Humaniora.id, Jakarta – Seniman memang harus diberi tempat berkreasi untuk menampilkan inovasinya. Seniman butuh panggung yang dapat memberi spirit bagi penciptaan karyanya.
Oleh karena itu perlunya Pemerintah memberi perhatian khusus berupa fasilitas panggung seni untuk menampilkan kesenian bagi para pelaku seni.
Melalui berbagai sarana inilah masyarakat, khususnya pelaku seni menaruh minat dan menggali potensi bakat masing-masing untuk “berkarya bersama,” baik seni sastra, musik, teater, film, dan atau seni pertunjukan lainnya.
Inilah antara lain salah satu tujuan Pemerintah Daerah DKI Jakarta mendirikan gedung pertemuan dan olahraga di lima kota madya yang biasa dikenal “Youth Center” (Gelanggang Remaja).
Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin saat itu punya gagasan besar bagaimana ibukota bisa menjadi “barometer” kehidupan berbangsa dan bernegara melalui kegiatan seni budaya. Diawali dengan berdirinya Taman Ismail Marzuki (TIM) dan Gelanggang Remaja (GR).
TIM didirikan 1968, dan GR didirikan setelah itu, di tahun 1970-an. Dengan adanya TIM seluruh jenis kesenian bisa tampil disini, bukan saja “teater modern” misalnya, melainkan juga yang “teater tradisi”, mendapatkan jatah tampil yang sama. Memang dari sekian banyak acara dan jenis kesenian yang tampil, penampilan teater modern seperti Bengkel Teater Yogya (WS. Rendra) dan Teater Kecil (Arifin C. Noer) yang menjadi maskotnya.
Bengkel Teater Yogya menggebrak agenda kesenian modern, lalu juga secara bersamaan sikap hidup berbangsa dan bernegara lewat karya-karyanya yang berbau politis.
Kemunculan WS. Rendra dan kelompoknya itu, diikuti oleh berdirinya Teater Kecil pimpinan Arifin C. Noer. Kedua kelompok inilah yang rutin mengisi acara di TIM, baik secara bergantian maupun bersamaan di tahun yang sama.
Hal tersebut merupakan jejak dari fasilitator Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), yang salah satu peranannya adalah mengakomodir ide-ide para seniman.
Momen itu diwujudkan, salah satunya melalui Lomba Penulisan Naskah Lakon, di tahun 1972, yang menghasilkan penulis-penulis baru naskah teater. Dari pemenang lomba inilah dijadikan “pasokan buat kelompok teater remaja berkreasi” lewat ajang final Festival Teater Remaja (FTR). Dimulai sejak tahun 1973 dimana penyeleksiannya diadakan di lima gelanggang remaja, dan finalnya diadakan di TIM.
Bagi kelompok teater yang menang tiga kali berturut-turut, mendapat “promosi” sebagai “teater senior”, sehingga bisa tampil reguler di TIM. Memang ketentuan DKJ itu merangsang “anak muda di ibukota” untuk menggali bakat-bakat baru di bidang keaktoran dan penyutradaraan. DKJ memberikan “vitamin” berupa pembinaan kreativitas dan pendanaan produksi.
Inilah suatu kerjasama antara PKJ-TIM sebagai “pusat” kesenian dengan GR-GR, yang berada di ‘youth centre’ (gelanggang remaja) sebagai “kantong-kantong” kesenian. Hal tersebut jelas bahwa kelompok teater remaja itu diseleksi secara kualitas seninya oleh para juri lomba (kini lebih sering disebut ‘kurator’). Artinya mereka yang bagus pantas mewakili tim GR, seperti wakil tim Gelanggang Remaja Jakarta Timur.
Mereka dinilai oleh tim juri yang berpengalaman dan kompeten di bidangnya. Ini sebagai motivasi bagi kelompok yang potensial dan kreatif, yang dapat dibanggakan di kemudian hari.
Dari kecenderungan di atas, kiranya jelas bahwa salah satu tujuan Ali Sadikin mendirikan ‘youth centre’ adalah membina remaja, atau anak muda menjadi bibit unggul.
