humaniora.id – Tatan Daniel. “Kaum seniman itu intelektual. Tidak peduli mereka tidak bersekolah, tidak peduli mereka tidak punya gelar-gelar akademik. Intelektual itu manusia yang dalam hidupnya selalu penuh pertanyaan. Tentang teka-teki metafisika. Tentang teka-teki kehidupan. Tentang tentang teka-teki mengapa manusia ‘penguasa’ itu zalim. Dan terkutuk! Mengapa. Mengapa. Itu pertanyaannya. Dan mereka sering tidak menemukan jawaban.
Seniman yang melawan itu adalah panggilan kesenimanan mereka. Panggilan sebagai golongan intelektual, yang berpikir dengan prinsip ‘propethyc resistence,’ perlawanan kaum nabi-nabi. Mewakili suara nabi-nabi. Ulama itu penerus nabi-nabi. Kalau kaum seniman ingin mengatakan juga penerus nabi-nabi, itu tidak akan ada orang yang kurang pekerjaan untuk mendebat pikiran ini. Karena kalau mereka mendebat, mereka akan kalah!
Seniman punya pikiran-pikiran memihak pada hidup. Seni untuk hidup. Bukan seni untuk seni. Itu menyempitkan perspektif, menyempitkan cakrawala, menyempitkan perjuangan hidup. Ada angin atau tidak, melawan. Karena kita yang menentukan angin itu. Bukan angin yang menentukan perlawanan kita. Jadi, berkesenian itu untuk hidup. Kaum seniman adalah ruh. Adalah jiwa masyarakat.”
‘Poetic resistence’ dan seni perlawanan menjadi topik diskusi reflektif-kontemplatif penutup tahun di Posko #saveTIM, tanggal 29 Desember 2022 yang lalu. Kutipan di atas adalah pernyataan Kang Mohamad Sobary. Terasa penting, mengingat banyak persoalan kaum seniman yang tak kunjung beres. Bahkan cenderung makin parah.
Pernyataan yang seirama dengan Dody Yan Masfa, pentolan Teatertobong Surabaya melalui pentas monolog “eMak Gugat” malam itu: “Orang-orang tidak pernah serius dengan kebaikan! Tidak pernah sungguh-sungguh dengan kebenaran. Kita cuma main-main. Memperolok zaman. Memperburuknya dengan kemalasan dan kesombongan. Itu kesadaran fakultas, kesadaran faktur, kesadaran faksimili..!”
*
Forum Seniman Peduli TIM, selama tiga tahun melancarkan gerakan #saveTIM, menemukan kompleksitas persoalan yang krusial. Pemerintah, sebagai penanggungjawab pengelolaan negara tak pernah sungguh-sungguh dalam mengurus seniman dan keseniannya. Kebijakan yang ditelorkan tak serius memihak pada kepentingan kaum seniman. Anggaran untuk urusan kesenian (yang jumlahnya masih jauh dari kepantasan itu) lebih banyak dihamburkan untuk kegiatan yang tak berbasis pada kepentingan strategis pemajuan kesenian.
Bagai mencari jarum di dalam tumpukan jerami, demikianlah kita akan kesulitan menemukan pemerintah, di semua tingkatan, yang serius membangun gedung kesenian, dengan fasilitas yang layak, baik, dan benar. Malah yang terjadi adalah penggerusan, bahkan perusakan.
(Di Jakarta, satu-satunya gedung kesenian milik pemerintah, yang dikenal dengan nama Gedung Kesenian Jakarta, dengan disain bangunan dan sistem akustik yang dirancang serius, adalah peninggalan Belanda, si kolonial penjajah itu. 200 tahun sudah umurnya).
Begitu pula dengan pembentukan Dewan Kesenian. Jika pun dibentuk, tapi cuma dijadikan kaki tangan birokrasi dan tukang stempel kebijakan. Lebih parah lagi: Dibentuk, pakai tanda tangan Gubernur, Bupati atau Walikota, tapi malah dicuekin.
