humaniora.id –Β Saya mengenal Ratna Karya Madjid (kelahiran Manado, 23 April 1952) pertama kali, nyaris dalam waktu bersamaan dengan Norbertus Riantiarno (kelahiran Cirebon, 6 Juni 1949). Sekitar 50 tahun lalu. Locus-nya di kompleks Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat. Ketika itu saya baru bergabung dengan Teater Ketjil pimpinan sutradara Arifin C. Noer (1941-1995), yang menggunakan kawasan TIM sebagai markas dan pusat latihan hampir setiap hari. Waktu itu, saya terajak ikut saat persiapan pementasan lakon Perang Troya Tidak (Akan) Meletus, untuk pentas pada Juni 1971. Ketika itu, umur saya masih 17 tahun. Remaja culun berambut gondrong yang bercita-cita ingin menjadi pengarang, aktor, dan sutradara teater terkenal seperti Arifin C. Noer. Cita-cita yang kalau kata media sosial saat ini hanyalah βhaluβ – halusinasi.
Saya masuk Teater Ketjil diajak aktor Tizar Purbaya (alm), yang pada saat bersamaan aktif di Teater Lisendra (Lingkaran Seni Drama) pimpinan Tjok Hendro (1949-2018). Lisendra sendiri berada di bawah payung harian Berita Yudha (kelak menjadi Berita Buana), dan merupakan bagian dari kegiatan seni yang diselenggarakan Berita Yudha Minggu, yang mewadahi rubrik Remaja Yudha Club (RYC) pimpinan Toto AS, penulis terkenal rubrik βCornerβs Teeny Boysβ di edisi Minggu koran Berita Yudha itu. Saya mulai berkenalan dan kemudian bersahabat antara lain dengan Tizar, Tjok Hendro, Dharnoto, dan Annie van de Rob (kelak Annie Rai Samoen), ketika saya nekad bergabung dengan Lisendra RYC, sambil membawa naskah drama remaja adaptasi yang saya tulis sendiri, untuk kiranya dapat dipentaskan Lisendra: Iwan Perkasa. Masa itu, Lisendra RYC sudah terkenal sebagai grup teater remaja yang rutin mengisi program drama remaja di TVRI Pusat, semasih hitam putih. Dan, alhamdulillah, beberapa waktu kemudian lakon itu disetujui TVRI untuk dipentaskan. Saya pun diajak main oleh sutradara Tjok Hendro, sebagai tokoh utama Iwan, seorang Pangeran. Padahal saya tidak pernah belajar acting sama sekali !
Di Teater Ketjil, sebagai yunior, tentu saya tidak berani bertegur-sapa dengan Ratna Madjid, yang sudah terkenal sebagai primadona saat tampil dalam drama Kapai-Kapai (Arifin C. Noer), pada 1970. Lakon dan pentas itu banyak dipujikan sebagai salah satu masterpiece dalam penulisan lakon sekaligus pementasan teater modern yang khas Indonesia. Kapai-Kapai menjadi tiang utama bagi lahirnya genre teater surrealistis dalam bangunan teater kontemporer Indonesia, dan Teater Ketjil / Arifin C. Noer merupakan pelopornya yang utama. Saat saya masuk di Teater Ketjil itu sudah ada antara lain Rudolf Puspa, Charly Sahetapy, Kasim Rachmat, Nugraha, Nunuk Suladji, Cini Goenarwan, dan Totty Nasution. Sementara angkatan baru yang semasa dengan saya adalah Derry Sirna (kelak menikah dengan Rudolf Puspa), daΕ Jajang Pamontjak (kelak menikah dengan Arifin C. Noer).
