humaniora.id – Meskipun Hari Kebangkitan Nasional baru ditetapkan oleh Presiden Soekarno pada waktu 40 tahun setelah terbentuknya organisasi pergerakan Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908, namun rakyat Indonesia pada waktu itu tetap menyambut dengan antusias penetapan Hari Kebangkitan Nasional tersebut.
Kata ‘Kebangkitan’ berasal dari kata ‘bangkit’, dan para pendiri negara Indonesia (The Founding Fathers) pada waktu itu memaknai arti kata ‘bangkit’ tersebut dengan arti ‘Malu’.
Ya,menurut mereka, jika bangsa Indonesia ingin segera bangkit dari segala keterpurukan pada saat itu, maka bangsa Indonesia harus memilki rasa malu. Malu untuk selalu dijajah, malu untuk selalu kalah, malu untuk selalu bodoh, malu untuk selalu miskin, malu mendapatkan harta dengan cara yang tidak halal, malu menjadi penghianat perjuangan bangsa, dan malu untuk kehilangan harga diri sebagai rakyat dari sebuah bangsa yang beradab.
Kini, setelah 116 tahun berlalunya waktu sejak berdirinya organisasi Boedi Oetomo, dan setelah 76 tahun sejak ditetapkannya tanggal dan tahun kelahiran organisasi Boedi Oetomo tersebut, jika dilihat keadaannya dari hari ke hari dengan kondisi berbangsa dan bernegara yang semakin terpuruk seperti saat ini, justru sepertinya rasa malu sebagai representasi kebangkitan nasional itu kini sudah menghilang.
Maka tidaklah mengherankan, jika saat ini kondisi bangsa dan negara Indonesia sepertinya tidak pernah bisa bangkit kembali. Bahkan yang ada semakin terpuruk dan terus terperosok ke dalam jurang kesulitan kehidupan.
Bangsa ini justru sepertinya tidak malu untuk menjadi negara yang terjajah kembali, dalam artian terjajah secara ekonomi oleh beberapa negara asing, seperti Amerika serikat, Singapura, Jepang, dan China. Terbukti dengan besarnya hutang-hutang negara yang berasal dari negeri-negara tersebut. Dan karena besarnya hutang-hutang itu (sekitar 6.900trilliun rupiah/Januari 2024) , maka dengan mudah saja negara-negara tersebut mengambil kekayaan alam yang berada di negara Indonesia ini, sebagai jaminan dari hutang-hutang yang telah mereka pinjamkan.
Bagsa ini juga sudah kehilangan rasa malunya untuk tidak melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Apalagi ketika ketiga kegiatan tercela tersebut (korupsi, kolusi, dan nepotisme) justru dicontohkan oleh pemimpin negara ini, beserta kroni-kroninya, baik kroninya yang berada di kalangan partai politik, di kalangan penegak hukum, di kalangan pengelola keuangan negara, bahkan sampai kepada kalangan rakyat kecil yang menjadi ‘corong’ mereka, atau yang lebih dikenal dengan istilah ‘buzzer’.
Jadi, menurut hemat saya, jika sampai saat ini kita sebagai sebuah bangsa masih belum mampu untuk menghilangkan rasa malu kita, atau bahkan sampai tidak malu lagi untuk melakukan sesuatu yang tidak etis, dengan merubah kesalahan menjadi sebuah ‘kebenaran yang baru’ yang sepertinya ‘sah-sah’ saja untuk dilakukan, maka itu artinya kita belum pantas untuk bangkit dari keterpurukan. Bahkan yang ada justru semakin dalam terpesorok ke dalam keterpurukan itu sendiri.
Tetapi jika kita memang masih merasa ‘pantas’ untuk bangkit menjadi sebuah negara yang lebih beradab dalam segala bidang kehidupan, maka ada baiknya jika kita merubah istilah Hari Kebangkitan Nasional menjadi Hari Ke-Malu-an Nasional saja, dengan maksud agar kita lebih cepat memahami inti dari makna ‘kebangkitan’ itu sendiri.
Jadi, selamat Hari Ke-malu-an Nasional, 20 Mei 2024……
Wallahu’allam bisshowab
Jakarta, 20 Mei 2024
*
Director of Logos Institute for Education and Sociology Studies (LIESS) / Pemerhati Pendidikan dan Sosial/ Anggota PJMI