humaniora.id – Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Persatuan Artis Film Indonesia (DPP PARFI), Soultan Saladin, mengingatkan pentingnya menumbuhkan sikap empati dan jiwa altruisme kepada segenap elemen bangsa.
Demikian antara lain butir maklumat yang dikemukakan Soultan Saladin menengarai Peringatan Hari Film Nasional Ke-73 Tahun 2023.
“Dewasa ini masyarakat kita direpotkan dengan gaya hidup hedonis yang merefleksikan suasana kekeliruan cara berpikir dan ketiadaan keteladanan kepemimpinan,” ujar Soultan Saladin kepada humaniora.id, di Sekretariat DPP PARFI, Gedung Film Sapta Pesona, di Jl. MT. Haryono Kavling 47-48, Jakarta Selatan, Kamis (30/03/2023).
Peringatan Hari Film Nasional Ke-73 bertepatan dengan bulan suci Ramadan tahun ini, lanjut Soultan Saladin, dapat menjadi ruang penyadaran sebagai proses akhir; sebuah upaya bertobat.
“Gaya hidup hedonis telah mempertotonkan kelupaan kita untuk membersihkan diri dengan berwudhu. Kitapun lupa bahwa Indonesia beserta bangsanya mendiami negara yang disebut dengan istilah negeri peninggalan para wali ini tercebur dalam longkang parit dan kurang bersyukur,” ungkap aktor senior yang pernah memerankan tokoh Presiden RI, Ir. Soekarno ini.
Kondisi sosial akhir-akhir ini, lanjut Saladin, menunjukkan rendahnya penghormatan terhadap kemanusiaan serta lunturnya rasa tanggungjawab individu. Korupsi, kriminalitas, kekerasan seks, penyalahgunaan narkoba, mewarnai sejumlah pemberitaan media massa Indonesia sehari-hari.
“Sifat hedonis; cinta dunia, cinta materi dan ingin selalu hidup bermewah-mewah tanpa berkerja keras penyebab serakah menjadi sikap mental yang dipratikkan dalam kesehariannya di negeri ini. Realitas ini menyebabkan kita menjadi bangsa lupa,” ungkapnya.
Sementara sebagian artis Indonesia, lanjut Saladin, ikut memperparah keadaan dengan menunjukkan kemewahan. Mempertontonkan gaya hidup borjuis dengan pamer rumah super mewah, mobil mewah, hingga jet pribadi. Hal ini menimbulkan ketidak peka atau empati tentang kondisi bangsa saat ini.
“Sebagai publik figur, artis harusnya bisa menjadi panutan. Bisa menahan diri atas superioritas pribadi. Sebaliknya bisa menjadi filter pola hidup sederhana dan bersahaja di tengah masyarakat,” ujar Saladin.
Menurut Saladin, saat ini terjadi perubahan polarisasi dan peradaban di masyarakat. Situasi ini bila tidak difilter maka bangsa ini akan kehilangan jatidirinya.
“Itu sebabnya kewaspadaan dan kehati-hatian atas pengambilan kebijakan di negeri ini perlu dilakukan. Pemerintah memiliki peran penting menjaga keberadaan bangsa ini,” ujar beliau mengingatkan.
Tidak ada musuh terberat, lanjut Saladin, kecuali musuh terhadap diri sendiri. Pada saat zaman penjajahan, bangsa ini terbukti berjaya karena berhasil mengusir penjajah.
“Sekarang ancamannya bukan penjajahan fisik, tetapi penjajahan ideologis, politis dan ekonomis. Hal ini tantangan berat. Itu sebabnya perlu diambil langkah-langkah strategis untuk menjaga eksistensi bangsa,” ujarnya.
Hari Film Nasional adalah hari penting nasional yang diperingati setiap 30 Maret sebagai bentuk apresiasi dan dukungan terhadap dunia perfilman di Indonesia.
Berdasarkan Keppres RI No. 25 Tahun 1999, Hari Film Nasional diperingati setiap tanggal 30 Maret. Tanggal tersebut dipilih karena pada 30 Maret 1950 untuk pertama kalinya sebuah film diproduksi oleh perusahaan Indonesia dan disutradarai oleh orang Indonesia, H. Usmar Ismail./*
Comments 1