Saban latihan di TIM saya hanya bisa mengagumi performa dan kecantikan Ratna, yang setiap pulang latihan selalu dijemput seorang pemuda ganteng yang biasa dipanggil Nano. Aktor muda itu rupanya sejak 1968 sudah bergabung dengan Teater Populer pimpinan sutradara Teguh Karya. Nama panggilannya memang Nano, tapi itu bukan kepanjangan dari N. Riantiarno, karena huruf N di situ adalah singkatan dari Norbertus, nama baptis pemuda kelahiran Cirebon itu. Sementara masyarakat sudah terlanjur mengira nama lengkapnya adalah Nano Riantiarno. Dan, bersama aktor Slamet Rahardjo Djarot, Nano adalah pemain utama dari Teater Populer, dengan primadona Tuti Indra Malaon (1939-1989), salah seorang aktris teater dan film pujaan saya.
Keterlibatan langsung saya di Teater Ketjil ternyata tidak lama, karena kesertaan saya di Lisendra semakin intens. Setelah jadi figuran di Perang Troya Tidak (Akan) Meletus, saya hanya sempat menjadi kru untuk pementasan Mega-Mega (Oktober 1971), dan kemudian jarang lagi ke TIM. Saya mulai sibuk tak hanya sebagai penulis lakon, tapi juga aktor merangkap sutradara, sehingga di Lisendra, Tjok Hendro, Dharnoto dan saya, oleh teman-teman dijuluki sebagai triumvirat. Dan, pada saat yang sama, saya juga mulai berkarir sebagai penulis kritik dan resensi seni pertunjukan dan film di koran Berita Buana Minggu dan Suara Karya Minggu.
Perang Troya Tidak (Akan) Meletus, karya Jean Giraudoux, merupakan terjemahan Jim Adhi Limas dari bahasa Perancis La guerre de Troie n’aura pas lieu. Dalam lakon itu saya disuruh melintasi panggung beberapa detik, dengan langkah tergopoh-gopoh, sambil melontarkan kata makian dan marah-marah, karena hanya berperan sebagai salah seorang rakyat jelata alias figuran. Pementasan di Teater Tertutup pada Juni 1971, itu tampak megah meriah dan monumental, dengan dekor dan kostum Romawi karya Danarto (1941-2018), seperti dalam film Ben-Hur, Spartacus dan film kolosal lain buatan Hollywood.
Aktor Bengkel Teater Yogya Putu Wijaya berperan sebagai Hector, Nunuk Suladji sebagai peramal Cassandra (nama yang kemudian saya pakai untuk putri sulung saya Cassandra Massardi), dan tentu saja Ratna sebagai Helena dari Yunani, yang diculik Paris dan dibawa ke Troya, sehingga menimbulkan ketegangan dan memungkinkan terjadinya perang Troya-Yunani. Penampilan Ratna yang cantik, langsing, luwes dan manja sebagai Putri Yunani, sekali lagi membuktikan bahwa ia memang seorang Primadona bagi Teater Ketjil.
Ada anekdot yang tak terlupakan dan selalu saya ceritakan ihwal Ratna. Suatu malam, usai sebuah pementasan Teater Ketjil, tak seperti biasanya, Nano ternyata tidak bisa menjemput pulang Ratna. Tim produksi pun membagi tugas pendampingan. Karena saya kebetulan akan ke arah Kebayoran Baru, maka sayalah yang diminta mengantarkan Ratna pulang ke Setiabudi. Sepanjang jalan dari TIM ke Setiabudi, naik helicak (kendaran bermotor roda tiga seperti becak tapi kabin penumpangnya di depan dibentuk seperti kabin helikopter), kami duduk berdua berdampingan. Tentu cukup berjarak. Saya tak berani bercakap-cakap karena grogi daΕ gugup duduk bersebelahan dengan Sang Primadona. Ratna juga hanya senyum dan mungkin tak tahu harus bicara apa. Karena sebagaimana saya tuliskan di atas, saya hanya remaja tak dikenal, dan selama di Teater Ketjil saya tidak pernah dan tidak berani berbicara dengan Ratna. Setiba di depan rumahnya, saya mengantar Ratna ke depan pintu gerbang, mungkin dengan sedikit basa-basi. Lalu saya melanjutkan naik helicak menuju arah Kebayoran Baru.
