humaniora.id – Seni dan budaya bangsa Indonesia dapat menjadi salah satu kekuatan industri kreatif. Para penggiatnya terus menggabungkan pengetahuan tradisional dan seni kontemporer dengan teknologi modern untuk menciptakan karya unggul.
Viabilitas kebatinan inilah yang mendorong Swargaloka dan Orkes Keroncong Pesona Jiwa berkolaborasi menampilkan “CongYang”. Sebuah pergelaran spektakuler yang memadukan musik Keroncong (Cong) dan kesenian Wayang (Yang) Orang.
Mengusung cerita “Cupu Manik Astagina” pergelaran ini akan dipentaskan di Bentara Budaya Jakarta, Jum’at 30 Agustus 2024 mendatang.
“CongYang merupakan seni garapan baru; strategi baru. Pola dan daya adaptasi menjadi kunci untuk para pelaku seni budaya dan industri kreatif agar terus survival,” ujar CEO Swargaloka Suryandoro kepada humaniora.id.
Suryandoro dijumpai di acara doa bersama selamatan produksi “CongYang” di Studio Musik Pesona Jiwa di Depok II Timur, Kota Depok, Senin (12/08/2024).
Hadir di acara doa bersama tersebut antara lain; Koko Thole, Dewi Sulastri, Eddie Karsito, Yurita Badrun, para seniman, musisi, penggiat budaya, wartawan, dan tim produksi yang terlibat di pergelaran ini.
Jamuan makan malam dan doa bersama tersebut sekaligus digunakan Suryandoro memaparkan detail program kepada tim kreatif dan tim produksi yang tergabung dari berbagai elemen penggiat kesenian.
“Kami selalu mencari cara baru untuk mengembangkan karya baik dalam hal tampilan maupun fungsionalitasnya. Sehingga perlu sinkronisasi dan pemaparan lebih detail dari apa yang sudah dikonsepkan,” terang Suryandoro.
Cerita “Cupu Manik Astagina” merupakan karya fiksi yang diangkat dari novel “Anak Bajang Menggiring Angin” karya Sindhunata.
Pergelaran “CongYang” lanjut Suryandoro, mengemas unsur-unsur baru sebagai bentuk inovasi dalam pertunjukan Wayang Orang yang diimplementasikan dalam bentuk musik, cerita, dan pertunjukan.
“CongYang sebagai genre baru pertunjukan seni tradisional Indonesia. Penggunaan musik keroncong menjadi ilustrasi utama dalam pertunjukan ini. Diharapkan dapat menjadi tontonan alternatif yang mampu memikat banyak penonton,” tegas Suryandoro.
Pergelaran “CongYang” akan menampilkan para pemain Wayang Orang senior, antara lain; Dewi Sulastri (Pemain Wanita Terbaik Festival Wayang Orang Panggung), Agus Prasetyo (Bintang Wayang Orang Sriwedari Surakarta), dan Ali Marsudi (Pemain Primadona Teater Tradisi RRI Surakarta).
Didukung pemain lain diantaranya; Irwan Riyadi, Trikadar, Ninok Leksono (Redaktur Senior Kompas dan Rektor Universitas Multi Media Nusantara), dan Tri Agung Kristanto (Wakil Pemimpin Redaksi Kompas).
Akan tampil juga penyanyi keroncong Amrih Basuki dan Yurita Badrun, serta para seniman muda, yaitu; Paramita Putri Nirmala, Sabela Erifah Putri, Ganeshauman Taqwa, Fediano Hammam Akhyar, dan pemain lainnya.
Pementasan dikemas secara musikal dengan tim produksi dan tim kreatif; Suryandoro, Koko Thole, Dedek Wahyudi, Iwan Gardiawan, Freddy Kamto, Eddie Karsito, Guru Milang, Irwan Riyadi, serta didukung para penari Swargaloka School of Dance dan Omah Wulangreh.
Saat ini para pendukung dan pengisi acara terus melakukan eksplorasi, baik dari elemen musik, tari, drama, tata panggung, maupun kebutuhan artistik lainnya.
Dedek Wahyudi, selaku Penata Musik pergelaran ini menyampaikan, pihaknya tengah mencoba memadukan harmoni dua entitas musik berbeda. Menurutnya masing-masing punya karakter serta kekuatan sendiri.
“Instrumen gamelan sebagian besar jenis perkusi. Memainkannya dipukul, lalu kita padukan dengan alat musik keroncong, alat musik petik, tiup, gesek. Kami masih melakukan pencarian harmonisasinya. Perpaduan dua jenis musik ini akan saling melengkapi,” terang Dedek Wahyudi.
Musisi keroncong yang juga penggiat musik berbasis tradisi Koko Thole mengatakan, di Jawa musik keroncong berakulturasi dengan alat musik tradisional seperti gamelan. Kolaborasi berbagai jenis musik menurutnya makin populer saat ini.
“Hal ini memungkinkan musisi dapat menciptakan suara yang unik dan menarik. Apalagi pada pentas ‘CongYang’ ini kita memadukan warisan budaya seperti seni wayang dengan inovasi teknologi,” ungkap Koko Thole, yang juga salah satu inisiator pergelaran ini.
Ringkasan Cerita
Cerita Cupu Manik Astagina berawal dari kisah cinta antara Bathara Surya dan Windradi sebelum ditugaskan turun ke bumi untuk menjadi istri resi Gotama. Benda ajaib Cinderamata cinta bernama Cupu Manik Astagina yang berisi rahasia-rahasia alam semesta pemberian Bathara Surya menjadi petaka bagi keluarga Windradi.
Benda tersebut menjadi rebutan dan pertengkaran anak-anak Windradi. Resi Gotama murka dan mengutuk Windradi menjadi tugu batu karena tidak mau menjelaskan asal-usul Cupu Manik Astagina. Ketiga anaknya yang rupawan yaitu Guwarsa, Guwarsi dan Anjani berubah wujud menjadi kera karena ambisi ingin memiliki Cupu Manik Astagina./***