humaniora.id – Kemarin ketika saya menghadiri acara puncak Satu Abad Nahdlatul Ulama (NU), seketika saya teringat sosok almarhum Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Seorang yang sudah saya anggap sebagai orang tua, guru, bahkan life mentor saya.
Alhamdulillah, punya berkesempatan bisa kenal baik dengan Gus Dur dari sejak saya Mayor. Sebetulnya, ibunya Gus Dur dengan eyang saya juga tetangga dekat, di jalan Taman Matraman 10 Jakarta Pusat. Usianya hampir sama.
Momen yang tidak pernah saya lupakan adalah ketika ibunya Gus Dur, almarhumah Ibu Sholihah, yang memandikan nenek saya. Demikian hubungannya dekat.
Jadi antara keluarga Wahid Hasyim, Gus Dur, dengan keluarga saya baik. Secara pribadi juga saya kenal baik sama beliau.
Beberapa kali kita tidak cocok. Ada perbedaan pandangan. Tetapi ya di ujungnya saya sadar bahwa Gus Dur orang yang sangat visioner. Islamnya Islam yang sangat moderat, Islam yang inklusif, Islam yang bisa berdialog dengan semua agama lain.
Banyak pelajaran yang saya ambil dari sosok Gus Dur dari sifat beliau yang moderat. Dengan siapa pun dia tidak mau bermusuhan. Selalu mengayomi.
Islam kita harus Islam yang damai. Dia baik sama orang Nasrani, Kristiani, bahkan sama orang Yahudi pun dia berani buka hubungan. Yang penting kita berhubungan. Yang penting kita dialog. Belum tentu kita setuju dengan pendapatnya. Sifat untuk menghormati, sifat untuk mencari titik-titik temu, ini pengaruh terbesar beliau kepada saya.
Nilai-nilai inilah yang saya lihat juga di dalam NU, yang mampu menjadi rumah bagi seluruh rakyat Indonesia, yang mampu merekatkan segala perbedaan di negara kita.
Bagi saya, nilai-nilai seperti ini penting demi menjaga perdamaian, tenggang rasa dan persatuan di republik ini.
Perbedaan dalam kehidupan adalah hakiki, namun bukan menjadi alasan untuk kita tercerai berai. Apalagi menganggap yang berbeda pendapat dengan kita adalah musuh./*