humaniora.id – Prof. H. Henri Subiakto sosok guru besar Unair Surabaya terus menyuarakan sikap etis dan moral tokoh yang merusak demokrasi. Pelakunya adalah tokoh yang dibesarkan oleh demokrasi itu sendiri. Itulah presiden Joko Widodo, sosok yang paling berpengaruh sekarang. Seharusnya presiden itu memiliki integritas, jujur dan berani menyuarakan kebenaran, tidak malah merusak demokrasi dan konstitusi.
Presiden itu memiliki cahaya yang bisa menerangi gelap gulitanya negeri ini. Sosoknya juga sebisa mungkin menghindari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Prof Henri Subiakto ketika menjadi narasumber di ILC yang dipandu wartawan senior sekaligus pemimpin redaksi TVOne Karni Ilyas, Selasa malam (6/2/2024) dengan tema “Debat sudah usai, kampanye segera berakhir, pasangan mana yang akan menang.”
Indonesia Lawyer Club bisa diikuti di TVOne bisa diikuti setiap hari Selasa pukul 19.30 – 22.30 WIB atau secara daring di kanal YouTube. Ketika penulis buka link YouTube acara di ILC tersebut seru juga. Yang melihat di YouTube saja merasa gemes bagaimana dengan yang di ruangan tersebut, AC yang dingin mungkin tidak dirasakan.
Prof Henri Subiakto berbicara tegas dan lantang di acara ILC tentang ironi politik yang terjadi di pilpres 2024. Sampai-sampai guru besar di perguruan tinggi turun gunung memberi peringatan tentang rusaknya demokrasi yang “didukung” oleh orang-orang besar (ketua-ketua partai) yang merintis karir panjang lewat demokrasi.
Demi uang, jabatan dan kasus hukum, mereka harus nurut seakan tak berdaya dikerdilkan oleh politik dinasti dan permainan oligarki yang dilakukan oleh Joko Widodo untuk pilpres 2024.
“Sangat ironi sekali yang merusak demokrasi adalah orang-orang yang dibesarkan oleh demokrasi itu sendiri. Yang pada akhirnya para pejabat publik gagal membangun etika dan moral. Para oknum pejabat tidak bisa menjadi contoh untuk politik yang beretika dan bermoral.”
Prof Henri Subiakto berbicara atas nama akademisi kampus, suara para akademisi jauh lebih murni untuk kepentingan NKRI. Apalagi yang menyuarakan mereka memiliki gelar guru besar. Yaitu orang yang sudah selesai dengan dirinya sendiri. Mereka sudah memiliki tahapan-tahapan yang bijak dalam mengambil keputusan. Mereka saling menjaga perasaan. Kalau ada perbedaan, mereka berupaya tidak menyakiti satu dengan lainnya.
Terdengar kabar katanya ada yang memobilisasi guru besar di kampus. Itu tidak benar, mereka para guru besar terpanggil untuk menyuarakan hati nuraninya sebagai orang yang punya gelar profesor. Tidak mudah memobilisasi guru besar, mereka bergerak atas panggilan hati nurani. Karena ulah Jokowi yang sudah tidak lagi menggunakan etik dan moral demi kepentingan politik dinasti.
“Kalau saya bicara politik di berbagai forum seperti di ILC ini dibayar karena memang diundang, bagaimana dengan para guru besar di 214 kampus, mereka tergerak dengan sendirinya karena negeri ini sudah mempertontonkan Jokowi dan pejabat publik lainnya yang merosot etika dan moralnya,” paparnya dengan tegas.
“Guru besar yang setiap hari mengajari tentang moralitas, mengajar demokrasi kepada mahasiswanya, tetapi yang dilihat kenyataan lapangan sangat bertentangan dengan moral dan demokrasi yang beliau ajarkan.
“Para guru besar mengkritik tentang pejabat publik yang hilang etik dan moral, demokrasi ditabrak demi melanggengkan dinasti.”
“Jokowi adalah sosok yang dibesarkan oleh demokrasi dari orang nothing menjadi something kemudian menjadi presiden.”
Banyak orang tidak kenal Jokowi sebelum tahun 2014, tidak ada yang kenal, tapi setelah jadi walikota, jadi gubernur dan kemudian menjadi presiden adalah hasil demokrasi, hasil reformasi. Jokowi bukan anak jendral bukan anak tokoh terkenal, kalau kemudian jadi presiden itu suatu kebanggaan.
Saat pilpres 2024 Jokowi berubah, dinilai banyak orang bahwa dia membuat skenario kasus mahkamah konstitusi itu mencederai demokrasi di Indonesia. Mendahulukan anaknya naik jadi calon wakil presiden. Membuat survei-survei yang memenangkan anaknya. Membagikan bansos pada saat kampanye yang di dalamnya dikasih stiker nomor dan gambar paslon anaknya. Orang yang punya karier lama dipolitik itu dikalahkan dengan anak Jokowi. Ini yang disuarakan oleh teman-teman guru besar di 214 perguruan tinggi.
Suara hati nurani para akademisi jauh lebih murni untuk kepentingan NKRI dan demokrasi daripada suara buzzeer dan para politisi yang berambisi. Mereka sampai melupakan idealisme, dan rela ikut mendukung politik dinasti.
Demikian paparan yang tegas dan lantang dari Prof Henri Subiakto tentang adanya “peringatan akademisi terhadap moral dan etik pemimpin negeri ini” yang dipaparkan di ILC arahan Karni Ilyas.”/*