humaniora.id – Para seniman tari dan penggiat budaya di Jawa Timur ikut mendukung inisiatif penetapan Hari Tari Indonesia (HATI). Mereka berharap para penggiat tari dari daerah lain, serta semua pemangku kepentingan turut mendukung gagasan ini.
Para inisiator penetapan Hari Tari Indonesia (HATI) terus mencari pijakan sejarah untuk menengarai satu peristiwa kebudayaan terkait dengan seni tari yang dapat dijadikan referensi ditetapkannya Hari Tari Indonesia.
“Latar belakang sejarah atau peristiwa kebudayaan terkait seni tari dinilai penting sebagai penanda munculnya hari tari Indonesia yang kita canangkan,” ujar Suryandoro selaku Fasilitator dan Deklarator Hari Tari Indonesia (HATI) kepada humaniora.id di Jakarta.
Hal ini disampaikan Suryandoro usai menggelar meeting online dengan sejumlah seniman tari dan penggiat budaya di Jawa Timur, serta para Pengurus DPP Asosiasi Seniman Tari Indonesia (ASETI), Jum’at malam (18/10/2024).
Tarian Indonesia mencerminkan kekayaan dan keanekaragaman budaya bangsa Indonesia sekaligus menunjukkan kompleksitas sosial. Bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia yang terus berkembang seiring waktu.
Meeting online dengan sesama penggiat tari dan penggiat budaya di daerah, terang Suryandoro, dimaksudkan untuk mendengar seberepa jauh aspirasi dan respon mereka terhadap rencana penetapan Hari Tari Indonesia (HATI).
“Setelah dengan rekan-rekan di Jawa Timur, kami akan mengadakan meeting online serupa dengan penggiat tari dan penggiat budaya dari daerah lain. Inisiatif ini terus kita gaungkan hingga tercapainya penetapan Hari Tari Indonesia (HATI),” ujar seniman tari yang juga Founder Sanggar Tari Swargaloka ini.
Selain Suryandoro, hadir di meeting online tersebut Agustina Rochyanti, Ketua Umum Asosiasi Seniman Tari Indonesia (ASETI), Dr. Peni Puspito, M.Hum (Universitas Negeri Malang/ Ketua DPD ASETI Jawa Timur), Drs. Arif Rofiq, M.Si, (Raff Dance Company Surabaya), dan Drs. Herri Prasetyo (Seniman, Pegiat Seni Surabaya).
Hadir juga Sekar Alit, M.Sn (Sawung Dance Studio Surabaya), Soekatno, S.Sn (mantan Kepala Taman Budaya Jawa Timur), Drs. Sholeh Adi Pramono (Padepokan Mangun Dharma Malang), Sugeng Lukito, S.Sn (Sanggar Ande-Ande Lumut Kediri), Ninin, S.Sn (Sanggar Tari Lamongan), dan Tri Wahyu (Dewan Kesenian Situbondo).
Beberapa seniman berhalangan mengikuti meeting online, namun menyatakan mendukung gagasan Hari Tari Indonesia (HATI), yaitu Prof. Robby Hidayat (Universitas Negeri Malang), Tri Wahyuningtyas, S.Pd, M.Si (Universitas Negeri Malang), Dr. Joko Prakosa, M.Sn (Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta), Dr. Deslina Da Ari (Universitas Negeri Semarang) yang juga penggerak tari di Pacitan, dan Soedarsono (Sanggar Tari TARARA Bangkalan).
Beberapa pengurus DPP, DPD dan DPC ASETI juga ikut serta dalam rapat ini diantaranya; Atien Kisam (Founder ASETI), Wahyuni H. Dauly (Ketua ASETI DPC Bekasi), Dr. Genoveva Noirury Nostalgia, M.Sn. (DPP ASETI), Bambang Sriyanto (Ketua DPC ASETI Pesisir Selatan), Armandira Visa Putra (ASETI DPC Bekasi), Aty Widyawaty (ASETI DPC Bekasi), Any Wulan K (ASETI DPC Bekasi), Firman (ASETI DPD DKI Jakarta), Tengku Rizal (ASETI DPC Kota Medan), dan Muhammad Nursyam (Ketua ASETI DPD Sumatera Utara), serta wartawan dan penggiat budaya Eddie Karsito.
Taman Candra Wilwatikta
Ada sejumlah peristiwa budaya yang dapat dijadikan landasan sejarah dalam penetapan Hari Tari Indonesia (HATI). Menurut Drs. Arif Rofiq, M.Si, peristiwa Budaya Ramayana antara lain dapat dipertimbangkan karena telah menginspirasi dibangunnya Amphitheater Candra Wilwatikta.
“Taman Candra Wilwatikta merupakan sebuah taman pagelaran seni peninggalan kerajaan Majapahit yang berada di kota Pandaan Jawa Timur,” terang Arif Rofiq.
Di sini untuk pertama kalinya Festival Seni Ramayana Internasional digelar di tahun 1971 yang dihadiri Presiden Soeharto. Menampilkan para peserta dari Indonesia, Birma, India, Khmer, Malaysia, Muangthai, yang mempresentasikan petikan cerita Ramayana dengan versi masing-masing.
