humaniora.id – Almarhum Buya Safii Ma’arif pernah berkata, bahwa sesungguhnya bangsa Indonesia ini hanya dijajah oleh negara Belanda mulai sejak tahun 1900-an saja, atau puncaknya dimulai sejak deklarasi Sumpah Pemuda di bulan Okober 1928. Sebelum tahun 1900-an (abad 20), sesungguhnya rakyat Indonesia dijajah oleh para pembesar daerahnya sendiri. Benarkah demikian?
Sejenak, jika kita pikirkan lebih mendalam, memang ada benarnya juga apa yang dikatakan oleh Buya Safi’i tersebut.
Mengapa demikian? Alur fakta sejarah yang sebenarnya telah memberikan sebuah pembuktian nyata, bahwasannya ketika bangsa Portugis datang ke Indonesia di pertengahan tahun 1512, dan kedatangan bangsa Belanda di awal tahun 1600-an, mereka melakukan perdagangan rempah-rempah langsung dengan para raja-raja kecil dan tuan tanah penguasa daerah (pembesar) setempat.
Menurut M. C. Ricklefs dalam bukunya yang berjudul ‘Sejarah Indonesia Modern’ (1200 – 2008), tempat favorit perdagangan rempah yang langsung dituju pada abad ke-16 tersebut adalah daerah Maluku, Indonesia bagian timur.
Nama Maluku sendiri sebenarnya berasal dari sebutan yang dilakukan oleh bangsa Arab yang datang untuk berdagang sekaligus menyebarkan agama Islam, yang telah masuk ke Maluku dan sebagian besar wilayah Indonesia, jauh sebelum kedatangan Portugis dan Belanda pada waktu itu.
Maluku sesungguhnya berasal dari kata Jazirat al-Muluk, yang artinya negeri para raja. Dan itulah mengapa, di daerah Maluku sendiri, Islam sebenarnya sudah berkembang sejak abad ke 11 dan 12 Masehi. Namun sejak masuknya Portugis dan Belanda ke Maluku, maka akhirnya banyak juga penduduk lokal Maluku yang memeluk agama Kristen di abad ke-16.
Singkat cerita, ketika Portugis telah pergi dari Indonesia di awal abad ke-17, maka kedudukan Belanda sebagai negeri yang juga mencari peluang berdagang di Indonesia semakin menancapkan kukunya di bumi Indonesia. Banyak perusahaan Belanda yang sama-sama berdagang rempah-rempah, menyatukan diri mereka ke dalam sebuah kelompok dagang yang bernama VOC (Vereenig-de Oost-Indische Compagnie), atau Perserikatan Maskapai Hindia Timur.
Kelompok dagang Belanda ini (VOC) kemudian melakukan hubungan jual beli rempah-rempah dengan para raja dan pemilik kebun atau tuan tanah di banyak daerah-daerah di Indonesia. Di bawah kendali seorang Gubernur Jenderal di tanah Hindia Timur (Indonesia), VOC kemudian melakukan ekspansi perdagangannya ke beberapa macam hasil pertanian lainnya, seperti kopi, tebu, jagung, dan beras.
Karena hubungan dagang yang awalnya menguntungkan bersama para raja dan para tuan tanah lokal di beberapa wilayah di Indonesia, maka VOC mendapati kejayaannya di pertengahan tahun 1800-an. Namun sangat berbalik dengan keadaan rakyat kecil yang menjadi buruh dari perkebunan kerjasama tuan tanah lokal dan Belanda tersebut.
Para raja-raja kecil dan para tuan tanah lokal yang berada di Indonesia tersebut pada dasarnya telah menggunakan jasa dan tenaga rakyat kecil sebagai buruh perkebunan tanpa mendapatkan upah yang semestinya. Keadaan tersebut pun berlangsung hampir selama 1,5 abad lebih.
Karena dari hari ke hari keadaan rakyat Indonesia semakin sengsara, akhirnya rakyat di masing-masing daerah di Indonesia melakukan perlawanan kepada tuan-tuan tanah dan raja-raja kecil yang jahat tersebut.
Karena mendapatkan banyak perlawanan dari para rakyat kecil yang notabene adalah para pekerja perkebunan mereka sendiri, akhirnya para tuan tanah dan raja-raja tersebut meminta pertolongan dan perlindungan kepada Belanda dengan alasan demi melindungi kepentingan dagang Belanda juga. Belanda pun menerima permohonan dari para pembesar penghianat bangsa tersebut.
Akhirnya, perlawanan rakyat daerah di Indonesia terhadap penindasan yang mereka alami semakin berat, karena mereka juga harus menghadapi Belanda sebagai pelindung tuan tanah dan raja-raja kecil yang jahat tersebut, yang dilengkapi dengan persenjataan yang modern. Korban dari pihak rakyat terus berjatuhan, dan kesengsaraan rakyat pun semakin menjadi.
