Berita Terkini, Eksklusif di WhatsApp humaniora.id
Magelang, humaniora.id – Cerpen Karya Rizky Armyono Saputra
Seniman-Seniman Fakir
Aku menunggu, bersama teman-temanku disekolah di daerah Jawa Barat, menunggu langit berhenti menangis. Sampai jenuh kami dibuatnya, tak ada yang kami lakukan selain menunggu. Kami pulang setelah awan berhenti menurunkan air, melewati jalanan becek langkah sepatu kami berderap bergantian, derung motor silih berganti melewati kami.
Air menggenang di mana-mana, tak sengaja aku menginjak genangan air, seketika kaus kakiku basah lantaran moncong sepatuku sudah koyak. Bukan masalah bagi kami, walaupun sepatu teman-temanku menganga karena lapar, sudah macam buaya berjemur di waktu duha. Orang tua kami belum dapat rezeki lebih, kendatipun sudah punya mereka hanya mampu membelikan sepatu bekas dan sekadar seragam lungsuran.
Hidup kami damai satu dengan lain, tak pernah kudengar dari penjuru manapun di desa kami, Desa Koneng Pare, tetangga dengan tetangga, suami dengan istri, anak dengan orang tua, yang pernah kami alami hanya permusuhan yang berakhir damai saat mengaji, begitulah masa SD, ada cinta monyet maka ada pula dendam monyet.
“He Kasim! kenapa kau tak kerjakan tugas itu tadi?”
“Aku lupa, tidak ada yang kasih tahu.”
“Ah kau! semalam sudah ada beta ajak kau tapi kau bilang katanya sudah!” Gerson memojokkan Kasim dengan logat Papua yang masih kental di telinga kami.
Kasim mengerutkan dahi, matanya memojok ke atas berusaha mengingat-ingat. ”Hehehe.” Ia menggaruk-garuk kepalanya yang membuat kami tertawa melihat tingkah Kasim.
Jalanan pasar tak lagi ramai, hanya beberapa orang keluar masuk pasar, mengangkat tikar dan piranti-piranti lain. Sayur mayur, daging-dagingan, buah-buahan dan berupa-rupa, berwarna-warni, beraneka rasa jajanan tradisional ada disini.
“Komar! nanti samper aku, nyak! biasa mandi ka sungai.”
“Eh ajak beta juga!” Aku mengangguk-angguk.
Sore itu, kami merencanakan mandi ke sungai, di pinggir sungai jika deras airnya. Kami segera berpisah berjalan ke rumah masing-masing seraya saling berpamitan.
“Tong lupa, nyak!”
“Oke….” dengan kompak kami bersepakat.
“Balik dulu.”
“Beta pulang dulu.”
“Pulang dulu!” ucap kami bergantian.
Sore itu kami hanya berempat, kurang Dino, kabarnya ia diare, buang air sampai sepuluh kali. Matahari berhasil menyemburkan cahaya setelah bersitatap dengan awan, selalu indah di mata kami, desa tercinta ini, masih rimbun pepohonan, udaranya segar, walaupun hanya ditinggali ala kadarnya orang-orang yang merasa cukup dengan kemiskinan.
***
Aku berjalan bersama Kasim melewati jalanan tanah hutan yang sudah dibentuk seperti anak tangga oleh warga desa, turun ke jurang untuk menuju sungai. Gerson masih sibuk di kebun menanam singkong dan Komar sibuk menyalakan tungku untuk memasak, membantu orang tua masing-masing, mereka akan menyusul.
Gemericik air terdengar jelas, sekarang yang kami pijak adalah bebatuan yang menandakan pesisir sungai.
“Aduh!” Punggungku terasa perih sekarang.
“Hei! sakit tahu!” Komar dan Gerson tertawa terbahak-bahak, setelah mengetapel punggungku dengan buah leunca.
“Ayo kita ke air terjun!”
Tanpa basa-basi kami berlari ke puncak tebing, segera melepas pakaian dan berlompatan tepat dimana air terjun jatuh, kedalamannya sekitar 2 meter.
