humaniora.id – Pengamat Pemilu dari Rumah Demokrasi Ramdansyah mengingatkan semua pihak untuk tidak melakukan kampanye pada masa tenang. Termasuk untuk tidak melakukan dan mengumumkan hasil survei atau jajak pendapat saat masa tenang.
Hal tersebut disampaikan Ramdansyah saat diskusi interaktif di Radio Elshinta, dengan tema “Apa yang harus diperhatikan agar masa tenang pemilu bisa sesuai aturan”, Sabtu (10/2/2024).
Seperti diketahui, masa tenang akan berlangsung selama 3 hari, terhitung mulai 11 Februari 2024 hingga Selasa, 13 Februari 2024. Setelah masa tenang, esok harinya, Rabu, 14 Februari 2024, rakyat akan secara bersama-sama memberikan hak suaranya di tempat pemungutan suara (TPS).
“Masa tenang mengacu kepada Undang-undang itu sendiri kalau disebut Undang-undang Pemilu nomor 7 tahun 2017 atau sekarang jadi UU Nomor 7 tahun 2023, itu disebutkan definisi dari masa tenang yaitu masa dimana tidak dapat digunakan segala aktivitas kampanye pemilu. Itu disebutkan pada pasal 1 tentang ketentuan umum atau istilah itu disebutkan. Jadi nggak ada lagi aktivitas untuk melakukan kampanye,” jelas Ramdansyah, yang pernah menjabat Ketua Panwaslu Provinsi DKI Jakarta.
Artinya kata dia, tidak ada lagi misalkan alat peraga atau kemudian ajakan untuk memilih di media sosial atau kampanye citra diri. Atau ada juga yang namanya iklan terselubung di media daring atau pemberitaan kampanye terselubung di media cetak, radio maupun televisi. Ini juga tidak boleh.
“Individu yang bukan tim kampanye secara pribadi juga tidak boleh, apalagi iklan kampanye terselubung misalkan oleh media online maupun televisi maupun radio. Jadi tidak ada kegiatan aktivitas yang namanya kampanye. Itu tidak hanya dilarang, tetapi kemudian ada ancaman pidananya,” ujar Ramdansyah
“Karena misalkan ketika melakukan kampanye di media cetak terselubung, kemudian rekam jejak calon atau pasangan calon presiden, maka lembaga penyiaran juga termasuk maka akan kena denda yang nilainya cukup besar. Misalkan Rp24 juta ada yang Rp48 juta. Hal itu tergantung dilakukan oleh siapa. Misalkan pelaksana kampanye tim kampanye atau perseorangan juga bisa terkena, karena bunyinya setiap orang dengan sengaja mengumumkan hasil survei misalkan, apalagi lembaga jajak pendapat juga bisa kena,” imbuh Ramdansyah.
Artinya jelas Ramdansyah, tidak hanya berupa kepada institusi, pada orang perorang juga bisa kena. Apabila kemudian melakukan kampanye atau kemudian melakukan citra diri mengumumkan di media dan seterusnya itu tidak hanya dilarang tapi kemudian pidananya pun termasuk disana.
Lebih lanjut Ramdansyah mengatakan, saat masa tenang ada beberapa hal yang dilarang. Misalkan terkait dengan survei.
“Survei tidak boleh lagi diumumkan. Pengumuman survei pada masa tenang itu tidak boleh. Bahkan pidananya itu sudah satu tahun penjara dan dendanya sekitar Rp12 juta. Itu untuk melakukan pengumuman survei, melakukan rilis survei misalkan,” ujar Ramdansyah.
“Kemudian juga menjanjikan, pada masa tenang ini juga tidak boleh melakukan kampanye kemudian dia juga menyampaikan sudah nanti coblos kita. Nanti kita akan kasih misalkan Rp100 ribu. Itu unsur politik uangnya juga masuk. Ketika kemudian masuk unsur politik uang pertama pidana juga 4 tahun kemudian dendanya Rp48 juta dan kemudian untuk peserta pemilunya itu bisa bahkan dibatalkan. Itu yang sangat ekstrim di situ. Sampai pembatalan calon,” imbuh Ramdansyah.
Kemudian pada masa tenang, alat peraga kampanye juga harus hilang sama sekali
Apabila tidak dicabut atau kemudian oleh misalkan satpol PP petugasnya kemudian dibersihkan, tapi kemudian masih banyak yang tersisa terkadang kita memancing juga untuk peserta pemilu lainnya untuk pasang alat peraga lagi.
Kalau itu dilakukan, jelas Ramdansyah, bisa kemudian kena sanksi satu tahapan dia tidak diikut sertakan. Misalnya tahapan pungut hitungnya. Itu kemudian bisa tidak diikut sertakan maka kemudian akan rugi bagi pasangan calon ataupun peserta pemilu.