Sejak dimulainya Gelanggang Bulungan (1970), dilanjutkan Gelanggang Otista (1971) dan berlangsungnya Festival Teater Remaja (1973) praktis kehidupan kesenian di Indonesia menjadi semarak dan hidup. Karena saat itu, dua fasilitas umun itulah “yang hadir, dan mengalir” hingga dua generasi, sampai saat ini, disebut-sebut sebagai era generasi milenial.
Rendra Seniman yang Menginspirasi
Popularitas Rendra tidak bisa dimungkiri, dia menjadi publik figur, tidak saja sebagai penyair, melainkan juga aktor yang jempolan. Keberadaan Rendra dimana pun, baik di atas pentas, lalu diacara-acara diskusi, seminar, yang diadakan Dewan Kesenian Jakarta, telah menyedot perhatian publik, termasuk pers (media cetak khususnya).
Penyair flamboyan yang jika di atas pentas selalu memukau hadirin saat membacakan puisi-puisi balada, retoris, dan pamphlet karyanya. Syair-syair yang ditulisnya melukiskan realitas kehidupan masyarakat kita. Seakan memberi kesaksian zaman, baik secara tersurat (diksi kata-kata yang memikat) maupun tersirat (yang dikemas dalam balutan estetis ‘sastra adiluhung’).
Hal itu menjadi semacam pernyataannya berkesenian, dan berbangsa sebagaian warga negara. Bentuk seninya sudah menjiwai sikapnya dalam kehidupan kesehariannya. Tidak hanya pada karya sastra saja tetapi juga terbaca dalam karya-karya teaternya.
Dimulai dari naskah-naskah Yunani, (diantaranya “Antigone”-nya Sophocles), naskah Barat (diantaranya “Menunggu Godot”-nya Samuel Beckett), maupun karya-karya originalnya (seperti “Mastodon dan Burung Kondor”, dan “Bib-bob” sebagai karya eksperimennya berupa ‘teater mini kata’).
Untuk ‘menandingi popularitas’ Rendra dalam berkarya banyak seniman mencari jalan lain dalam menyatakan sikap berkesenian nya. Arifin C. Noer misalnya, dengan kekhasannya yang unik, seniman asal Cirebon ini tidak mau kalah dengan “gurunya berteater” itu.
Melalui Teater Kecil yang didirikannya Arifin pun berkarya dengan telaten menyerap kehidupan kaum marjinal. Seakan melengkapi “gaya priyayi” yang diwujudkan dalam sejumlah karya mas Willy, sebutan lain untuk Rendra. Arifin melahirkan gaya baru berteater berbau “pembelaan atas kaum marjinal”.
Identitas inilah yang membuatnya dijuluki “teater made in Indonesia.” Maka tidak aneh bila banyak kaum muda yang tertarik untuk belajar teater pada Arifin C. Noer.
Embrio Aktivitas Teater di Jakarta Timur
Dari sekian banyak seniman muda yang tumbuh di komunitas Gelanggang Remaja ada yang ikut ‘nyantrik” (belajar) di kelompok teater yang dipimpin WS. Rendra dan Arifin C. Noer.
Dua seniman tersebut adalah Sudibyanto dan Dorman Borisman, yang kemudian dua penggiat teater ini menjadi pionir perkembangan seni teater di Jakarta Timur dan sekitarnya.
Sudibyanto menjadi anggota Bengkel Teater Yogya, lalu mendirikan Sanggar Teater Jakarta, dan Teater Jakarta Timur. Kedua kelompok teater remaja ini berlatih di Gelanggang Remaja Jakarta Timur.
Pada acara Festival Teater Remaja Dewan Kesenian Jakarta yang pertama diadakan di Indonesia tahun 1973, kedua grup ini mendapat penghargaan. Sanggar Teater Jakarta Juara Pertama, dan Teater Jakarta Timur Juara Ketiga. Untuk Juara Kedua, diraih Teater Ibukota (dari komunitas Gelanggang Grogol Jakarta Barat).
Dorman Borisman dan Syarifuddin A. Ch. selanjutnya dipercaya Sudibyanto meneruskan kiprah berteater di Gelanggang Remaja Jakarta Timur (GRJT). Keduanya muncul dengan semangat bersahaja tanpa punya “embel-embel” popularitas.