“Brrrr….dingin!”
Setelah muncul di permukaan, wajah kami tak henti-hentinya terciprat oleh embun air terjun, kami bermunculan di permukaan kecuali Gerson. Beberapa detik berlalu tanpa ada kabar, anak itu belum ada tanda-tanda akan muncul ke permukaan air terjun terus bergemericik.
“Ayo naik lagi!”
“Sebentar! mana Gerson?” Aku, Kasim dan Komar terlihat tegang, berusaha melihat sekitar, kanan, kiri, depan, belakang, namun tak ada mereka melihatnya.
“Son!”
“Gerson!!” Teriak Kami.
“Tak usah lah main-main!!” Aku meniru logatnya.
“Coba cari dia di dalam air!!” titahku.
Seketika kami menyelam, air yang bergerak rusuh mengaburkan pandangan kami, yang terlihat hanyalah bebatuan dan ikan-ikan kecil di dasarnya, meskipun jernih sulit untuk saling tatap satu sama lain tanpa kacamata renang.
Napas Kami habis, tak kuat lagi menahannya, segera kami naik untuk mengambil napas, kami telah muncul kembali ke permukaan, terengah-engah menghembuskan sisa air yang masuk ke hidung.
“Ayo menepi dulu!!” Kataku.
Kami telah duduk di tepian sungai yang berumput, berseru-seru memanggil Gerson yang tak kunjung nampak batang hidungnya.
“Gerson!!”
Saat kecemasan kami memuncak, “DAAR!!” Kami terkejut karena tiba-tiba saja ia menepuk pundak Kasim dari belakang seraya berteriak, membuat kami terkejut. “Hahaha,” Gerson terbahak-bahak.
“HEI! dari mana saja kamu?! buat panik saja.”
“Hahaha…” Ia tak henti-henti tertawa. “Tak lihatkah? beta berenang kesana lah, kau orang sedang tertawa-tawa kegirangan…”
Gerson menunjuk batu besar yang tadi menjadi tempat persembunyiannya, “Perhatian sekali dengan beta sampai khawatir.” Ia terkekeh, alis kami menukik menatap tajam Gerson. “Janganlah marah, beta hanya bercanda saja.”
“Ya Sudahlah Ayo kita pulang! sudah semakin gelap.” Tanpa basa-basi kami langsung berhanduk dan segera berpakaian.
Tak ada mendung tak ada petir Gerson berteriak dan berusaha menyingkirkan sesuatu dari kakinya dengan ranting kecil. “Tolong beta!!!”
Kami tak terlalu terkejut, lantas aku meninggalkan mereka “Tunggu sebentar!”
***
Aku kembali membawa sebatang rokok dari Mang Ujang yang rumahnya tak jauh dari jurang ini.
“Sabar Son!” Aku merobek rokok itu, membasahi tembakaunya dan memeraskan air tembakau itu ke kaki Gerson yang dihinggapi lintah sebesar jari telunjuk orang dewasa, tak lama, dengan cara itu lintah tersebut berhasil lepas.
Luka bekas gigitan nya lebar karena moncong lintah itu pun besar, kutahu itu dari Bapak, “Kalau digigit lintah peraskan air tembakau, lintah tak tahan pahit.” Langit sudah semakin gelap. Kelelawar mulai keluar dari sarangnya, berterbangan. Kami segera pulang.
***
Setelah isya kami ikut bapak-bapak kami untuk menonton bola di Warkop Mang Salim dengan TV tabungnya yang gambarnya masih terlihat namun kesemutan, Indonesia melawan Thailand.
Kami bersorak-sorai bahagia sekaligus senang pasalnya Indonesia memenangkan final SEA Games tahun ini dengan skor 5-2 untuk Indonesia. Malam ini, api mendidihkan air dengan telak.
Kami pulang jam 11 malam. Marah Ibu kami, sandal jepit terbang ke pantat kami.
***
Pelajaran belum dimulai, jendela kelas berembun, udara terasa segar.
