Berita Terkini, Eksklusif di WhatsApp humaniora.id
humaniora.id – Topeng dapat hidup dalam diri penghayatnya dengan menjiwai setiap karakter topeng. Dari situ terciptalah alam gerak; tari; akting.
Melalui topeng kita dapat belajar mengenal karakter orang lain. Tanpa melepas karakter pribadi.
Inilah ibrah yang dapat dipetik dari sebuah pergelaran yang dibawakan oleh grup wayang topeng Malangan dari Padepokan Seni Topeng Asmoro Bangun, Dusun Kedungmonggo Desa Karangpandan, Pakisaji, Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Pementasan bertajuk, “Umbul-Umbul Mojopuro” ini berlangsung di Gedung Teater Pewayangan Kautaman Jakarta Timur, Minggu (20/11/2022).
“Pertunjukan wayang topeng yang apik.Tradisi kental dan orisinil. Ditata dengan sederhana namun menawan. Drama topengnya sangat hidup,” ujar Eny Sulistyowati SPd, SE, MM., sebagaimana disampaikan kepada penggiat seni dan budaya Eddie Karsito, usai menyaksikan pergelaran.
Menurut Eny Sulistyowati, menghidupkan topeng pada saat menari tidak mudah. Dibutuhkan keterampilan dan kejelian bergerak yang tajam.
“Topeng harus luruh dengan si penari. Sedang si penari harus menghidupkan topeng yang kasat mata sebagai benda mati,” ujar penari tradisi dan pemain wayang orang ini.
Topeng, kata dia, dapat menjadi komponen pelengkap simbol natural yang tercipta dari energi penari. Seorang penari atau pemeran harus bisa menghidupkan topeng sesuai karakter.
“Inilah yang membuat kesenian tari topeng begitu kaya dengan ragam dan variasi,” ujar Ketua Bidang Pemanfaatan Kebudayaan Komite Seni Budaya Nusantara (KSBN) ini.
Menonton kesenian tradisi ini, ujar Eny lagi, ibarat mempelajari sejarah, mitologi dan ajaran moralitas. Seni tari kata Eny, dapat menjadi salah satu cara manusia memahami dan mengimajinasikan ihwal daya kreatif dari proses penciptaan kehidupan.
“Manusia melihat tubuhnya sebagai perwujudan yang serupa dengan tubuh alam raya. Sehingga gerakan tubuh dimaknai sebagai sesuatu yang menempatkan manusia pada ruang dan waktu,” ujar seniman tari yang akan menggelar perayaan Hari Tari Sedunia dengan melibatkan 10.000 penari, di bulan April 2023 mendatang ini.
Usai menyaksikan pergelaran, pada saat yang sama Wiyono Undung Wasito mengatakan, perlu mengapresiasi tampilnya anak muda dengan kemampuan penguasaan gerak dan tari yang baik.
Namun apakah bentuk tarian, gestur; wiraga mereka cukup untuk mengungkapkan pesan dan wirasa?
“Rasanya masih harus terus dilatih dan diperdalam lagi. Gerak rampak, dinamis, rapi sudah mereka kuasai. Namun untuk sampai pada estetik wirasa yang mungguh masih haurs terus diasah,” ujar Dalang Wayang Orang Bharata Jakarta ini menyarankan.
Topeng, kata Undung, adalah benda mati. Tugas aktor bagaimana topeng menjadi hidup dan mampu mengekpresikan mimik dan katakter. Perlu pengolahan rasa, pendalaman karakter dan taksu. Kesaktian atau daya magic yang kuat.
Undung juga mengkritisi, pilihan lakon yang menurutnya sederhana. Hal ini juga memiliki konsekuensi garapan menjadi datar. Sutradara harus mampu mengolah alur dan konflik tebal dan tergarap.
“Ada empat estetika dasar yang secara proporsional harus dipenuhi dalam drama tradisi, yaitu Greget, Nges, Gecul, dan Sem,” ujar Sekretaris Umum Yayasan Humaniora Rumah Kemanusiaan ini.
Pergelaran wayang topeng garapan Mas Suroso ini, papar Undung, estetika greget cukup menonjol. Nges dalam arti pesan moral dan nilai yang diungkap cukup kuat. Namun Geculnya kurang.
“Aspek estetik Sem, seperti adegan percintaan yang membuat sengsem atau rindu dendam, kasmaran, gandrung, malah sama sekali tidak ada. Jadilah tontonan yang gothang (tidak utuh) kurang bulat. Ending dipaksakan. Penonton merasa klimaksnya belum tercapai. Tahu-tahu sudah selesai,” kritiknya.
Namun Undung memberi apresiasi atas semangat, kerja tim yang padu, karena menari topeng itu memang sulit. Ada berbagai legenda penari topeng yang mempunyai taksu, mampu menyihir penontonnya.
“Kita pernah punya maestro topeng Mimi Rasinah, dan atau I Wayan Diya, yang kalau menari topeng benar benar bisa luluh. Padu dengan karakter topeng yang dimainkannya,” ujarnya.
Selain penguasaan teknik tari dari latihan wiraga, wirama dan wirasa, kata Undung, ada laku spiritual; tirakat yang dilakukan untuk memperkuat batin.
“Mungkin laku spiritual ini yang belum dilakukan para pemula. Dengan laku, insya Allah daya imaji makin jernih, daya ungkap makin kuat,” ungkapnya.
Pergelaran Wayang Topeng Malangan “Umbul-Umbul Mojopuro” oleh Padepokan Seni Topeng Asmoro Bangun, setidaknya ikut menjaga keajekan kesenian tradisi dari terpaan kesenian modern. Mencoba patuh pada pesan buyutnya; “mari senantiasa menari dalam keadaan apapun.”
Pergelaran ini disutradarai Suroso sang pewaris Padepokan Seni Topeng Asmoro Bangun. Didukung Dimas Bagus Atmananto,SE (Penata Tari), serta Dimas Bagas Atmanadi,S.Sn (Penata Musik), dengan belasan pengrawit.
Tim kreatif lainnya, Annisa Nur Kartikasari,S.Pd (Penata Rias dan Busana), Kasnam Wibowo (Dalang), serta Ririn Budi Hartjni,S.Ag. dan Eny Ketang (Sinden).
Belasan penari terlibat dalam pementasan ini, antara lain Dimas Bagus A. (Asmoro Bangun dan Bapang), Hery Budiyanto (Jarodeh dan Patra Jaya), JokoSantoso (Prasonto dan Patih Sabrang), Slamet (Patih Kudanawarsa), Aldo dan Agung Wicaksono (Patih Sabrang), Feby Dewi (Sekartaji), Kamdani (Prabu Lembu Amiluhur), Riko Subagya (Klana Sewandana), dan penari lainnya./* Eddie Karsito
Jakarta, 21 November 2022