humaniora.id – Kebijakan politik Prabowo dengan menambah atau mengubah ubah nama atau nomenklatur kementerian itu sama saja harus siap membuang waktu penataan hingga bisa sampai satu tahun. Terutama untuk kementerian yang harus membuat struktur baru, atau menyesuaikan dengan struktur kelembagaan baru karena kementerian berubah nama, struktur, atau tupoksi baru.
Setelah menteri dilantik, mereka harus membuat regulasi tata kelola yang baru terkait struktur yang sebelumnya tidak ada atau berubah. Kemudian mereka juga harus membuat program kerja baru sesuai struktur yang baru. Tentu saja segera pula membuat anggaran sesuai struktur dan program baru tersebut. Berbarengan dengan itu pemerintah harus melakukan Pemilihan staf eselon atau SDM sesuai aturan. Dari eselon 1 eselon 2 hingga eselon 3, bahkan sampai 4 sesuai tatanan aturan kementerian sekarang. Kemudian karena ada perubahan nama dan lembaga, maka logo, kop surat, website dan berbagai simbol lembaga juga harus diubah sesuai struktur baru.
Ini ribet karena harus kordinasi dengan kementerian PAN, Kementerian Keuangan dan Bapenas hingga Setneg. Akan lebih ribet lagi jika tiga kementerian pendukung itu juga mengalami perubahan. Kemudian untuk pemerintah daerah di tingkat provinsi hingga kabupaten kota juga harus menyesuaikan struktur kementerian yang berubah baru itu. Agar Pemerintah Daerah juga mempunyai dinas yang terkait urusan Pemerintahan dan pelayanan yang berubah itu.
Ini juga rumit dan butuh dasar regulasi untuk aturan terkait tupoksi dan penganggaran maupun persoalan SDM. Tiap kementerian baru atau yang berubah harus kordinasi dengan kementerian dalam negeri, untuk menyiapkan struktur yg sesuai hingga di daerah.
Jadi mengubah struktur kementerian dan kabinet menjadi gemuk itu bukan sekadar menunjuk orang yang akan jadi menteri, dan wakil menteri, tapi memiliki konsekuensi panjang terkait struktur, penganggaran dan SDM hingga di daerah di seluruh Indonesia. Belum lagi terkait kordinasi dengan partner mereka di DPR atau legislatif. Nah untuk itu tentu semakin banyak kementerian yang berubah, semakin butuh waktu dan biaya untuk menyelesaikan persoalan struktur kelembagaan ini.
Pada saat perubahan masih berproses, maka sebagian besar ASN di kementerian yg berubah gak bisa langsung kerja. Padahal pemerintah Prabowo dituntut dan diharapkan untuk segera melakukan perbaikan. Melakukan pelayanan. Bahkan Pemerintah dievaluasi dan ditunggu kinerjanya dalam 100 hari, dalam setahun dll.
Kebijakan Pemerintah baru mengubah struktur yang begitu banyak tersebut menunjukkan kurang memperhitungkan pengalaman yang tak mudah ini. Karena harus diingat pejabat atau ASN itu harus bekerja sesuai aturan, jika mereka melanggar aturan dan merugikan uang negara maka itu masuk katagori korupsi. Repotnya aturan tupoksi masih yang lama, struktur masih lama, disitulah birokrasi butuh waktu menyiapkan dan menata agar aman tidak melanggar aturan sekaligus tidak masuk perangkap korupsi.
Ini bukan masalah sederhana tapi rumit. Beruntung bagi kementerian atau lembaga yang tidak berubah nomenklatur. Makanya mengubah ubah struktur dan nama kementerian itu punya konsekuensi panjang. Pasti butuh wajtu hingga bisa melakukan pelayanan dan kerja untuk publik. Sayangnya Presiden lebih mendahulukan mengakomodasi kepentingan pendukung politik dibanding pertimbangan mendahulukan pelayanan segera pada rakyat dan negara yang harus secepatnya dilakukan.
Mengubah ubah kementerian juga akan jadi preseden buruk dan inefisiensi waktu maupun anggaran. Presiden baru di 5 tahun mendatang belum tentu cocok dengan struktur yang diubah sekarang. Maka ini juga bisa memunculkan inkonsistensi pemerintahan-pemerintahan di masa depan. Itulah harga pak Prabowo ingin mengakomodasi atau merangkul banyaknya kekuatan politik di negeri ini.