Di tengah diskusi, Moktavianus Masheka, dan Willy Fwi, menyampaikan dengan gusar kabar yang mengejutkan, dan mengundang kemarahan, bahwa: di kawasan Taman Budaya Sumatera Barat akan dibangun hotel berbintang! Ini kebijakan banal, ganjil, aneh, tak mengandung argumentasi yang rasional, dan dengan telak menghina kaum seniman, di manapun.
Tampaknya, pikiran busuk yang pernah coba diterapkan di TIM tiga tahun lalu, yang ditolak dengan keras oleh FSP-TIM, mulai mewabah ke mana-mana. Bahwa konon, pemerintah tak sanggup membiayai fasilitas berkesenian untuk rakyatnya. Lantas dengan enteng memaksakan perhitungan untung rugi dengan memakai model kalkulator kapitalis.
Semakin jelas, dalam berhadapan dengan seniman, pemerintah tidak lagi diwakili oleh pemangku kesenian yang mengedepankan kebijakan publik yang adil dan beradab, tapi oleh perusahaan yang mengedepankan laba, rente, profit. Itulah nasib malang yang hari-hari ini membekap kawasan Taman Ismail Marzuki yang sudah dikuasai oleh PT Jakarta Propertindo alias Jakpro. Kabarnya, begitu pula yang terjadi dengan Taman Mini Indonesia Indah yang kini dikontrak dan dikelola oleh PT Taman Wisata Candi.
“Mereka mencangkul dan berladang di punggung seniman!” ujar Willy Fwi dengan geram. Hah!
*
Amat banyak contoh buruk yang bisa dibincangkan. Tapi, meminjam sebuah judul film, “Sedih, deh, Kalo Diceritain!” itulah ungkapan yang pas. Misalnya, kebijakan tentang perbukuan, terutama bagi kepentingan kaum sastrawan. Aturan tentang pajak, royalti, dan sebagainya.
Pertanyaan lain yang muncul, adakah pikiran pemerintah untuk membiayai pencetakan karya terbaik dari para sastrawan terbaik, untuk kemudian disalurkan ke ribuan sekolah dan perpustakaan negeri, dan dengan kebijakan baik seperti itu, sang sastrawan memperoleh royalti yang jika pun tidak membuatnya kaya-raya, tapi memberi jaminan baginya untuk bisa menulis lagi dengan sehat, nyaman, dan gembira?
Pengabaian terhadap soal-soal perbukuan itu, membuat kita pun mafhum mengapa Balai Pustaka semakin jauh dari pembacanya. Majalah sastra Horison lenyap dari peredaran (sementara majalah Dewan Sastra, di Malaysia, masih eksis sampai hari ini). Pembajakan buku, film, dan karya musik terus saja subur raharja, menjadi musuh bebuyutan yang tak terkalahkan oleh para seniman.
Perpustakaan negeri tak pernah hidup, tumbuh, dan berkembang sebagai ruang ilmu, ruang rekreasi, yang menarik untuk diduduki berjam-jam. Semata dikelola dengan cara-cara kuno seperti 100 tahun yang silam, dengan menganggap buku hanya sebagai artefak tak bernyawa. Dan sebagainya. Dan sebagainya.
Sementara itu, Undang-undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan tak kunjung diikuti dengan Peraturan Pemerintah, serta Petunjuk Pelaksanaan yang lengkap tentang berbagai aspek di dalamnya yang harus dilaksanakan, atas nama hukum.
Nyaris tak ada pemerintah daerah yang meratifikasi Undang-undang itu dalam bentuk Peraturan Daerah masing-masing, baik ditingkat provinsi maupun kabupaten atau kota.