Menurut Arif Rofiq, momentum Raja Majapahit menari topeng di negeri Nusantara tahun 1350 – 1389 juga dapat digunakan sebagai dasar untuk menetapkan perayaan Hari Tari Nusantara atau Hari Tari Indonesia.
Menurut Drs. Herri Prasetyo, di Jawa Timur ada seniman pejuang seperti pak Santik dan Ibu Asiah yang berkesenian di masa perjuangan kemerdekaan.
“Pak Santik dari Jombang selalu menari dengan kostum merah putih. Hal ini kemudian menjadi cikal bakal tari Remo dengan spirit kepahlawanan. Lalu Ibu Asiah karyanya menjadi cikal bakal gerakan perlawanan terhadap penjajah di Probolinggo yang melahirkan kesenian Glipang,” terang penggiat seni asal Surabaya ini.
Wacana Hari Tari Indonesia, lanjut Herri Prasetyo, juga dapat merujuk pada Negara Kertagama ditandai ketika Hayam Wuruk menghibur rakyatnya dengan menari Topeng. Namun tegasnya hal ini belum ada kejelasan tentang kapan dan di mana peristiwa tersebut terjadi.
Panggung Prambanan
Dalam perbincangan juga mencuat peristiwa budaya tari lainnya. Yaitu, Ramayana Prambanan merupakan sendratari paling rutin dipentaskan di Candi Prambanan sejak tahun 1961 pada masa awal pemerintahan Presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno.
“Peristiwa ini melibatkan banyak tokoh tari Indonesia yang saat ini oleh masyarakat dianggap sebagai maestro,” ujar Genoveva Noirury Nostalgia, M.Sn., yang pemaparannya diakui menjadi bagian dari catatan desertasinya.
Panggung Prambanan sampai saat ini masih berfungsi dengan baik dan menjadi bagian dari gerakan kebudayaan dan kepariwisataan di Indonesia.
Dalam group discussion terlontar, bahwa hampir semua peringatan hari-hari besar di Indonesia menggunakan kata Nasional, seperti Hari Musik Nasional, Hari Film Nasional, Hari Wayang Nasional, dan berbagai peristiwa penting lain yang dirayakan.
Tetapi mengenai penamaan apakah sebaiknya Hari Tari Indonesia (HATI), Hari Tari Nasional, atau Hari Tari Nusantara, peserta rapat sepakat menamakan Hari Tari Indonesia (HATI).
Menurut Eddie Karsito, Nusantara memiliki catatan sejarah panjang dan ikonik. Sementara Nasional setiap bangsa memiliki nasionalismenya masing-masing. Nasional (Nation) artinya jatidiri atau ciri khas yang melekat pada suatu bangsa, tidak hanya Indonesia.
“Jadi kata Indonesia lebih prasaja dan tegas yang mengidentifikasi kebangsaan kita sebagai orang Indonesia. Saya lebih setuju Hari Tari Indonesia (HATI),” ujar wartawan senior dan penggiat budaya ini.
Tari Saman Warisan Budaya Dunia
Perihal momentum Hari Tari Indonesia (HATI) yang merujuk pada sejarah, menurut Suryandoro, di beberapa daerah di Indonesia juga banyak peristiwa atau tokoh-tokoh tari dengan latar belakang yang menyejarah, seperti di Jawa Timur.
Namun menurutnya, penetapan Hari Tari Indonesia (HATI) mengerucut pada momen ketika Badan PBB Urusan Pendidikan, Sains dan Kebudayaan (UNESCO) secara resmi mengakui Tari Saman Gayo dari Provinsi Aceh sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB), dalam sidang di Bali (24/11/2011).
“Tari Saman juga populer di dunia dengan sebutan tarian seribu tangan (athousand hand dance). Alternatif ini diharapkan tidak ada tafsir Jawa-sentris, melainkan Indonesia-sentris,” ujar Suryandoro.
241124 Angka Unik dan Ikonik
Jika penetapan Hari Tari Indonesia (HATI) dapat dilaksanakan 24 November 2024 maka secara numeralia angka tersebut 241124 memiliki keunikan dan mudah diingat oleh masyarakat. Bahwa 241124 adalah tanggal di mana ditetapkannya Hari Tari Indonesia (HATI).
Sebelumnya sejumlah seniman ikut menandatangani persetujuan penetapan Hari Tari Indonesia (HATI) ini, yaitu; Dr. Sal Murgiyanto (Dosen dan Kritikus Tari), Dr. Nungki Kusumastuti (Aktris Film, Penari dan Dosen IKJ), Drs. Sulistyo Tirtokusumo (Maestro Tari dan mantan Direktur Kesenian Direktur Jenderal Kebudayaan, Kementrian Kebudayaan RI), dan Suryandoro (Founder Swargaloka Foundation).
Ikut menandatangani juga Wiwiek Sipala (Maestro Tari Sulawesi Selatan dan Dosen IKJ), Genoveva Noirury Nostalgia, M.Sn. (DPP ASETI dan Dosen IKJ), Fafa Utami (Dosen ISI Surakarta), Dindin Heryadi (Dosen ISI Yogyakarta), Embie C. Noor (Praktisi Seni, Musik dan Film), Yusuf Susilo Hartono (Wartawan)./*