Humaniora.id – Memberi santunan anak yatim merupakan salah satu amalan yang dapat dilakukan oleh muslim di Bulan Muharram, terutama pada 10 Muharram yang sering disebut sebagai Lebaran Anak Yatim. Muslim diwajibkan untuk memuliakan anak yatim, menyayanginya, menanggung kehidupannya dan melakukan berbagai kebaikan yang dapat membuat senang hati anak yatim. Bagi mereka yang melakukannya akan mendapatkan kedudukan yang mulia di hadapan Rasulullah SAW dan Allah SWT.
Dalam Hadits Riwayat Imam Bukhari, disebutkan bahwa kedudukan orang yang gemar menyantuni anak yatim di surga akan sedekat jari telunjuk dan jari tengah dengan beliau.
أَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيمِ فِي الْجَنَّةِ هَكَذَا، وَأَشَارَ بِالسَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى وَفَرَّجَ بَيْنَهُمَا شَيْئًا
“Aku dan orang yang menanggung anak yatim (kedudukannya) di surga seperti ini”, kemudian Nabi SAW mengisyaratkan jari telunjuk dan jari tengah Beliau, serta agak merenggangkan keduanya.” (HR Bukhari)
Berdasarkan hadits tersebut, memberikan santunan dapat melunakkan hati. Ketika kita berbagi dengan anak yatim, mengusap wajah mereka, dan memberikan makanan dari rezeki kita, hati kita akan menjadi lebih lembut dan kebutuhan kita akan terpenuhi.
Lalu bagaimanakah cara menyantuni anak yatim menurut para ulama? Ada banyak sekali pendapat terkait cara menyantuni anak yatim ini. Namun mari kita simak pendapat salah satu ulama kontemporer asal Demak Jawa Tengah, KH Muharror Khudlori, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Mubarak Al-Arbain.
Beliau pernah menjelaskan tentang tata cara menyantuni anak yatim saat Diklat Metode Arbain di Demak, Ahad, 14 Juli 2024. Menurut beliau, cara terbaik menyantuni anak yatim adalah dengan menikahi ibunya. Sebab itulah yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW, Beliau menyantuni anak yatim dengan menikahi janda-janda yang mempunyai tanggungan anak.
Istri pertama Rasulullah SAW yakni Sayyidatuna Khadijah RA adalah seorang janda yang sebelumnya telah 2 kali menikah dan mempunyai 4 orang anak. Rasulullah pun saat usianya 25 tahun menerima pinangan Khadijah dengan menikahinya dan membimbingnya sehingga menjadi sosok ummul mukminin yang sholehah dan menjadi panutan bagi para muslimah. Begitu juga dengan istri-istri Rasulullah SAW lainnya. Semua istri Beliau SAW adalah janda, kecuali Sayyidah Aisyah RA.
Maka tidak heran jika KH Muharror Khudlori mengatakan bahwa cara terbaik untuk menyantuni anak yatim adalah dengan menikahi ibunya, sesuai dengan yang dicontohkan Rasulullah SAW, bukan dengan mendirikan yayasan anak yatim. Sebab banyak yayasan yang mengatasnamakan anak yatim, tapi dana bantuan sosial malah digunakan untuk memperkaya diri sendiri.
Jangan sampai harta yang dititipkan ke kita untuk anak yatim kita makan dan kita pakai untuk memperkaya diri sendiri. Kalau memang kita adalah orang yang miskin, maka silahkan ambil seperlunya, jangan sampai melebihi batas. Sebab zaman sekarang sangat banyak kita temui orang-orang yang memperkaya diri sendiri melalui bantuan sosial. Bukan hanya di yayasan panti asuhan, tapi juga bantuan sosial untuk masjid dan pondok pesantren juga banyak disalahgunakan untuk kepentingan pribadi.
“Apalagi banyak yang meminta sumbangan bantuan, rumahnya mewah dan mobilnya banyak. Saya banyak menemukan itu. Kenapa harta yang banyak itu tidak digunakan untuk membesarkan pondok pesantren atau masjid, malah digunakan untuk menumpuk harta?” ujar kyai yang merupakan pencetus Metode Arbain, cara cepat dan mudah membaca kitab kuning.
Menyantuni anak yatim pada umumnya dengan:
1. Memberikan makanan, pakaian, serta menanggung kebutuhan pokok.
2. Mengusap kepala anak yatim serta menunjukkan kasih sayang kepadanya.
3. Membiayai sekolah dan memenuhi kebutuhan pendidikannya.
4. Mendidik anak yatim dengan ikhlas.
5. Mengelola harta anak yatim dengan benar.
Nah, dari semua cara tersebut, ternyata sudah dirangkum dalam satu cara, yaitu dengan menikahi ibunya.
Kesimpulannya, santunilah anak yatim sesuai dengan apa yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW dengan menikahi ibunya. Jika tidak mampu dan hanya ingin mendirikan yayasan yatim piatu, maka jangan gunakan bantuan sosial itu untuk memperkaya diri sendiri. Sebab kelak, harta yang kita peroleh akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah, kita peroleh dari mana dan kita gunakan untuk apa.
Ditulis di Sragen, Jawa Tengah
Rabu, 10 Muharram 1446 H
Penulis adalah Guru, Da’i, Arsitek, Jurnalis, Peruqyah, Terapis & Trainer di THEOS