“Jadi pada masa tenang ini harus steril dari alat peraga. Lalukita semua diminta untuk melakukan refleksi diri selama tiga hari untuk memilih siapa yang akan kita pilih pada tanggal 14 Februari nanti,” ujarnya.
Ruang Publik dan Privat
Dalam diskusi interaktif di Radio Elshinta, Ramdansyah juga menjelaskan tentang ruang publik dan ruang privat. Hal itu merespon pertanyaan pendengar Elshinta.
“Jadi bedakan ada ruang publik dan ruang privat. Ruang publik itu tadi orang semua diajak untuk milih pasangan calon atau sebagai caleg tertentu. Seperti siaran radio di Radio Elshinta ini adalah ruang publik. Kalau kita ngopi berdua atau teman-teman yang kita kenal itu adalah ruang privat. Apalagi ngopinya bareng sejawat. Ngobrol bareng antar rekan sebaya atau keluarga itu kan justru sebuah wacana sehat, selama obrolan itu tidak keluar ke publik itu, maka itu tidak ada masalah. Di sini yang mesti hati-hati. Jangan baperan sebentar-bentar lapor polisi,” ujarnya.
Ruang privat juga ada di kantor partai. Misalkan pada minggu tenang ketika kita di ruang kantor sekretariat partai atau dirumah DPD atau Caleg membahas bagaimana keterlibatan saksi dan bagaimana target-target kita untuk mendapatkan salinan c1 atau sistem rekapitulasi elektronik itu boleh-boleh saja. Termasuk Kemudian misalkan bagaimana nanti Caleg atau Pasangan Calon Presiden untuk putaran kedua dengan membentuk koalisi itu sangat boleh.
“Jadi ruang-ruang privat yang kemudian kita bahas tukar pikiran kira-kira pasangan nomor 1, 2 dan 3 dengan melakukan perbandingan diantara ketiganya, itu sah dan boleh. Tapi kemudian jangan sampai perdebatan itu dimasukkan ke ruang publik kemudian jadi black campaign atau positif campaign di ruang publik. Itu kategori yang dilarang. Jadi silahkan dilanjutkan lagi ngopi-ngopi kemudian membahas tentang caleg mana, menimbang-nimbang mana yang akan dipilih itu boleh,. Merefleksikan pilihan bersama keluarga, sejawat tidak bisa dikriminalisasi,” jelas Ramdansyah.
Atau jelas Ramdansyah, saat bersama keluarga misalkan ngajak pilih ini. Masa kemudian dituntut.
“Kemudian saya melakukan chatting ke teman sudah punya pilihan belum, oh belum, yah udah pilih ini aja apakah itu disebut kampanye. Kalau menurut saya itu tidak. Karena apa saya chat berdua itu bukan ruang publik,” ujarnya.
“Tetapi kalau kemudian di Facebook di IG saya bunyikan, karena pasangan ini ideal begini dan seterusnya punya poin A sampai B dan punya sisi negatif pasangan calon tertentu yang kemudian disebutkan siapa pasangan calon dimaksud. Itu jelas kampanye. Karena, itu ruang publik,” imbuh Ramdansyah.
Lebih lanjut Ramdansyah mengatakan, orang perseorangan yang kemudian mengganggu pada masa tenang atau menyebarkan berita bohong atau hoax itu bisa ditracking dan kemudian bisa dipidana.
Kalau individu sampai menghack atau mengganggu sistem informasi KPU karena keberpihakan pada paslon atau Caleg tertentu, maka Pasal 536 UU Pemilu memberikan ancaman pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).
“Itu bukan tim kampanye, tetapi individu yang bersimpati terhadap paslon presiden atau Caleg”, ujar Ramdansyah.
Masa Tenang, Refleksi untuk Tentukan Pilihan
Pada saat masa tenang, Ramdansyah mengatakan, tidak mungkin tidak kita harus merefleksikan para calon yang akan kita pilih. Pertama calon presiden, kemudian anggota DPR RI, DPD, DPRD Provinsi, Kabupaten/kota.
“Karena ini momentum kita yang kemudian berdampak lima tahun kedepan. Dan pilihan ini adalah pilihan sadar yang rasional. Bukan karena pilihan terkait dengan adanya uang, sogokan ataupun sesuatu yang mencederai demokrasi itu sendiri. Mudah-mudahan dengan kita menjadi pemilih rasional yang cerdas, tidak berdasarkan uang, maka demokrasi kita akan lebih baik dan bangsa rakyatnya semakin sejahtera,” ujar Ramdansyah
menutup perbincangan di Radio Elshinta .