humaniora.id – Universitas Paramadina bekerjasama dengan PCM Muhammadiyah Bojongsari, Kota Depok dan Yayasan al-Hasra menyelenggarakan seminar “Menyemai Keislaman, Keindonesiaan dan Kemodernan di Sekolah Menengah Kota Depok” di Kampus al-Hasra, Bojongsari (3/7/2023).
Menurut Dr. Zamahsari, pengurus Yayasan al-Hasra, pimpinan dan guru sekolah perlu oase intelektual yang mencerahkan dan reflektif agar tidak berkubang dalam aktivitas administratif. Tema Keislaman, Keindonesiaan dan Kemodernan relevan dalam upaya tersebut.
Fachrurozi Majid, Direktur Eksekutif Nurcholish Madjid Society menyatakan, perlu penanaman karakter keindonesiaan pada siswa secara konkret.
Kemudian, nilai-nilai Pancasila harus diejawantahkan dalam keseharian bukan sekedar verbalisme, dibicarakan an sich, atau dihafal yang tidak akan berdampak dalam kehidupan sosial keseharian.
Bagi Fachrurozi, Keislaman dan Keindonesiaan penting dihayati karena fakta sosiologi bangsa Indonesia yang majemuk.
“Kemajemukan itu membutuhkan sikap saling memahami, berempati dan menghormati. Minimnya empati, misalnya, melahirkan ekstremisme.
Dunia pendidikan adalah kunci menumbuhkan sikap egaliter, terbuka, saling menghargai, toleransi yang niscaya di masyarakat yang sangat beragam.” paparnya.
Dalam konteks Keislaman, Fachrurozi merujuk pemikiran Prof. Dr. Nurcholish Madjid atau Cak Nur. Cak Nur mempromosikan Islam inklusif. “Islam itu terbuka, mengakui eksistensi agama lain, bahkan memperoleh keselamatan dan kebahagiaan.
Sikap ini diajarkan dalam al-Quran, QS. al-Hujurat ayat 13. Begitu pula dalam konstitusi Negara kesatuan Republik Indonesia memberikan jaminan kebebasan beragama. Artinya, baik kitab suci maupun konstitusi mendorong sikap inklusif Muslim Indonesia.
Kunci membumikan Keislaman dan Keindonesiaan adalah keteladanan.” lanjutnya.
Dr. M. Subhi-Ibrahim, direktur Paramadina Graduate School of Islamic Studies (PGSI) mengamini apa yang disampaikan Fachrurozi.
“Para guru bangsa seperti KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, KH Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama dan Cak Nur punya pesan yang sama, yaitu Keislaman dan Keindonesiaan tidak boleh dipisahkan. Seorang Muslim bisa jadi orang (warga negara) Indonesia yang baik. Sebaliknya, warna negara Republik Indonesia bisa jadi Muslim yang baik. Muhammadiyah dan NU telah setia menjaga keseimbangan sikap beragama dan berbangsa.” tuturnya.
Subhi-Ibrahim menjelaskan, agar bisa berkontestasi dalam peradaban umat manusia, umat Islam Indonesia perlu menjadi modern.
Modern dalam menyadari pentingnya kekinian serta bersikap rasional, kritis dan berkemajuan. Inilah yang akan mengantarkan pada peradaban tinggi.
“Sikap terbuka pada kebudayaan dan peradaban lain adalah cara terbaik untuk membangun kemajuan bangsa dan umat.
Hal tersebut dicontohkan oleh kaum Muslim klasik yang mengadopsi aspek-aspek positif kebudayaan lain guna memperkaya khazanah kebudayaan Islam sehingga sampai puncak peradaban di abad tengah.” ujarnya.
Seminar yang dihadiri oleh seratusan pimpinan dan guru se-kota Depok tersebut merupakan kerja bersama peneguhan komitmen bahwa Keislaman, Keindonesiaan dan Kemodernan bisa harus dimulai dari dunia pendidikan, kawah candradimuka generasi bangsa.
Comments 3