Dalam berkesenian memang tidak mengenal istilah “kalah menang”, yang ada “pertempuran ide” dalam berkarya, menyikapi dirinya berkesenian, dengan menyerap atau beradaptasi pada realitas hidup. Dengan cara seperti inilah tidak mengherankan jika Dorman Borisman (almarhum) mendapat tempat di mata para seniman.
Dengan kata lain, Dorman Borisman sudah membuktikan dirinya eksis di dunia teater, salah satunya lewat sebutan “grup senior” binaan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Dorman Borisman selanjutnya sukses meniti karir sebagai aktor film dan sinetron.
Teater memang penuh kejutan. Siapa sangka dari dunia panggung yang sublim, kemampuannya bermain diterima di dunia layar perak yang gegap gempita. Orang menyebutnya “dunia glamor”, yang akan mengikis idealisme berkesenian kaum seniman, bagi Dorman tidaklah begitu. Dia menjalaninya secara bersahaja, sederhana cara berpikirnya, tapi punya tanggung jawab dalam bersikap.
Sikap hidup berkesenian Dorman inilah yang dirasakan oleh teman seangkatan, apalagi rekan yang lebih muda. Dorman telah memberikan warna tersendiri dalam keriuhan jagat perteateran di Indonesia.
Dunia memang sudah berubah. Dunia panggung memang bukan lagi primadona. Dunia film pun telah menampung, dengan menerima para aktor yang memang menjaga takaran bermainnya, melalui peran-peran yang dimainkannya.
Setelah era reformasi bergema, sedikit demi sedikit mengalami banyak perubahan, terutama dengan berkembangnya teknologi. Perkembangan teknologi ternyata, juga mempengaruhi cara orang menikmati hiburan. Bila dulu menonton film di bioskop kini bioskop makin sedikit. Sarana hiburan tergantikan dengan saluran digital berupa gadget.
Kelancaran menikmati hiburan aktor berakting kini meluas cakupannya. Bukan lagi di layar bioskop, tapi di layar android, atau biasa disebut di layar sentuh. Dengan sekali sentuh, kita bisa menikmati sejumlah tayangan di “youtube”.
Melalui kanal youtube inilah, sejumlah seniman dan ahli teknologi, membuat flatform-flatform dari film, teater, dan kehidupan keseharian. Ada yang berdurasi panjang, ada juga yang berdurasi pendek. Begitulah. Zaman bergerak maju tapi apakah hal ii juga diikuti dengan karya berkualitas?
Boy Hamzah, artis sinetron yang hadir pada acara ’40 hari berpulangnya Dorman Borisman’ menyatakan hormat pada Dorman Borisman.
“Saya belajar dari beliau dari sejumlah film-film dan sinetron dimana dia bermain. Kini, termasuk yang saya lakukan, adalah dengan menontonnya di kanal youtube. Melalui media sosial ini, kita bisa menyaksikan kembali secara berulang-ulang, dan mempelajari kekhasan beliau dari semua tayangan yang telah beredar itu,” ujar Boy Hamzah.
Hal yang tidak kalah penting membaca zaman global ini. Teater Kubur pun “tergoda” teknologi digital untuk mempertontonkan produksi teaternya. “Ritus Bocor” merupakan medium ekspresi produksi Teater Kubur yang ditayangkan dalam bentuk tontonan digital melalui saluran/kanal “youtube”.
“Ritus Bocor” menjadi salah satu cara baru menonton teater yang dikembangkan Dindon WS bersama kelompok Teater Kubur yang dipimpinnya.
Dindon WS merupakan seniman kreatif era 80-an, yang tumbuh dari ‘youth centre’ atau Gelanggang Remaja Jakarta Timur (GRJT). Ia juga sempat berguru dengan maestro teater Arifin C. Noer di Teater Kecil.
Sejumlah karya panggung Dindon WS antara lain diadaptasi dari karya Arifin C. Noer, seperti “Aa Ii Uu”, “Kucak-Kacik”, dan “Kapai-Kapai,” hingga kelompoknya dinobatkan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) sebagai grup teater senior.
Dindon WS terus berproses melakukan eksplorasi dan memberi kesaksian zaman melalui sejumlah pertunjukan memukau dan energik./*
Syahri Wil adalah penggiat teater dari Ikatan Teater Jakarta Timur (IKATAMUR)