Sekolah kami, menghadap langsung ke jalan yang hanya muat untuk sebuah mobil, di sampingnya sawah, di sampingnya lagi pohon-pohon kelapa yang berjajar heterogen bersama pohon-pohon pisang dan disampingnya lagi sawah lalu hutan yang membukit, konon seorang warga pernah melihat macan di pedalamannya, di jantung hutan tersebut.
“Hasan!” Pak Sobarna menyapa, “Hasan!”
“Has-“
“Oh! ya Pak!” Aku terkesiap terkejut karena tiba-tiba Pak Sobarna menepuk pundakku, aku yang tadi sedang duduk melamun di depan kelas langsung berlari memasuki kelas.
Pak Sobarna mulai bicara setelah berdoa sebelum belajar selesai. “Apa kabar anak-anak?”
“Baik Pak!” serempak kami menjawab.
“Hari ini kita tidak belajar karena sekolah kita diikutkan pemerintah untuk tampil di balai kota.” Beliau tersenyum. Kami yang akan bersorak senang seketika terdiam bisu, pada kalimat diikutkan pemerintah untuk tampil di balai kota.
Masih hening, berusaha mencerna perkataan nya tadi, “Hari ini kita akan mulai berlatih.” Lanjutnya.
“Tapi Pak…kami tidak bisa menari.” Gerson angkat bicara, logat bicaranya khas.
“Iya Pak.., kami malu tampil di panggung” Beberapa anak perempuan mengeluh.
“Tenang saja anak-anak! Kalian tidak akan malu jika sudah berlatih keras.” tak ada yang menjawab, yang ada hanya bisik-bisik anak yang duduk di belakang.
“Oke! Bapak sudah berjanji, nah sekarang kalian yang berjanji akan berlatih sungguh-sungguh.” lagi-lagi tak ada yang menjawab, sibuk mengobrolkannya masing-masing.
“Pak?”
“Iya Kasim!”
“Kami cuma murid dari sekolah pelosok dan yang tampil adalah sekolah-sekolah ternama di kota, orang-orang berkecukupan bagaimana kalau mereka menertawakan kami?”
“Benar Pak!” Komar sepakat dengan ucapan Kasim, “Kami tidak mau dipermalukan…” Lanjutnya dengan ragu. Aku hanya diam mendengarkan keluhan teman-temanku. “Justru karena itu! Kasim, anak-anak, buktikan kalau sekolah kita layak mengikuti perlombaan kesenian di balaikota, buat mereka terkagum-kagum…”
Pak Sobarna tersenyum simpul membujuk hati kami yang gelisah, “Kasim! Bapak sering dengar kamu menyanyi sendirian di kelas.” Kasim tersipu malu. “Ayo maju! teman-teman ingin mendengarkannya.”
“Hei, ayo cepat maju Sim!” Aku menyemangati.
“Kasim…,kasim…,kasim…,KASIM…,KASIM…” Pak Sobarna menyorakkan semangat, diikuti murid-murid yang lain.
Senyum tersungging di wajahnya, dia menatap sekitar, Saiful, teman sebangkunya terlihat mengatakan sesuatu yang membuat Kasim memberanikan diri untuk maju.
Kasim belum lagi bernyanyi, dia masih berdiri diam, memejamkan mata, menghirup nafas dalam-dalam kelas yang tadinya hening mulai gaduh, sedang apa dia? benak kami.
“Izinkan ku lukis senja…. mengukir namamu disana…. membawakanmu bintang-bintang…” Tiba-tiba saja kami membisu seperti ada yang membungkam mulut kami.
***
Kasim sudah selesai menyanyi, masih hening tak ada yang menyangka aku pun, teman dekatnya, juga tidak menyangka ada suara emas yang terpendam di dalam pita suaranya.
Ia masih memejamkan mata kami bertepuk tangan riuh bergemuruh melontarkan pujian. “Kasim!” Dia menoleh menatap Pak Sobarna yang berbinar. “Dari mana kamu belajar menyanyi seperti itu?”
“Radio di warung kopi Mang Salim, Pak…”
“Indah sekali, kamu berbakat, kamu akan tampil! bernyanyi diatas panggung, berlatihlah!”