Nah, sesampai di kolong Jembatan Semanggi, saya minta stop. Lalu saya turun dan membayar ongkos helicak. Kemudian saya melanjutkan berjalan kaki ke Gelangang Remaja Jakarta Selatan (GRJS), di Jalan Bulungan, Blok M, tempat saya biasa nongkrong dan tidur di depan ruang latihan Lisendra. Mengapa saya harus turun di tengah jalan? Karena uang saya di dompet tidak cukup untuk membayar helicak sesuai ke tujuan. Dan Tim Produksi tidak memberi saya ongkos untuk mengantarkan Ratna. Sehingga sampai esok harinya, saya harus menahan lapar, karena tak punya uang lagi, menunggu sampai datang teman yang mau mentraktir. Dan, kisah itu tidak pernah saya ceritakan langsung kepada Ratna. Mungkin sampai saya menulis ini.
Walau masih berpacaran, Ratna Madjid dan N. Riantiarno merupakan pasangan yang unik. Tak hanya dalam relasi keaktoran, juga dalam kaitannya dengan perkembangan teater modern di Indonesia, dan khususnya dalam persaingan antara Teater Ketjil dengan Teater Populer.
Pada masa kejayaan TIM sebagai Pusat Kesenian era 1970-1980an, ada tiga kelompok teater modern yang sangat mewarnai perjalanan kesenian dan kebudayaan di Indonesia: Bengkel Teater Jogja yang dipimpin dan dibentuk WS Rendra sepulang dari belajar teater di New York, pada 1967. Teater Ketjil yang dipimpin dan didirikan Arifin C. Noer, pada 1968, setelah ia keluar dari Lingkaran Drama Rendra, dan hijrah ke Jakarta. Dan, Teater Populer yang dipimpin dan dibentuk Teguh Karya (Steve Liem Tjoan Hok) pada 14 Oktober 1968, sebagai perwujudan nyata dari βteater akademis.β
Entah by design atau karena memang sudah kehendak sejarah, kelahiran tiga kelompok teater modern di Indonesia pada 1967 dan 1968, itu nyaris bersamaan dengan diresmikannya Pusat Kesenian Jakarta (PKJ) Taman Ismail Marzuki (TIM) oleh Gubernur DKI Ali Sadikin pada 10 November 1968. Sehari sesudah TIM diresmikan, Teater Populer (sebelumnya bernama Teater Populer Hotel Indonesia karena sudah dikontrak manggung di hotel internasional itu) pun mementaskan lakon Jangan Kirimi Aku Bunga karya Norman Barash & Karl Moore, terjemahan Wahab Abdi, di Teater Tertutup pada 11 November 1968. Para pemainnya adalah Tuti Indra Malaon, Ishaq Iskandar, Henky Solaiman, Dady Djaja, N. Riantiarno, Slamet Rahardjo, Boyke Roring, Sylvia Nainggolan, dan Frank Rorimpandey.
Pentas pertama Bengkel Teater di TIM adalah Bib Bop Ramble Rate Rata karya Rendra, yang hanya menampilkan gerak dan sedikit kata, dan kemudian dikenal sebagai βteater mini kataβ – sebutan yang pertamakali dipakai Goenawan Mohamad tentang pementasan itu. Sebuah pentas yang menandai lahirnya genre βteater absurdβ di Indonesia. Dan genre itu disempurnakan Rendra dengan pementasan Menunggu Godot (En Attendant Godot) karya Samuel Beckett, selama empat jam penuh di Teater Besar TIM pada 1969. Sebuah pentas yang memukau yang menampilkan keaktoran Rendra (Gogo/Estragon), Chaerul Umam (Didi/Vladimir), Putu Wijaya (Pozzo), Moortri Purnomo (Lucky) dan Azwar AN (Anak Kecil). Itulah pentas teater modern dan teater absurd pertama yang saya tonton, dan selalu menjadi referensi dalam penulisan naskah-naskah lakon saya kemudian. Untuk menonton pementasan itu saya harus naik sepeda berdua abang saya dari Kampung Bali, Tanah Abang ke TIM. Dan, karena semua tiket sudah terjula habis, saya terpaksa membeli dua lembar tiket VIP seharga total Rp 1.500, yang setara dengan gaji saya sebulan bekerja di sebuah toko kain di Pasar Tanah Abang.
