Jakarta, humaniora.id – Budayawan Taufik Rahzen, kuasa hukum FSP-TIM, Effendi Saman, SH, beserta sejumlah seniman dan aktivis kebudayaan, meramaikan hajatan Syukuran Ramadhan bertajuk “Malam 1000 Bulan” di kawasan Pusat Kesenian Jakarta – Taman Ismail Marzuki, tepatnya di halaman Posko #saveTIM. Acara yang dilaksanakan oleh Masyarakat Penggiat Seni Indonesia (MPSI), Federasi Pekerja Seni Indonesia (FPSI), dan Dinas Kebudayaan DKI Jakarta itu berlangsung Sabtu malam (8/4-2023).
Selain penyampaian kuliah ringkas oleh Taufik Rahzen, tampil pula para penyair, aktor, dan deklamator nasional, yang bergantian mengisi panggung membaca puisi dengan gaya masing-masing yang menawan: Exan Zen, Imam Maarif, Nuyang Jaimee, Rini Kreet, Tatan Daniel, Moktavianus Masheka, Jose Rizal Manua, Ical Vrigar, Iwan Cipta Saputra, Joind Bayuwinanda.
Ketua Umum MPSI, Mujib Hermani, menyebutkan bahwa acara syukuran Ramadhan sudah menjadi tradisi di kalangan seniman, khususnya yang bergiat di TIM. “Ini tradisi yang kami gelar setiap bulan Ramadhan. Semacam acara silaturahmi, sambil berbuka puasa bersama. Sudah dimulai sejak Ramadhan tiga tahun lalu. Acaranya, biasanya diisi dengan diskusi ringan, dan juga penampilan para penyair dan pembaca puisi,” ujarnya.
“Kami mengundang para seniman yang peduli terhadap persoalan kesenian. Dari berbagai wilayah, dan juga mewakili bidang-bidang seni, seperti sastra, musik, teater. Semacam konsolidasi semangat, tapi dalam suasana religi yang sejuk,” tambah David Karo-karo, Koordinator Acara.
Tempat berhimpun para seniman lintas seni dari berbagai penjuru Jakarta, yang biasanya diramaikan dengan diskusi hangat soal-soal kesenian itu, malam kemarin, memang terasa sejuk. Bukan hanya karena sorenya sempat disiram hujan ringan, tapi juga karena hajatan khusus yang bertepatan dengan momen peringatan ‘Nuzulul Qur’an’ itu, menghadirkan pula suasana ibadah sastra yang khusuk dan khidmat.
Dalam kuliahnya, Taufik menguraikan kaitan tradisi malam 1000 bulan yang lazim dilaksanakan pada bulan Ramadhan. Seribu bulan, dapat dimaknai sebagai gambaran tentang waktu yang tak berhingga. Bahwa waktu yang tak berhingga itu bisa ditempuh melalui momen yang sangat ringkas, ialah malam Lailatur Qadar. Dari sana, kalam, ketika yang sabda, kemudian menjadi nyata. Perintah ‘Iqra,’ Bacalah, sebagai sabda Tuhan dalam Al Qur’an, menandai hal tersebut. Taufik kemudian menjelaskan kalam alif, lam, mim, yang tersebut dalam Al Quran, yang sesungguhnya tak mengandung penjelasan itu, lewat perspektif ontologis dan epistemologis.
Budayawan kelahiran Sumbawa, yang dalam separuh perjalanan hidupnya mengembara, menziarahi berbagai tempat suci di Baghdad, Yerusalem, Tibet, Ashram-ashram di India, kuil-kuil di Jepang hingga jejak peradaban di Athena itu, mendedahkan tafsir tentang rahasia yang terkandung dalam kalam alif, lam, mim. Yaitu, pentingnya membaca alam sebagai semesta maha luas yang tak terbatas, dan menimba ilmu pengetahuan. Dan melaksanakan amal sebagai implementasi dari ilmu, termasuk di dalamnya mengembangkan seni dan kebudayaan. Amal, memberi nyawa bagi semangat perubahan terhadap peradaban. Semangat perubahan, yang menurut Taufik, dapat pula dibaca dari spirit dan pergerakan #saveTIM selama ini.
Diawali dengan penampilan kumpulan Shalawat Perkusi “Hadrah Nuurussagaf” dari Tangerang, acara syukuran yang dipandu Sari Chikata, ditutup dengan pembacaan puisi oleh Joind Bayuwinanda, dramawan yang pernah menyabet gelar sebagai aktor terbaik pada Festival Teater Jakarta, yang pentas monolognya ketika memerankan Tan Malaka, beberapa waktu lalu, “Saya Rusa Berbulu Merah,” terselenggara dengan penjagaan ketat pihak kepolisian. Joind membacakan puisi Sutardji Calzoum Bachri yang bertajuk “Sajak Hemat”: dari hari ke hari/bunuh diri pelan pelan/dari tahun ke tahun/bertimbun luka di badan/maut menabungku/segobang segobang.
Comments 1