Humaniora.id – Ketika Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2023 dipimpin paman Usman mengubah norma UU terkait syarat cawapres dengan keputusan nomor 90/PUU-XXI/2023 yang memberi jalan mulus pada Gibran bisa maju Pilpres 2024, sontak politisi dan partai-partai pendukung pemerintah, juga KPU langsung mendukung dan gercep melaksanakan putusan MK.
Namun saat MK yang dipimpin Suhartoyo kemarin memutus perubahan norma terkait syarat peserta pilkada yang diperkirakan akan mengganjal Kaesang maju di Pilkada 2024, langsung partai-partai dan politisi yang sama segera bersidang membuat aturan yang mau menganulir putusan MK nomor 60/PUU-XXII/2024 dan putusan MK nomor 70/PUU-XXII/2024 tersebut.
Sama-sama putusan MK tapi diperlakukan berbeda saat putusannya memberi efek politik berbeda. Putusan MK didukung dan dianggap final serta banding dan segera dilaksanakan saat putusannya menguntungkan politik dinasti Jokowi. Tapi sebaliknya putusan MK yang sama-sama membuat norma, segera dianggap bermasalah, diabaikan, dianggap melanggar kewenangan lembaga lain, dan segera dibuatkan aturan revisi UU yang menganulir putusan MK tersebut, hanya karena putusannya bisa menggagalkan Kaesang anak Jokowi di Pilkada 2024.
Itulah politisi dari partai-partai politik yang sudah menjadi pion, kacung, dan kepanjangan tangan kekuasaan keluarga Jokowi. Kalau selama ini Jokowi terkenal dengan inkonsistensi ucapan dan perilakunya. Para politisi kepanjangan kekuasaan Jokowi itu juga berperilaku dan berbicara sama-sama inkonsistensi. Mereka semua benar-benar tidak punya malu menggadaikan harga dirinya hanya untuk menjadi operator kepentingan dinasti Jokowi.
Mereka sekarang sedang mensiasati konstitusi dengan mengabaikan hati nurani dan prinsip-prinsip demokrasi. Yang mereka lakukan semata-mata hanya tunduk dan patuh pada raja Jawa Jokowi yang jabatan kepresidenannya tinggal 2 bulan.
Sebenarnya ada misteri kenapa para politisi dan partai-partai besar ini sekarang seperti tersirap tidak punya nyali dan tidak punya kewarasan. Terjadi perilaku ironi yang membuat partai politik tak berdaya menjaga marwah konstitusi dan demokrasi.
Di periode kedua akhir pemerintahan Jokowi ini, Indonesia benar-bensr menjadi negara yang penuh ironi. Demokrasi yang mengantarkan Jokowi jadi pemimpin, malah sekarang dirusak oleh Jokowi sendiri. Tak hanya itu, tatanan dan regulasi demokrasi yang membuat Indonesia disegani, juga diacak-acak oleh para politisi yang duduk di lembaga demokrasi. Padahal orang-orang yang merusak itu dulunya bisa naik menjadi pejabat dan tokoh nasional lewat proses demokrasi yang sekarang mereka rusak sendiri.
Harus diakui, di Indonesia terasa ada gerakan masif yang sengaja ingin menghancurkan tatanan demokrasi. Ada gerakan masif yang ingin menghancurkan kepercayaan terhadap nilai-nilai demokrasi di negeri ini. Daya rusak itu ada di gerakan pendukung politik dinasti yang diam-diam membawa agenda politik anti demokrasi.
Tentu saja ini mengusik kekuatan-kekuatan pro demokrasi untuk bergerak dan melawan. Aktivis, akademisi, dan politisi pro demokrasi menentang keras, dan bahkan siap turun ke jalan memprotes, membuat gerakan penyelamatan demokrasi. Mereka didukung tak hanya dari dalam negeri tapi juga dari luar negeri yang peduli. Sedangkan presiden Jokowi kita ketahui dekat dan didukung RRC yang banyak diuntungkan oleh kebijakannya selama ini.
Walhasil Indonesia sekarang menjadi ajang persaingan kekuatan geo politik global. Ada kekuatan yang mengabaikan nilai-nilai demokrasi dan ada kekuatan global pendukung gerakan demokrasi. Bagi rakyat haruslah hati-hati, Indonesia oleh Founding Father telah diwarisi nilai-nilai Pancasila. Ideologi yang berbeda dari kedua kekuatan global yang bersaing.
Indonesia harus kita jaga jangan sampai negeri ini dikuasai salah satu dari dua kekuatan global yang bersaing itu. Kita harus membersihkan Indonesia dari para politisi busuk yang membuat negeri ini menuai banyak masalah. Saatnya kita bersama pemimpin yang masih bersih dan jernih menegakkan kembali nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.
Prof Henri Subiakto Guru Besar Unair Surabaya.