humaniora.id – Terasa berat mengaitkan dua kata ini; etika dan peperangan. Keduanya memiliki nuansa yang paradoks. Etika adalah prilaku yang didasarkan kepada norma-norma kebenaran dan keadilan, baik secara legal maupun moral, dalam agama maupun hukum positif.
Hal ini mirip dengan mengaitkan dua kata ini: “holy war” (perang suci). Karena rasanya perang itu tidak pernah suci. Perang akan selalu identik dengan kekerasan, kerusakan dan pembunuhan. Karenanya kedua kata ini juga harusnya dipahami sebagai dua hal yang paradoksikal.
Islam sebagai agama kehidupan memberikan petunjuknya dalam segala aspek kehidupan manusia. Termasuk di dalamnya petunjuk Islam di saat berada dalam situasi peperangan. Bahkan Islam sangat rinci dalam memberikan acuan apa-apa yang tidak boleh dilakukan di saat berperang.
Saya tidak bermaksud menuliskan semua itu. Karena masalah etika Islam dalam peperangan bisa menjadi kajian besar dan dituliskan dalam buku yang terpisah. Mulai dari kapan boleh berperang, dengan siapa diizinkan berperang, hingga bagaimana seharusnya menjaga etika dalam melakukan peperangan itu.
Yang ingin saya tuliskan kali ini hanya satu aspek saja. Bahwa Islam mewajibkan menjaga rumah-rumah ibadah ketika terjadi peperangan. Pengaturan ini tidak main-main karena penegasannya langsung dalam Al-Qur’an itu sendiri. Sehingga tidak perlu interpretasi yang seringkali dikurangi atau dilebihkan
Sebelum mengutip ayat itu, mungkin sekali lagi diingatkan bahwa peperangan dalam perspektif Islam adalah jalan paling akhir dari sebuah upaya mewujudkan keadilan dan perdamaian. Peperangan tidak pernah dipandang sebagai sebuah inisiasi keislaman. Tapi semata respon kepada sebuah situasi yang memaksa terjadinya peperangan itu.
Ada dua kata yang terpakai dalam Al-Qur’an untuk menggambarkan situasi yang memaksa itu. Yang pertama adalah “zhulimu” (ketika umat Islam terzholimi). Dan yang kedua adalah “yuqatiluunakum” (mereka kalian umat Islam diperangi).
Kedua kata ini (zhulimu dan yuqaatikunakum) merupakan “reasoning“ atau alasan kenapa kemudian umat Islam dibenarkan untuk terlibat dalam sebuah peperangan. Jika kezholiman tidak terjadi, dan pihak lain (musuh) tidak melakukan peperangan kepada umat, maka umat tidak dibenarkan “menginisiasi” peperangan. Bahkan di saat terjadi peperangan dan pihak musuh cenderung untuk berdamai maka etika Islam mengajarkan “berdamailah”.
Satu di antara etika peperangan yang digariskan oleh Islam adalah keharusan menjaga eksistensi dan kesucian rumah-rumah ibadah. Bahwa sedahsyat apapun peperangan yang terjadi jangan mengganggu, apalagi merusak rumah-rumah ibadah. Penyebutan rumah-rumah ibadah ini mencakup semua rumah ibadah tanpa kecuali. Bahkan lebih tegas lagi alasan pelarangan mengganggu atau merusak adalah karena di rumah-rumah ibadah itu “Asma Allah disebut-sebut”.
Di Surah Al-Hajj ayat 40 Allah tegaskan : “Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentu telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi, dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah.”
Realita inilah sesungguhnya yang menjadi rahasia kenapa di berbagai negara mayoritas Muslim rumah-rumah ibadah orang lain masih terjaga hingga kini. Gereja Kristen Koptik di Mesir, gereja-gereja Kristen Romawi di Suriah dan Turki. Bahkan di Indonesia sendiri hingga kini terjaga bahkan menjadi kebanggaan bangsa rumah ibadah kaum Buddha (Borobudur) dan Hindu (Prambanan).
Dengan dibomnya dan hancurnya gereja Kristen Orthodox, St. Porphyrious, di Gaza beberapa hari lalu sebenarnya membuka tabir berbagai kebohongan yang selama ini di hembuskan oleh mereka yang benci kepada agama ini. Begitu lama dan masif dipropagandakan jika eksistensi minoritas di dunia Islam itu selalu terancam. Salah satunya mereka tidak punya ketenangan dan hak beribadah, termasuk tidak diberikan kesempatan memiliki rumah ibadah.
Pemboman dan hancurnya gereja di Gaza yang konon kabarnya adalah gereja tertua ketiga di dunia, setelah Jerusalem dan Bethlehem, sekaligus membuka kebohongan propaganda yang selama ini dibangun bahwa bangsa Palestina di Gaza itu “anti non Muslim”. Mereka ingin mengeliminir non Muslim. Fakta itu terbuka dengan caranya Allah bahwa ternyata umat Islam Gaza telah hidup berdampingan dan menjaga rumah ibadah umat Kristiani sejak ribuan tahun.
Memang diakui pembantaian yang terjadi dan masih terus terjadi di Gaza itu membuka banyak kebohongan-kebohongan yang selama dipertontonkan tanpa malu-malu untuk mengelabui dunia. Tapi sebagaimana firman Allah: “mereka berencana dan Allah berencana. Tapi Allah itu sebaik-baik perencana”.
Semoga Allah memberikan kemudahan dan keringanan kepada bangsa Palestina dalam menghadapi cobaan yang luar biasa. Semoga semua itu jadi jalan kemenangan dan kemerdekaan mereka. Amin!
Manhattan, 24 Oktober 2023
H. Muhammad Syamsi Ali, Lc, MA, Ph.D., adalah Imam Islamic Center of New York dan Direktur Jamaica Muslim Center