humaniora.id – Seni tradisional perlu merevitalisasi konfigurasi pertunjukannya agar dapat lebih komunikatif dan dikenali oleh publik kekinian.
“Karena itu pertunjukan Randai kali ini dikemas secara kekinian supaya dekat dengan masyarakat. Bahasanya diupayakan bahasa yang dapat dipahami secara universal,” ujar Jose Rizal Manua kepada humaniora.id, usai mementaskan The Story Malin Kundang (Mahakarya Randai II), di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki (TIM) Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (17/06/2023).
Bersama Yayasan Sumbar Talenta Indonesia, cipta karya kolaborasi dua sutradara Jose Rizal Manua dan Joharsen “Mahakarya Randai II – 2023 – The Story Malin Kundang” ini menampilkan Mahakarya Randai.
Meleburkan berbagai unsur seni, antara lain, Silat Minangkabau, Tabuah Tasa dan musik tradisi, Tari Piriang, Dendang tradisi, dan atraksi kesenian lainnya.
Pergelaran The Story Malin Kundang (Mahakarya Randai II) disambut penonton secara antuias. Terutama mereka masyarakat asal Sumatera Barat.
Ada banyak legenda yang berkembang di Indonesia. Salah satunya adalah cerita “Malin Kundang” dari Sumatera Barat. Cerita ini memperkaya khasanah budaya bangsa Indonesia yang sedemikian beragam.
“Pesan moral dari cerita ini agar anak muda harus berbakti kepada orangtua. Orangtua jangan mudah menyumpahi, mengutuk anak-anaknya,” tukas sastrawan, penyair, dan aktor yang juga pendiri teater anak-anak, Teater Tanah Air ini.
Sama halnya seni pertunjukan tradisional Ludruk di Jawa Timur, atau kesenian Ketoprak di Jawa Tengah, Randai kata Jose Rizal Manua, juga merupakan kekayaan khasanah seni budaya bangsa Indonesia.
“Setiap daerah memiliki teater tradisi dengan keunikan masing-masing. Dari Jawa Timur antara lain ada Ludruk, dari Jawa Tengah ada seni Ketoprak. Teater tradisi dari Sumatera Barat itu Randai. Harapannya agar seni budaya Minangkabau ini bisa dinikmati oleh masyarakat urban di Jakarta,” harap Jose.
Di tengah semakin beragamnya tawaran hiburan modern dan berkembangnya teknologi komunikasi, kata Jose, secara tidak langsung telah memengaruhi eksitensi kesenian tradisional.
“Tugas kita semua para seniman, pelaku kesenian dan pemangku kesenian untuk menavigasi kesenian agar kesenian tetap ada dan tidak tergerus kekuatan apapun. Kesenian harus beradaptasi agar bertahan,” ujarnya.
Kesenian tradisional sebenarnya dapat menjadi pilihan untuk diseminasi informasi publik. Berbagai kesenian tradisional masih tumbuh dan berkembang di berbagai daerah hingga kini.
“Potensi untuk dijadikan sebagai media tontonan, bahkan forum diseminasi informasi atau penyebaran berbagai pesan kearifan tetap terbuka luas,” ungkap Jose.
Tak kalah penting, lanjut Jose, adalah berbagai proses pra-produksi (persiapan dan latihan), sampai produksi (pertunjukan), hingga pasca produksi. Proses tersebut mendeskripsikan bagaimana aktivitas berkesenian ini mampu merangsang perkembangan nilai-nilai karakter.
“Ada tahapan produksi. Selain pemahaman estetika dan manajemen produksi. Proses ini juga mengajarkan tentang pentingnya toleransi, disiplin, kerja keras, demokrasi, dan kebersamaan. Jadi pertunjukan merupakan bonus dari proses berlatih yang dilakukan selama berbulan-bulan,” ujar Jose.
Apalagi, lanjut Jose, pengisi acara pementasan ini tidak semua berlatar belakang seniman atau pekerja seni, melainkan multi profesi. Melibatkan sejumlah perantau asal Mingkabau, khususnya anak-anak muda.
“Mereka semua perantau dari Sumatera Barat. Ada dari Pariaman, Bukit Tinggi, Sawahlunto, dan daerah lain di Sumbar Di Jakarta ada yang buka usaha di Tanah Abang, bekerja di garmen, dan macam-macam profesi di Jakarta,” ujar Jose menutup wawancara./*