Beberapa hari sebelum TIM dibuka, Teater Ketjil sendiri sempat mementaskan dua naskah drama di Balai Budaya, Menteng, Jakarta Pusat, pada 2 dan 3 November 1968, yakni Mata Pelajaran karya Eugene Ionesco, dengan pemain Arifin C. Noer, Ellynar Wahid, dan Rita Zahara, serta lakon Pemburu Perkasa karya Wolf Mankowitz, terjemahan WS Rendra dengan pemain Mansjur Sjahdan, Kapitan Sembiring, Abduh Mursid, FX Puniman dan Arifin C. Noer. Dan, barulah pada pentas monumental yang pertama di TIM, dengan lakon Kapai-Kapai (1970) karya Arifin C. Noer, pementasan Teater Ketjil dinilai berhasil dan mengorbitkan Ratna sebagai primadona. Padahal Ratna baru saja masuk ke Teater Ketjil, dan kemudian meninggalkan kegiatannya sebagai pelajar Tari Bali di TIM.
Selama beberapa bulan bergaul di TIM, saya menilai dan merasakan adanya βpersaingan diam-diamβ antara Arifin C. Noer dan Teater Ketjil-nya, dengan Teguh Karya dan Teater Populer-nya. Tentu itu adalah persaingan yang sehat. Namun sebagai Seniman, tentu Arifin merasa bahwa sebagai penulis lakon, sutradara dan aktor sekaligus, ia memiliki banyak kelebihan ketimbang Teguh Karya, yang hanya mementaskan naskah lakon terjemahan. Apalagi, Teguh, Slamet, Nano, dan banyak anggotanya, pernah menempuh pendidikan formal di akademi teater. Sementara Arifin dan seluruh anggotanya, lahir dari teater tradisi, tanpa pendidikan formal keaktoran atau keteateran. Wajar bila dari keduabelah pihak sering tercetus sinisme, walau dalam bisik-bisik. Yang satu mengatakan: βAh, itu cuma teater makan minum di atas panggung.β Yang lain mengatakan: βAh itu teater enggak jelas, panggungnya kosong, dan para pemainnya tidak pernah belajar acting.β
Untunglah Teater Ketjil berpusat di TIM, dan markas Teater Populer berada di bilangan Kebon Kacang, Tanah Abang. Sehingga hampir tidak pernah terjadi komunikasi dan hubungan sosial antarkelompok. Pertemuan kedua pihak pun hanya terjadi bila ada acara penting di TIM, atau ada pementasan yang memungkinkan kedua pihak datang untuk menonton.
Ketegangan yang tak tampak itu tentu tak bisa diketahui atau dirasakan pihak luar. Tetapi Arifin selalu ingin membuktikan bahwa di Jakarta, Teater Ketjil adalah yang terbaik, dan yang paling mewakili apa yang disebut βTeater Indonesia.β Sementara Teater Populer dan Studi Klub Teater Bandung (STB), yang satu madzhab daΕ satu genre, hanyalah citra dari βTeater Barat,β dengan pelbagai metodΔ akademiknya. Sedangkan Bengkel Teater Rendra di Jogja, tidak dianggap sebagai βpesaingβ karena Rendra berhasil memadukan teater Barat, teater modern, teater absurd, dengan teater tradisi Jawa. Dan, persaingan teoretis kedua madzhab itu kemudian menjadi bahan pelbagai diskusi dan polemik di TIM maupun di media massa, terkait topik: teater barat, teater modern, teater tradisi daΕ βTeater Indonesia Modern.β Perdebatan ihwal siapakah yang paling layak dan paling pantas disebut sebagai mewakili βTeater Indonesia Modernβ itu belum pernah dimenangkan oleh pihak mana pun. Agaknya, sampai hari ini.
