Humaniora.id, Surabaya – Demo besar di berbagai kota di Indonesia kemarin adalah wujud kemarahan rakyat. Tak hanya mahasiswa, aktivis, pelajar, dosen, guru besar, artis, hingga masyarakat biasa marah pada politisi, dan elit politik, terutama pada Jokowi, keluarga, dan antek-anteknya.
Kemarahan rakyat terjadi tak hanya nampak di tempat demo demo massa. Tapi juga merata ada di group2 WA, di Twitter (X), Facebook, Instagram, Youtube, TikTok dan media sosial lainnya. Ekspresi kemarahan yang lebih besar sebenarnya lebih banyak di platform-platform online ini. Karena tak semua orang bisa turun ke jalan. Mereka mengekspresikan kemarahan di media sosial, yang jauh lebih mudah, lebih murah dan bisa lebih ekspresif.
Tak heran kalau kemarin hingga hari ini, medsos masih dipenuhi trending topik “kemarahan” pada perusakan demokrasi, dan kemarahan pada politisi yang jadi kacung dinasti dan oligarki, serta kemarahan pada tindakan aparat.
Muncul narasi-narasi, “gara gara ingin menyenangkan satu keluarga satu negara repot”. Muncul pula banyak ucapan kemarahan, kata-kata ejekan, kritikan, hujatan, tapi juga kalimat kalimat lucu dan berbagai bentuk kecaman yang muncul berseliweran di medsos, ditujukan pada penguasa, terutama keluarga Jokowi.