humaniora.id – Saatnya rakyat bersatu dan bergerak turun ke jalanan untuk melabrak wakilnya yang duduk di Parlemen. Wakil rakyat dulu saat mau mencalonkan diri sebagai anggota DPR ngemis-ngemis pada rakyat untuk bisa dipilih dengan menjual ide dan gagasan serta janji-janji manis. Eh ternyata wakil rakyat sudah pada amnesia. Penyakit yang biasa diderita oleh anggota DPR. Kalau jadi malah lupa akan janji-janjinya, anggota dewan lebih berpihak pada partai pengusung yang sedang bermesraan dengan penguasa yang dzalim.
Saluran politik melalui lembaga-lembaga konvensional negara dinilai mandek atau berhenti. Baik legislatif (DPR) dan eksekutif (presiden) melakukan serangkaian “akrobat politik” yang dinilai kalangan mahasiswa dan masyarakat sebagai langkah mundur dan pengingkaran janji politik saat mereka berkampanye. Presiden Jokowi cenderung mencla-mencle dan berbohong dengan penuh drama-drama yang memuakkan rakyat. Kondisi demikian DPR hanya diam dan membiarkan kedzaliman merajarela. Oleh sebab itu tidak ada jalan lain bagi rakyat selain turun kembali ke jalan, melakukan aksi parlemen jalanan.
Mengapa rakyat dan mahasiswa melakukan parlemen jalanan? Karena elite politik terlalu angkuh mengakui kesalahan atau kelalaian dalam merumuskan peraturan perundang-undangan, serta gagal menjalankan roda pemerintahan yang berkeadilan, tidak ada kata lain selain turun ke jalan tuntut mundurnya para wakil rakyat (DPR) dan Presiden.
Putusan MK no 60 dan 70 PUU-XXII/2024 tentang Pilkada 2024 mengejutkan koalisi KIM plus dan Jokowi. Koalisi dalam partai yang merencanakan dengan politik “bagi-bagi” posisi kepala daerah akan terancam. Bagi Jokowi yang ingin mengorbitkan Kaesang putra bungsunya sebagai kepala daerah terancam gagal.
Jokowi melakukan langkah antisipasi yaitu melalui mentrinya dorong DPR ajukan revisi UU Pilkada yang sudah diputuskan oleh MK. Jokowi yakin badan legislasi (baleg) dianggap mampu kerja apalagi Puan Maharani sebagai pimpinan DPR sedang berada di luar negeri. Pasti menyerahkan kepemimpinan DPR ke KIM Plus.
Melihat DPR mengingkari janjinya sebagai wakil rakyat, maka Mahasiswa dan rakyat marah. Aksi Mahasiswa terjadi secara simultan di berbagai kota di seluruh Indonesia. Demo mahasiswa di-posting di dunia maya (cyber) dan menjadi trending topik. Maka DPR pun kewalahan, pilihan yang sangat sulit bagi DPR khususnya baleg, terus membela Jokowi atau membela rakyat yang membayar gajinya selama ini.
Mengapa DPR berpihak pada presiden Jokowi yang oleh Bahlil dikatakan Raja Jawa? Karena ada koalisi KIM Plus, yaitu nama koalisi yang dibentuk dalam kontestasi Pilkada 2024. Koalisi KIM plus dibentuk atas inisiasi Prabowo Subianto, tujuannya untuk menggabungkan partai-partai politik yang sebelumnya bertarung di pilpres 2024. Anggota asli KIM adalah Gerindra, Golkar, Demokrat, PAN, PSI, PBB, Gelora, Garuda, dan Prima. Koalisi bertambah dengan bergabungnya PKS, PKB, PPP, Perindo, dan Nasdem.
Hanya PDIP yang tidak mau bergabung dengan KIM Plus.
Ya jelas tujuan koalisi adalah mendukung kinerja pemerintah dan kebijakan-kebijakan dalam parlemen, disinilah DPR dari koalisi KIM Plus membela Joko Widodo, si Raja Jawa.
Sementara itu anggota Dewan yang terpilih baik yang duduk di DPR RI dan DPRD bertugas mewakili rakyat selama lima tahun, kecuali bagi mereka yang tidak bisa menyelesaikan tugasnya sampai masa jabatan habis.
Peran DPR dalam menjalankan amanat kedaulatan rakyat, yaitu DPR menjalankan fungsi-fungsinya dengan mengarahkan politik legislasi, politik anggaran dan politik pengawasan pembangunan untuk memastikan bahwa pemerintah negara Indonesia menjalankan amanat konstitusi.
Tetapi saat ini rakyat sangat-sangat muak terhadap kinerja DPR tidak berpihak kepada rakyat malah kong kalikong dengan pemerintah untuk melawan keputusan mahkamah konstitusi. Politik konspirasi antara DPR dan presiden untuk melawan konstitusi, disinilah rakyat yang cerdas pasti marah. Saatnya rakyat melakukan parlemen jalanan karena saluran politik melalui lembaga legislatif dan eksekutif sudah tidak berfungsi lagi.
Nurul Azizah penulis buku Muslimat NU Militan Untuk NKRI.