Amanat Kongres Kebudayaan tentang perumusan PPKD (yang diwacanakan akan menjadi ge-be-ha-en kebudayaan) tidak dilaksanakan dengan benar, dengan melibatkan pemikiran kalangan seniman dan budayawan setempat, kecuali dengan mengcopy-paste judul-judul program dan kegiatan rongsokan yang pernah dilaksanakan.
*
Di tengah sengkarut dan karut-marut itu, di manakah kaum seniman? Saya tak tahu. Namun yang terbaca kemudian adalah prilaku nafsi-nafsi. Mirip karakter Pak Ogah dalam film boneka Si Unyil.
Jika benar kaum seniman itu intelektual, yang dalam hidupnya selalu penuh pertanyaan, bahwa kaum seniman adalah ruh, adalah jiwa masyarakat, dan seniman yang melawan itu karena menuruti panggilan kesenimanan mereka, sebagaimana pernyataan Kang Sobary di atas, maka kaum seniman mestinya tidak berhenti hanya sampai di urusan karya saja. Berasyik-masyuk dengan soal-soal teori, estetika, dan perut semata.
Ia juga harus punya sikap. Sikap budaya. Sikap politik sebagai warga negara, sebagai seniman, sebagai orang-orang yang berkepentingan dengan kemaslahatan hidupnya. Dan tentu, pada gilirannya, pada nasib karya kreatif-intelektualnya. Sikap personal, yang menguat menjadi sikap komunal. Dengan solidaritas yang kental. Guyup. Degil. Dan sehat.
Dan sikap itu harus jelas. Tegas. Jika abu-abu, maka yang menggurita adalah rombongan seniman oportunis, yang syahwatnya cenderung berbau borju. Menjadi renda-renda penggembira ‘manasuka siaran niaga”. Sementara, Rendra, empat puluh lima tahun yang lalu, ditahun 1977, lewat “Sajak Sebatang Lisong” yang kemarin malam dibacakan dengan berapi-api oleh R. Monowangsa, sang aktor, sudah mempertanyakan sikap berkesenian itu dengan sangat tajam, “Apakah artinya kesenian, jika terpisah dari derita lingkungan?”
Menjadi seniman, tak pelak, selain menciptakan karya seni yang bermutu menurut ukuran para ahli, juga dalam pemikiran, ucapan, prilaku, dan sikap harus berani menyatakan perlawanan pada hal-hal yang busuk, yang jahat, yang merusak. Berkomitmen. Konsisten, sepanjang umur. Karena, dengan demikianlah ia bisa disebut memiliki integritas.
*
“Seni perlawanan jelas bukan seni yang terkooptasi lalu manut pada penguasa dan tunduk pada congkaknya logika penguasa. Dan pelarangan terhadap seni perlawanan adalah pelecehan intelektual. Seni harus berpihak. Tidak semata-mata urusan estetika saja. Apalagi keindahan yang dibuat-buat. Maka kredo “seni untuk seni” seolah menutup mata pada kenyataan bahwa masih banyak persoalan negara ini yang mesti dikritisi. Bukan berarti estetika itu tidak penting, hanya saja isu-isu sosial mestinya mendahului estetika. Mendewakan estetika berarti membohongi hati nurani, menyerah dan tak siap memikul tanggung jawab sebagai seniman!” simpul Willy Fwi, yang menjadi moderator pada acara penting kemarin.
Dan saya sependapat dengan kesimpulan beliau. Karena kesimpulan itu juga adalah spirit yang menghidupkan gerakan #saveTIM, yang terus dilancarkan berbulan-bulan, bertahun-tahun oleh para seniman yang bergabung dalam Forum Seniman Peduli TIM.
Pernah Pram mengatakan: “Dalam hidup kita, satu yang kita punya, yaitu keberanian. Kalau tidak punya itu, lantas apa harga hidup kita ini?” Pertanyaan penyintas pulau Buru itu terasa tajam menyilet, tapi, kayaknya hanya bagi yang bisa merasakan. Yang peka nuraninya./*
Comments 1