humaniora.id – Lembaga Adat Betawi menyatakan siap dimandatkan negara sebagai penanggung jawab pelestarian kebudayaan daerah. Bahkan, memastikan upaya-upaya yang dilakukan selaras dengan Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
Diketahui, pemerintah dan DPR akan merevisi UU Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota (Pemprov DKI) Jakarta. Revisi dilakukan seiring dicabutnya status ibu kota negara (IKN) dan dipindahkan ke Nusantara.
“Jika memang dipercaya, kami sangat berterima kasih dan siap mengemban amanah ini. Kami memastikan program maupun kebijakan ke depannya akan memedomani UU Pemajuan Kebudayaan,” kata Ketua Wali Amanah Adat Majelis Kaum Betawi, Marullah Matalli, Senin 3 Juli 2023.
Berdasarkan Pasal 3 UU Pemajuan Kebudayaan, upaya pemajuan kebudayaan daerah berasaskan toleransi, keberagaman, kelokalan, lintas wilayah, partisipatif, manfaat, keberlanjutan, kebebasan berekspresi, keterpaduan, kesederajatan, dan gotong royong dalam pemajuan kebudayaan daerah.
Adapun tujuan pemajuan kebudayaan, sesuai Pasal 4, guna mewujudkan berbagai hal. Misalnya, mengembangkan nilai-nilai luhur budaya bangsa, memperkaya keberagaman budaya, memperteguh jati diri bangsa, memperteguh persatuan dan kesatuan bangsa, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan meningkatkan citra bangsa.
Marullah menambahkan, negara berkewajiban memajukan kebudayaan nasional di tengah peradaban dunia. Namun, harus memperhatikan dan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.
“Secara garis besar, Undang-Undang ini mengatur empat ruang lingkup utama dari pemajuan kebudayaan, yaitu perlindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan. Ini akan kami upayakan terealisasi,” ucap eks Sekretaris Daerah (Sekda) DKI Jakarta itu.
Lebih jauh, Marullah berharap Pemprov DKI dapat menyusun aturan turunan jika revisi UU Kekhususan telah rampung dan disahkan. Hal tersebut diperlukan guna memperkuat kedudukan Majelis Kaum Betawi sebagai penanggung jawab pemajuan kebudayaan daerah di Jakarta.
“Kami juga mendorong aturan teknis yang diterbitkan Pemprov DKI. Sebab, peraturan perundang-undangan yang baik adalah yang memiliki peraturan turunan dan aturan teknisnya. Jika perangkat hukumnya lengkap, maka legitimasi untuk menjalankan peraturan perundang-undangan dapat terukur dengan baik,” tuturnya.
Sebelumnya, anggota DPD RI asal Jakarta, Dailami Firdaus, meminta Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) melibatkan lembaga adat Betawi dalam proses revisi UU Kekhususan DKI. Demikian disampaikannya saat rapat dengar pendapat (RDP) dengan Wakil Menteri Dalam Negeri, John Wempi Wetipo, di Kompleks Parlemen, Jakarta, pada Senin (3/7).
“Saya meminta Kementerian Dalam Negeri bisa melibatkan lembaga adat Betawi sebagai muatan dalam undang-undang yang baru nanti,” katanya. Ia lalu mencontohkan dengan keterlibatan lembaga adat Aceh dan Papua saat penyusunan UU kekhususan daerah setempat.
“Lembaga adat itu sudah dijamin oleh konstitusi. Untuk itu, Kementerian dalam Negeri harus melibatkan lembaga adat Betawi dalam revisi Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 ini, seperti dulu di Aceh dan Papua,” sambungnya.