Mendengarnya, ia tersenyum lebar, memeluk Pak Sobarna di depan kelas, di hadapan kami semua yang masih saja diam terpana, menatap tak percaya sekaligus penuh harap kepada kasim.
Sore itu Kasim menjadi sangat bersemangat, ia terus bernyanyi sepanjang jalan hingga tak menghiraukan kawan-kawannya.
“ Aku yakin, Abangku di kota lebih hebat lagi menyanyi.” tiba-tiba saja Komar berkomentar, “Abangku sudah sukses di kota, dan aku juga yakin dia akan datang mendonasikan sedikit hartanya untuk sekolah kami.”
Aku hanya tersenyum, sebenarnya aku tak terlalu percaya dengan perkataannya itu, yang kutahu, Komar adalah anak sulung, entahlah, benakku.
“Saiful! tadi kamu bilang apa pada Kasim?” Saiful berbisik, terkejut aku dibuatnya aku sekarang paham apa yang mendadak terjadi kepada Kasim dan membuatnya begitu bersemangat memberanikan diri bernyanyi di depan kelas.
Latihan akan dimulai, Pak Sobarna melakukan pembagian peran setelah menjelaskan apa yang akan kami lakukan hari ini, beliau membagikan peran kepada kami semua, pemain instrumen musik tradisional adalah kaum lelaki ditambah Mang Calunger sebagai pemain kecapi dan para kaum hawa menjadi penari.
Kami belum mengerti memainkan alat-alat musik ini, asal menggoyangkan memainkan alat musik, suasana kelas gaduh dan bising oleh beragam berupa suara.
“Anak-anak!” tak digugu. “ANAK-ANAK!! hentikan dulu!!” seketika kelas hening Pak Sobarna memanggil beberapa kali namun tak didengar akhirnya beliau meninggikan suara.
“Anak-anak! kenalkan beliau Mang Calunger, beliau akan mengajarkan kalian bermain alat musik, Ibu Suni akan mengajarkan kalian menari.” Bu Suni menatap anak perempuan yang memisahkan diri menjadi satu kelompok penari.
Tanpa terasa, latihan telah usai kami belum sepenuhnya bisa, masih ada tiga hari lagi untuk berlatih sebelum hari itu datang,
Mang Calunger mengajarkan kami dengan sabar nada-nada pada setiap alat musik.
Selain kabar baik itu ada juga kabar buruknya, suara Kasim serak tenggorokannya sakit, nasib buruk lainnya juga menimpa kami, sebagian besar alat musik tradisional, sebab tak pernah digunakan.
Pak Sobarna dan Mang Calunger, pergi ke kota untuk meminjam alat musik tradisional kepada teman Mang Calunger, menaiki mobil pick up milik Mang Ujang.
***
Kasim terbangun, ibunya sudah mengomel-ngomel menyuruhnya bersiap-siap sekolah. Entah apa yang ia pikirkan, ia melompat dari tempat tidur dan pergi mandi. Terheran-heran ibunya melihat tingkahnya yang tidak biasa.
Dengan tergesa-gesa ia berpamitan kepada ibunya lalu mengambil dua potong ubi dan memakannya sambil berlari ke sekolah.
Latihan langsung dimulai sebegitu Pak Sobarna masuk ke kelas, anak-anak perempuan mulai menari diiringi instrumen musik tradisional.
Aku memperhatikan Kasim yang hanya duduk memperhatikan seseorang, sekarang aku tahu bahwa ia sedang jatuh cinta. Ia terus saja memperhatikan Santi yang sedang berlatih menari.
Sepulangnya, lagi-lagi Kasim berlari pulang sendirian. Ketika kutanya, ia hanya tersenyum-senyum.
Hari-hari berikutnya Kasim mengulangi tingkah yang sama, aku jadi semakin paham. Kasim mulai berlatih menyanyi, tenggorokannya sudah lebih baik, ia mencuri-curi pandang kepada Santi dan teman-temannya yang sudah lihai menari, begitupun sebaliknya.
