humaniora.id – Perjuangan Suku Naga sampai Cucu Sulaiman – Secangkir kopi hitam cukup membuat Iwan Burnani Toni tak berhenti-hentinya bercerita mengenai jatuh bangun kehidupannya di teater. Bila bercerita tentang teater- daya hidupnya seolah keluar. Kata-katanya sangat ekspresif.
Cuplikan wawancara Seno Joko Suyono bersama Iwan Burnani Toni : Bag 12
T: Oh Merdeka ikut ? Dia kan udah di Teater Mandiri waktu itu ?
Ya dia anak Teater Mandiri. Tapi dia juga anggota Teater Adinda. Aku sering melatih di Teater Adinda juga. Nah akhirnya saya ke Tomang melapor ke Rendra. “Mas aku membikin teater, tapi belum punya nama. Apa ya enaknya namanya?” kata saya. Rendra menjawab: “Namanya kayak hidup kamu aja. Muterr aja kamu tiap hari. Kamu tidak ernah menyerah. Teater Baling-Baling aja namanya deh.” Aku setuju: “Iya deh, Baling-Baling.”
T: Pentasnya dimana itu ?
Pentasnya di Dikbud. Waktu itu seluruh wakil peserta teater-teater daerah seluruh Indonesia datang. Anggota Teater Baling-Baling kemudian bertambah. Bergabung Meritz Hindra, Dedek, Bambang Esa, hari Cahyono dan lain-lain. Setelah Lawan Catur kemudian aku pentasin Bunga Rumah Makan karya Utuy Tatang Sontani.
T: Tahun berapa?
Tahun 1983, di Dikbud juga. Sesudah itu aku mau pentasin Bunga Rumah Makan di TIM. Tapi tidak boleh, karena harus melalui jenjang Festival Teater Remaja. Tapi aku ngotot. Akhirnya aku pentasin di luar gedung di samping Teater Arena. Ternyata yang menonton banyak. Dan aku malah mendapat sertifikat dari TIM.
T: Setelah pementasan Bunga Rumah Makan, selanjutnya apa lagi proses kreatif Anda?
Saat itu saya sering mengobrol dengan Mas Willy. Mas Willy waktu itu kerja di tempatnya Edi Alamsyah, Penerbit Unipress. Edi Alamsyah itu anaknya Pak Alamsyah Ratu Prawiranegara, Menteri Agama.
Nah, disitulah Mas Willy membuat buku-buku tentang bermain drama, dengan menyamar nama: Wahyu Sulaiman. Tapi akhirnya ketahuan juga sama Suharto. Mas Willy cerita ke saya, saat itu Pak Alamsyah ditanya aparat mengapa anaknya memberi tempat kumpul-kumpul Rendra dan Hariman Siregar.
Akhirnya Pak Alamsjah ngomong ke Edi dan Edi menceritakan ke Mas Willy. Mas Willy kemudian keluar dari Unipress. Mas Willy nganggur. Nah tiba-tiba saat itu Mas Willy datang ke kos saya.
T: Di mana kost Anda saat itu?
Di Kramat. Saat datang itu Mas Willy berkomentar: “Wah Wan, tempatmu kumuh kayak di Harleem nih.“ Saya nggak tahu apa itu Harleem. Harleem ternyata daerah kumuh di Amerika. Mas Willy saat itu cerita kontrakan rumahnya di Tomang sudah habis.
Mau memperpanjang tak ada duit. Tapi ada yang mau bantu minjamin rumah. Dia mengajak saya ikut ke orang yang mau minjamin rumah. “Kamu bawa mobil, kamu kan bisa nyupir,”kata Mas Willy. Berangkatlah kami ke Depok. Ke jalan Mangga. Rumah Chris Kelana.
T: Chris Kelana, wartawan Kompas?
Betul. Sampai di sana kami lihat ternyata gedhe rumahnya. Chris hubungannya kan dekat dengan Rendra, sering wawancara. “Wah Kris, berapa nih kontraknya ? kata Mas Willy. “Wah kok ngomongin kontrak Mas ? Terusin aja cicilannya, rumahnya ini tak saya tempatin lagi,”jawab Chris. Rendra langsung merespon: “Apalagi ngomongin cicilan Chris, aku kan penggangguran. Aku gak tahu apa yang bisa dimakan besok, ”kata Mas Willy saat itu.
Tapi kemudian Ken Zuraida , istri Mas Willy ngomong: “Mas Kris komit ? Aku yang kerja, aku yang nyicil. ” Ken Zuraida kemudian kerja di PFN. Ken Zuraida kan desainer grafis. Setelah itu Mas Willy juga dapat bantuan teman-teman untuk kerja. Tapi banyak yang ridak tahu soal kerja Mas Willy satu ini. Mas Willy saat itu dapat kerja di Night Club – di kawasan Monas. Lupa aku namanya. Ia di sana hanya disuruh nongkrong saja. Kan Mas Willy terkenal.
Jadi kehadiran Mas Willy bisa menjadi daya tarik marketing Night Club itu. Tapi ya tiap hari Mas Willy pulang agak mabuk. Lama-lama dia bosan sendiri. “Capek aku begini trus” kata Mas Willy.”
T: Lalu?
