humaniora.id – Dalam diskusi interaktif di Radio Elshinta, Ramdansyah juga menjelaskan tentang ruang publik dan ruang privat. Hal itu merespon pertanyaan pendengar Elshinta.
“Jadi bedakan ada ruang publik dan ruang privat. Ruang publik itu tadi orang semua diajak untuk milih pasangan calon atau sebagai caleg tertentu. Seperti siaran radio di Radio Elshinta ini adalah ruang publik. Kalau kita ngopi berdua atau teman-teman yang kita kenal itu adalah ruang privat. Apalagi ngopinya bareng sejawat. Ngobrol bareng antar rekan sebaya atau keluarga itu kan justru sebuah wacana sehat, selama obrolan itu tidak keluar ke publik itu, maka itu tidak ada masalah. Di sini yang mesti hati-hati. Jangan baperan sebentar-bentar lapor polisi,” ujarnya.
Ruang privat juga ada di kantor partai. Misalkan pada minggu tenang ketika kita di ruang kantor sekretariat partai atau dirumah DPD atau Caleg membahas bagaimana keterlibatan saksi dan bagaimana target-target kita untuk mendapatkan salinan c1 atau sistem rekapitulasi elektronik itu boleh-boleh saja. Termasuk Kemudian misalkan bagaimana nanti Caleg atau Pasangan Calon Presiden untuk putaran kedua dengan membentuk koalisi itu sangat boleh.
“Jadi ruang-ruang privat yang kemudian kita bahas tukar pikiran kira-kira pasangan nomor 1, 2 dan 3 dengan melakukan perbandingan diantara ketiganya, itu sah dan boleh. Tapi kemudian jangan sampai perdebatan itu dimasukkan ke ruang publik kemudian jadi black campaign atau positif campaign di ruang publik. Itu kategori yang dilarang. Jadi silahkan dilanjutkan lagi ngopi-ngopi kemudian membahas tentang caleg mana, menimbang-nimbang mana yang akan dipilih itu boleh,. Merefleksikan pilihan bersama keluarga, sejawat tidak bisa dikriminalisasi,” jelas Ramdansyah.
Atau jelas Ramdansyah, saat bersama keluarga misalkan ngajak pilih ini. Masa kemudian dituntut.
“Kemudian saya melakukan chatting ke teman sudah punya pilihan belum, oh belum, yah udah pilih ini aja apakah itu disebut kampanye. Kalau menurut saya itu tidak. Karena apa saya chat berdua itu bukan ruang publik,” ujarnya.
“Tetapi kalau kemudian di Facebook di IG saya bunyikan, karena pasangan ini ideal begini dan seterusnya punya poin A sampai B dan punya sisi negatif pasangan calon tertentu yang kemudian disebutkan siapa pasangan calon dimaksud. Itu jelas kampanye. Karena, itu ruang publik,” imbuh Ramdansyah.
Lebih lanjut Ramdansyah mengatakan, orang perseorangan yang kemudian mengganggu pada masa tenang atau menyebarkan berita bohong atau hoax itu bisa ditracking dan kemudian bisa dipidana.
Kalau individu sampai menghack atau mengganggu sistem informasi KPU karena keberpihakan pada paslon atau Caleg tertentu, maka Pasal 536 UU Pemilu memberikan ancaman pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).
“Itu bukan tim kampanye, tetapi individu yang bersimpati terhadap paslon presiden atau Caleg”, ujar Ramdansyah.
Masa Tenang, Refleksi untuk Tentukan Pilihan
Pada saat masa tenang, Ramdansyah mengatakan, tidak mungkin tidak kita harus merefleksikan para calon yang akan kita pilih. Pertama calon presiden, kemudian anggota DPR RI, DPD, DPRD Provinsi, Kabupaten/kota.
“Karena ini momentum kita yang kemudian berdampak lima tahun kedepan. Dan pilihan ini adalah pilihan sadar yang rasional. Bukan karena pilihan terkait dengan adanya uang, sogokan ataupun sesuatu yang mencederai demokrasi itu sendiri. Mudah-mudahan dengan kita menjadi pemilih rasional yang cerdas, tidak berdasarkan uang, maka demokrasi kita akan lebih baik dan bangsa rakyatnya semakin sejahtera,” ujar Ramdansyah menutup perbincangan di Radio Elshinta .