Dan yang menarik, kedua kutub dan madzhab itu kemudian melahirkan pengikutnya masing-masing. Terutama di komunitas teater remaja di Jakarta, yang tercermin pada setiap ajang Festival Teater Remaja (FTR) yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dari tahun ke tahun, sejak 1973. (Kelak menjadi Festival Teater Jakarta). Ada βteater realistis : makan minum di panggung.β Ada teater polos tanpa dekor tanpa βaktorβ. Dan ada βteater sutradaraβ tak penting apakah pemainnya bisa main atau tidak, yang penting bisa menyampaikan gagasan sutradaranya.
Di tengah βpertentanganβ kedua madzhab itulah posisi Ratna sebagai primadona Teater Ketjil, tampak βanehβ karena kedekatannya dengan Nano, yang betapa pun, tak bisa dipisahkan dari Teater Populer. Namun, karena itu pulalah βketegangan eksistensialβ antara Teater Ketjil dan Teater Populer pun menjadi βcairβ dengan sendirinya. Fanatisme di kedua pihak pun terpadamkan oleh waktu.
Dan, sejarah kemudian membuktikan, persaingan artistik ideologis antara Teater Ketjil dan Teater Populer itu segera menemukan momentum βkedamaianβ-nya yang abadi, ketika pada 1 Maret 1977, pasangan Ratna dan Nano melahirkan Teater Koma. Sebuah kelompok yang didirikan oleh anggota Teater Populer : N. Riantiarno, Rima Melati, Titi Qadarsih, dan anggota Teater Ketjil: Ratna Madjid, Jajang Pamontjak, Cini Goenarwan dan penata artistik yang paling mampu menerjemahkan panggung surealistis bagi hampir seluruh pementasan Teater Ketjil: Rudjito. Perkawinan kedua madzhab itu pun semakin sempurna ketika Ratna dan Nano kemudian menikah pada 1978. Dan, sepanjang kebersamaan itu, hingga hari ini, Ratna telah mengabdikan dirinya kepada teater selama lebih dari 45 tahun. Sedangkan Nano selama lebih dari 55 tahun. Dan itu berarti, lebih dari separuh usia mereka berdua.
Ratna dan Nano adalah pasangan teater abadi yang melalui Teater Koma-nya telah melahirkan lebih dari 120 lakon / pementasan. Serangkaian pertunjukan hibrida antara gaya Teater Ketjil dan Teater Populer, dan pada gilirannya melahirkan bentuk sendiri, yang di Eropa disebut βopera komikβ (OpΓ©ra comique). Teater yang menghibur. Ada dialog, nyanyi dan tari untuk khalayak ramai. Baik di atas panggung, maupun di televisi. Baik dengan lakon karya Nano sendiri maupun melalui karya terjemahan. Baik di Jakarta, di luar kota, di luar pulau, maupun di luar negeri. Suatu pencapaian monumental yang tidak akan pernah mampu disamai oleh kelompok teater mana pun di Indonesia. Hingga saat ini dan bahkan sampai masa depan. Bukti dari ketangguhan, perseverance, dan keyakinan yang kuat mereka berdua terhadap dunia teater dan seluruh ekosistemnya, yang banyak kali justru tidak mendukung bagi eksistensi teater di Indonesia. Bravo! Salute! Incroyablement remarquable! (*)
*) Noorca M. Massardi, pengarang, pewarta, tinggal di Bintaro, Tangerang Selatan.