Keesokan harinya kami bangun pagi-pagi sekali. Pak Sobarna melakukan pengarahan sebelum kami berangkat ke kota untuk tampil. Anak laki-laki mengenakan pakaian pangsi lengkap dengan totopong, sedangkan anak perempuan mengenakan kebaya dan bawahan rok batik. Kami pun kami pun berangkat menaiki bak mobil pick up dan juga angkutan kota yang di sewa.
MC sudah mengucapkan sambutan, aula sudah ramai sesak oleh para penonton, panggungnya dihias sedemikian cantik. “Baik hadirin sekalian waktunya penampilan-penampilan dimulai, Mari kita sambut peserta pertama, The Cikurs…..!” Tak ada siapapun yang naik ke atas panggung, MC melihat jam memanggil kami beberapa kali. Masih tak kunjung datang. “Baiklah kami akan memanggil peserta selanjutnya, penampilan oleh The RoseBa-“
Tiba-tiba saja The Cikurs datang, masuk melewati pintu depan di tengah para penonton, lantas menaiki panggung menata instrumen-instrumen musik tradisional, penonton ternganga. sekonyong-konyong Kasim mengambil alih microphone dari tangan MC ” Maaf para hadirin, kami terlambat, karena… karena…emmmm…” Aku berbisik kepadanya, ” Oh ya, Kejutan!!!” Penonton hening tak bergeming, lantaran terheran-heran.
“Baiklah…karena pesertanya sudah datang, MARI KITA MULAI PENAMPILANNYA!!!!” MC merebut microphone dari tangan Kasim, menatapnya tajam.
Pertunjukan dimulai instrumen mulai dibunyikan. Penonton terkesima. Pemain instrumen memberi kode, para penari panggung. gerakannya selaras dengan Irama musik, luwes berputar-putar berganti formasi memberi kesan sangat indah. Instrumen musik, semakin panas mendendangkan Irama, ber-klang-klung, ber-nang-nong, berdenting menghiasi ruangan dengan getaran udara menjadi suara menari-nari menghiasi telinga dan tarian nya memancar aura berwarna-warni memanjakan mata.
Penampilan tari pun selesai, para penonton yang akan memberi tepuk tangan urung melakukannya karena Kasim naik ke atas panggung, penonton terdiam bisu sekaligus terheran dengan apa yang dilakukan Kasim. Lantas ia memejamkan mata, menarik nafas dalam-dalam dan mulai bernyanyi. Penonton hening sama seperti teman-temannya saat menyaksikannya di depan kelas. Beberapa detik ia memandangi Santi yang ikut menyaksikan penampilannya.
“Aku mengerti…Perjalanan hidup yang kini kau lalui…”
***
Penonton bersorak-sorai memberi beribu applause kepada Kasim, persis seperti kali pertama ia bernyanyi di depan kelas.
Kami pulang dengan penuh semangat dan senyuman lebar, tak ada yang menghalangi sukacita kami, pasalnya pemerintah berjanji akan memperhatikan sekolah kami juga merenovasinya.
Beberapa minggu berlalu pemerintah tak kunjung memenuhi janjinya, kami tak lagi bergairah seperti saat sepulang pentas di balai kota. Perasaan kami hambar karena janji tersebut.
Minggu pagi ketika aku membantu Ibu menjemur pakaian tiba-tiba saja ada yang menggedor pintu lantas Ibu menyuruhku membukakan pintu.
“Gerson!!”
Aku berpamitan kepada ibu karena Gerson mendesakku untuk datang ke sekolah pagi ini.
Betapa terkejutnya aku, beberapa truk tengah menurunkan pasir, semen, batako dan alat pencampur semen. Dan lebih terkejutnya aku karena Pak Sobarna bilang Abangnya Komarlah yang berbaik hati merenovasi sekolah kami, seketika tubuhku membeku lantaran perkataan Komar bukan bukanlah dongeng sebelum tidur semata.
Rizky Armyono Saputra, Pelajar SMA IHSANUL FIKRI Mungkid, Magelang, Jawa Tengah.