klub Mini (KKM) Divisi Penyutradaraan KFT.
“Diskusi ini dilaksanakan secara periodik sebulan sekali. Terbuka untuk umum baik amatir maupun profesional, perorangan maupun kelompok independen,” terang Ketua KAV 22, Ronny Mepet.
Kembali pada pokok pandangan Sha Ine Febriyanti, kesenian menurutnya memiliki ruang ekspresi luas. Setiap seniman punya perjalanan mengekspresikan aspirasi seninya melalui ruang yang cocok baginya.
“Perjalanan berkesenian yang saya cita-citakan dari kecil bukan sesuatu yang rigid. Perjalananlah yang membawa saya menempuh ruang demi ruang, sesuai kapasitas saya pada usianya. Jika saya menempuh seni melalui berbagai sisi, di setiap ruang itulah saya menemukan ruang mana yang pas,” ungkapnya.
Ine melewati berbagai proses pencarian berkarya. Berangkat dari seorang model, kemudian menapak ke seni peran (teater), berpuisi, lalu ke seni film, selanjutnya menyutradarai film.
“Benang merah dari semua proses perjalanan yang saya temukan adalah bahwa seni adalah bagaimana kita belajar mencintai dan menghargai kehidupan,” ungkapnya.
Peserta diskusi juga bertanya bagaimana dia mengatasi kegelisahan ketika menjadi pemain muncul gagasan penyutradaraan. Sementara ketika menjadi pemain harus mengikuti gagasan sutradaran yang terkadang memiliki tafsir berbeda.
“Sebagai aktor tentu saja saya harus menghormati keputusan sutradara. Tetapi buat saya, perlu ada diskusi bagaimana seorang aktor men-deliver karakternya pada setiap adegan yang diinginkan sutradara,” jawabnya.
Aktor, kata Ine, perlu melihat posisi karakternya secara utuh dalam cerita. Selanjutnya penting juga mendiskusikannya dengan sutradara.
“Ada baiknya kita berdiskusi atas berbagai tafsir yang didapat saat proses pencarian karakter dalam peran. Aksi reaksi yang dibutuhkan sebagaimana pandangan sutradara dalam setiap adegan,” kata Ine.
Sutradara dan pemeran (aktor), lanjut Ine, adalah dua jalur yang berbeda tapi beririsan. Ketika mendapat kesempatan berperan, menurut Ine, dia sekaligus mendapat banyak pelajaran penyutradaraan.
“Saat ini saya lebih banyak berfokus di seni peran, dan membangun sebuah art center yang terfokus pada performing arts dan keaktoran. Jika suatu saat saya diberi rezeki kembali menyutradarai film,” ujarnya.
Karir Sha Ine Febriyanti di dunia seni dan sebagai pekerja di industri film, berawal dari cover girl majalah Mode tahun 1992. Ine kemudian merambah ke seni peran dengan membintangi beberapa sinetron dan film layar lebar.
Sejumlah film karyanya antara lain; film “Cinderella” (2001), film “Rumah Katulistiwa” (2007), film “Tuhan’ Pada Jam 10 Malam” (2010), dan film “Selamat Siang, Risa!” (2012).
Sha Ine Febriyanti pernah membintangi Film Televisi (FTV) “Siluet” dan membintangi Film “Beth” yang disutradarai Aria Kusumadewa. Di seni pertunjukan Ine terlibat dalam produksi pementasan teater “Miss Julie” (1999).
Sha Ine Febriyanti beberapa kali mendapat penghargaan, salah satunya Pemeran Utama Wanita Terpuji Festival Film Bandung 2016 lewat Film “Nay” yang disutradarai, dan diproduseri Djenar Maesa Ayu. Di tahun 2021 Ine mendapat beasiswa Asian Film Academy di Busan Korea Selatan.
Menurut Ine, proses berkesenian dalam dirinya adalah sebagai bentuk media ekspresi personal terhadap “point of view” seorang wanita akan kegelisahan terhadap fenomena feminisme sosial budaya dan personalitas dirinya sendiri.
Sejak tahun 2012 Ine mendirikan Huma Rumi sebagai wadah kreatif untuk berbagi, belajar, dan bermain bersama dalam bentuk seni pertunjukan, film seni rupa dan kegiatan sosial melaui media seni.
Ikut menyimak diskusi ini beberapa insan perfilman baik aktor, sutradara, maupun director of photography (DoP), antara lain, Aria Kusumadewa, Effi Zen, Ensadi Djoko Santoso, Bernhard Uluan, Karsono Hadi, Maruli Ara, Depi Herlambang, Guntoro Sulung, Didien Rochidien, Edward AN, Maya Azzezah, Vivie Mis Royani, dan seniman film lainnya./*