Nah setelah keluar dari Night Club itu saya diajak Mas Willy ketemu sahabat Mas Willy namanya, Fendi. Baik banget dia sama Mas Willy. Dia kasih ruang untuk Mas Willy di daerah Tegal Parang. “Bikinlah apa kek disini Ren. Terserah.
Kantor konsultan atau apa. Biar teman-temanku bisa minta pendapat kau lah, tentang usaha-usahanya,” kata Fendi ke Mas Willy. Nah jadilah Mas Willy dan Fendi bikin usaha konsultasi. Namanya: Rendra dan Rekan. Saya suka datang ke kantor Tegal Parang itu. Saya bersama Teater Baling-Baling saat itu mau mentasin: Suto Mencari Bapak karya Mas Willy di Ancol.
Saya latihan di rumah jalan Mangga Depok yang sekarang sudah ditempatin Mas Willy dan Ken Zuraida. Tapi saya juga sering latihan di kantor Mas Willy di Tegal Parang. Nah yang lucu, Mas Willy sering ikut latihan. Aku ledekin , woo…..kagak bisa main ya. Woooo kagak ada izin..hehe.
Nah pentas Suto Mencari Bapak di Ancol saya bikin dengan menggunakan topeng-topeng serta musikal. Mas Willy yang mencarikan uangnya. Dia senang dengan pentas saya. “Pementasan kamu lain, kamu punya gagasan dalam bentuk lain,” kata Mas Willy.
T: Mas Willy jadi kepengin main lagi ya…. .
Nah suatu hari di tahun 1985 tiba-tiba Mas Willy mengajak saya ke Sekneg. “Wan, ikut ke Sekneg,” ujar Mas Willy. “Sekneg? Ngapain Mas ke Sekneg Mas ?”saya ingin tahu.”“Gak tahu nih, Moerdiono panggil saya, mudah-mudahan kita diizinin,”kata Mas Willy.
Saya ingat saat ikut itu saya menggunakan kacAmata hitam. Saya saat itu masih suka nggeelek kan..Dibentak oleh Rendra: “Hei copot kacamatamu.” Mas Willy masuk ke ruangan Moerdiono saya tunggu di luar. Saat Mas Willy keluar dia langsung ngomong: “Aku dapat pentas Wan, keliling baca puisi”
T: Itu pertama kali baca puisi sesudah dilempar bom amoniak di TIM tahun 1978 itu ya ?
Ya. Itu pentas keliling. Dari Jakarta, ke Yogya terus ke GOR Simpang Lima Semarang. Lalu tahun 1985 ke GOR Saparua Bandung. Nah di Bandung ini lain. Meski Mas Willy sudah diizinkan, dia harus memiliki izin lagi dari Siliwangi.
Saya ingat saat itu pas menjelang malam pertunjukan di GOR Saparua, Mas Willy dipanggil Siliwangi. Wah padahal penonton sudah banyak di pintu GOR Saparua. Dan Mas Willy masih dipanggil…
T: Penonton membludak saat itu?
Ya. Penonton sudah membludak. Pentas itu yang mengadakan anak Universitas Padjajaran. Kalau tak salah Yudi Latif ikut terlibat menjadi panitia. Saat itu semua penonton gebrak-gebrak pintu masuk GOR. Saya menemui pihak GOR Sapurua, saya bilang: “Pak saya asistennya Rendra. Tolong pintu dibuka Pak.
Bisa hancur gedung ini kalau tidak dibuka.” Petugas lalu bilang: “Ya kalau mereka masuk gimana. Belum ada Rendra?” Saya bilang: “Saya yang bicara. Saya yang tanggung jawab, kalau ada apa-apa. Saya siap.” Akhirnya pintu dibuka. Dan brolll – penonton masuk semuaa…, Saya waktu itu siap ditangkap. Saya bilang ke Albert Razak, anggota Bengkel Teater yang juga menjadi panitia: Albert, kita siap-siap saja Mas Willy tidak mendapat izin. Kita siap-siap ditangkap,” Albert menjawab siap. Saat itu saya sampai mengenakan baju anti peluru.
T: Pakai baju Anti peluru?
Ya anti peluru. Saya soalnya di Bandung – masih teringat saat tahun 1973 itu ikut baca puisi di lapangan basket ITB. Banyak terdengar suara tembakan. Di GOR Saparua itu kami panitia tegang sekali. Panitia-panitia cewek-cewek pada menangis semua. Mereka takut.
Saya kemudian naik ke panggung. Dan kepada penonton saya bilang: “Assalammualaikum. Perkenalkan saya Iwan Burnani. Saya asisten Rendra. Sekarang Rendra masih berada di Siliwangi, Saya mohon maaf karena kalian sudah membeli tiket dan terganggu seperti ini. Saya minta supaya tenang.
Seandainya Rendra tidak tampil. Mohon pengertian saudara-saudara semua..” Baru ngomong begitu, tiba-tiba Mas Willy dari arah belakang…daarr…, kaget aku. Mas Willy muncul di panggung sambil mengepalkan tangan dan tanpa banyak ngomong langsung baca sajak.
Baca juga : Iwan Burnani Toni: “Saya ikut Rendra, dari Mastodon… Bag 11
Comments 2