Humaniora.id,- Jakarta — Program Makan Bergizi Gratis yang diinisiasi oleh Badan Gizi Nasional menuai perhatian luas. Di balik niat baiknya, sejumlah kekhawatiran muncul terkait implementasi teknis program ini yang dianggap masih memiliki banyak celah. Hal ini disampaikan oleh Didik Setiawan, Wakil Ketua Umum Pemuda Tani HKTI, yang menyerukan pentingnya pengawalan dari berbagai pihak, termasuk organisasi kepemudaan (OKP) dan aktivis, agar program ini benar-benar berdampak positif bagi petani dan pelaku usaha lokal.
Menurut Didik, lemahnya petunjuk teknis (juknis) dan operasional program ini berpotensi memberikan ruang bagi pihak-pihak yang hanya mengejar keuntungan tanpa memedulikan tujuan utama program. Salah satu contoh yang disorot adalah tidak adanya ketentuan yang mewajibkan penggunaan buah dan sayur hasil pertanian lokal dalam menu yang disediakan. Akibatnya, ada peluang produk impor mendominasi pasokan, yang berimbas pada rendahnya serapan hasil pertanian lokal.
“Jika tidak diperbaiki, program ini justru akan merugikan petani kita. Bayangkan, tanpa ketentuan yang jelas, produk impor akan masuk dan menguasai pasar. Padahal, tujuan utama program ini adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat, termasuk petani lokal,” tegas Didik.
Food tray stainless steel juga dinilai tidak mengakomodasi kemampuan produsen lokal
Tidak hanya itu, pengadaan alat makan seperti food tray stainless steel juga dinilai tidak mengakomodasi kemampuan produsen lokal. Didik mengungkapkan bahwa ribuan kontainer produk serupa telah diimpor dari luar negeri. Hal ini menunjukkan bahwa anggaran besar dalam program ini belum diarahkan secara optimal untuk memberdayakan pengusaha dalam negeri.
Dalam pandangan Didik, dampak lebih besar juga terlihat pada rencana impor 1,2 juta sapi perah laktasi untuk mendukung program Minum Susu Gratis (PMSG) bagi 24 juta siswa sekolah dasar pada 2025-2027. Ia mempertanyakan keputusan tersebut yang dinilai kurang melibatkan dialog dengan organisasi petani. “Bukankah lebih baik jika kita memberdayakan sapi lokal melalui pengelolaan terintegrasi? Contohnya, mendistribusikan pejantan berkualitas unggul ke desa-desa sehingga genetik sapi lokal bisa ditingkatkan,” ujarnya.
Lebih lanjut, Didik menekankan perlunya pengawasan ketat untuk mencegah monopoli dan potensi kolusi antara pelaksana program, kontraktor, dan supplier. Transparansi dalam pengelolaan anggaran juga menjadi kunci agar program ini benar-benar membawa manfaat yang luas.
“Kita mendukung penuh tujuan mulia program ini, tetapi pelaksanaannya harus matang dan didukung oleh petunjuk teknis serta pedoman umum yang jelas. Jika tidak, tujuan perbaikan gizi masyarakat justru bisa berbalik merugikan petani dan pengusaha lokal,” pungkas Didik.
Pengawalan yang solid dan transparansi dalam pelaksanaan adalah harapan semua pihak agar Program Makan Bergizi Gratis tidak hanya sekadar janji, tetapi menjadi langkah nyata dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Salam Pemuda Tani,
Didik Setiawan
Waketum DPP Pemuda Tani HKTI