Dan barulah pada tahun 1900-an awal, tepatnya tahun 1906, perlawanan rakyat Indonesia memulai babak baru, selain perlawan fisik, juga dilakukan perlawanan melalaui organisasi dan perkumpulan, atau sarikat.
Adapun organisasi atau perkumpulan pertama yang lahir pada waktu itu adalah Sarekat Islam (SI) yang dipimpin oleh Haji Samanhudi, yang kemudian menjadi Sarekat Dagang Islam pada tahun 1912 yang dipimpin oleh H. Oemar Said Tjokroaminoto.
Jadi berdasarkan fakta sejarah, jelaslah bahwa sesungguhnya rakyat Indonesia pada awalnya memang ditindas oleh para pembesar, para tuan tanah, dan para raja-raja kecil mereka sendiri. Demi melindungi kepentingan perdagangan mereka dengan Belanda, akhirnya mereka tega menindas rakyat-rakyatnya sendiri. Dan setelah rakyat Indonesia membalas perlakuan keji mereka, akhirnya para raja kecil dan tuan tanah berlindung di balik kekuatan negara asing (Belanda) tersebut.
Kini penindasan yang sama dari para tuan tanah dan raja-raja kecil pada zaman Belanda tersebut, terjadi lagi di Indonesia, persis dengan pola kekejian yang sama, seperti yang saat ini sedang terjadi di Rempang, Gorontalo, dan beberapa daerah lainnya di Indonesia.
Dengan alasan melindungi investasi para cukong lokal dan cukong luar negeri, rezim penguasa yang saat ini merasa seperti ‘raja-raja kecil’ ini seenaknya saja ingin mengusir rakyat yang telah lama berdiam diri di tanah asli kelahiran mereka.
Tentu saja rakyat asli daerah Rempang maupun daerah-daerah lainnya tersebut tidak pernah kenal dengan yang namanya Proyek Strategi Nasional, mereka tidak kenal dengan yang namanya perusahaan Xinyi atau perusahaan MEG.
Mereka hanya kenal dengan pulau mereka yang indah, kehidupan mereka yang tenang, lantunan musik melayu mereka yang mendayu, suara gurindam 12 mereka yang teduh, dan tempat mereka lahir, hidup, dan mati. Jadi, mengapa rakyat Rempang harus diganggu dengan segala bentuk penindasan dan ‘kebisingan’ tersebut?
Padahal, jika diteliti melalui data yang ada, ternyata perusahaan asal China Xinyi ini tidak termasuk dalam daftar produsen kaca terbesar di dunia, dalam daftar 10 besar pun tidak. Begitupun dalam daftar perusahaan produsen panel surya (solar cell), perusahaan inipun tidak masuk di dalam daftar Perusahaan terbesar sebagai produsen panel surya, bahkan lagi-lagi, masuk dalam daftar 10 besar pun tidak.
Yang menjadi pertanyaan besarnya adalah, apakah di tengah kemajuan teknologi informasi saat ini, rezim pemerintah tidak menyadari bahwa rakyat Indonesia yang sekarang tidaklah sebodoh rakyat Indonesia yang dahulu, yang dapat dengan mudah dibohongi demi kepentingan segelintir golongan mereka?
Dan apakah rezim pemerintah yang berkuasa saat ini tidak menyadari jika rakyat Indonesia saat ini adalah rakyat yang cerdas, rakyat yang berpendidikan, rakyat yang paham apa itu hak asasi manusia, dan rakyat yang dapat menggunakan teknologi dengan cepat dan tepat, sehingga apapun kebohongan atau bagaimana cara mereka berbohong pun, in sya Allah akan dapat diketahui oleh rakyat dengan mudah.
Jadi, benarkah Indonesia saat ini sudah merdeka dari para penjajah? Baik penjajahan yang dilakukan oleh oknum ‘penjajah’ dan penghianat dari dalam negeri maupun penjajah dari luar negeri?
Semoga rakyat Indonesia tidak mudah ‘masuk angin’ dalam melakukan perjuangannya sampai benar-benar merdeka. Karena itulah, mari kita sukseskan suksesi kepemimpinan nasional 2024 nanti.
Pilihlah pemimpin rezim yang dapat memahami tentang bagaimana bernegara yang baik, yang santun dan jujur terhadap rakyatnya sendiri, dan bukan pemimpin rezim yang justru menjajah, membohongi, dan menindas rakyatnya sendiri. Amin.
Ya, Amin.
Semoga pula Allah Ta’alla memberikan pengampunan kepada almarhum Buya Safii Ma’arif sebagai salah seorang guru bangsa ini. Aamiin ya Rabb.
Wallahu’allam bisshowab
Jakarta, 26 September 2023
H. J. FAISAL, Pemerhati Pendidikan dan Sosial/ Sekolah Pascasarjana UIKA Bogor/ Anggota PJMI