Humaniora.id – Oedipus Berpulang dan Lisystrata – Iwan Burnani Toni: “Saya ikut Rendra, dari Mastodon… Bag 6
T: Selain latihan silat, latihan apa lagi yang berat di Bengkel?
Nah…ada lagi latihan berjalan dalam hujan lebat. Itu kalau gak salah saat sebelum pentas Oedipus Berpulang (pentas tanggal 20-21 November di teater Terbuka TIM 1974).
Kami pentas di Teater Terbuka TIM tahun 1975. Oedipus Berpulang itu bagian kedua dari trilogi Oedipus karya Sophocles (judul aslinya: Oedipus di Colonus). Untuk pentas ini kami tetap dasarnya adalah silat. Karena sudah terbiasa – saya merasa lebih enak menjalani latihan-latihan silat saat itu.
T: Bagaimana saat berjalan dalam hujan lebat itu?
Latihannya tiba-tiba. Saat itu hujan deras banget. Tiba-tiba Mas Willy memanggil kami semua. “Kumpulin rokok, uang, segala macam, tarok di sini. Kalian keluar,” Mas Willy bilang begitu padahal di luar hujan besar sekali.
Saya ingat, Mas Adi Kurdi berjalan paling depan. Kita membuntuti Mas Adi Kurdi. Kita jalan dari Ketanggungan sampai ke Bukit Sendang Kasihan. Bukit ini dekat tempat padepokan Bagong Kussudiarjo sekarang, namun waktu itu Pak Bagong belum membikin padepokan.
Hujan deras sekali. Kita tidak boleh mengomong satu sama lain. Hening. Jarak kita satu sama lain harus 1 meter. Sering kita tak bisa melihat teman yang berada di depan, karena hujan sangat lebat..
T: Apa maksud Rendra dengan latihan itu ?
Kata Mas Willy itu latihan melatih kepasrahan. Itu latihan untuk benar-benar pasrah. Kembali ke alam semesta, menjadi kanak-kanak. Kita betul-betul harus pasrah. Kalau mikir tubuh basah, sakit dan sebagainya bakal nanggung.
Jadi kita laksanakan saja pasrah berjalan dalam hening dan guyuran hujan. Saya ingat, saya berjalan paling belakang. Kalau saya sampai lokasi berarti seluruh anggota Bengkel Teater sudah kumpul semua. Kami saat itu untuk menuju Bukit Sendang Kasihan sampai harus menyebrangi sungai. Sampai di Bukit Sendang Kasihan kami terus tidur, dan sampai pagi tidak boleh ngomong.
Karena saya sudah dilatih meditasi dan yoga, saya berusaha manasin badan dengan meditasi. Baju dan badan kan basah semua saat itu. Badan sampai kemudian kering sendiri. Saat bangun pagi, kita baru boleh mengobrol satu sama lain. Terus setelah bangun, kita latihan improvisasi.
Di Bengkel Teater itu latihan paling banyak adalah latihan improvisasi. Saat kita pulang–turun dari Bukit Sendang Kasihan, kita mau ke telaga – tempat mandi (kungkum). Yang aneh saat ke sana–kami berjalan sering menginjak-nginjak duri, sering kena segala macam batu, kesandung-kesandung. Padahal waktu berjalan malam hari sampai ke tempat ini sama sekali tak pernah tersandung-sandung duri atau sebagainya.
Mas Willy bilang – karena kita saat berjalan malam itu benar-benar los gitu, kosong. Lama-lama saya menyadari, dengan latihan-latihan ini Mas Willy sesungguhnya berusaha melatih kepekaan kita. Karena aktor itu mesti peka. Nah..setelah latihan-latihan itu kami pentas lagi: Oedipus Berpulang.
T: Anda memerankan apa di Oedipus Berpulang?
Saya mejadi Kreon. Saya ditunjuk sama Mas Willy menjadi Kreon. Sementara pemeran Oedipus tetap Mas Willy. Waktu itu saya diadu dengan aktor Bengkel lain. “Siapa yang mau menantang perannya Iwan ?” kata Mas Willy. Tiga orang menantang. Lalu kami diadu. Aku tetap terpilih.
Dan begitu pentas di TIM, aku tak menyangka ada resensi di Sinar Harapan yang memuji akting saya dan menjuluki saya: singa panggung.
T: Setelah Oedipus berpulang, pentas apa lagi?
Kami pentas Lysistrata karya Aristophanes di Teater Terbuka TIM 1975 (pentas tanggal 26-27 April 1975 – red)
T: Lisystrata kan banyak pemain ceweknya ?
Betul. Nah saat itu saya menjadi bencong. Pemain perempuannya cuma Mbak Sitoresmi, Yati Angkoro (nama aslinya Rr.Istantinah Sri Sugiharto –red), Hermin Centini, Alit, sisanya semua aktor laki-laki menjadi bencong.
Nah, aku jadi pimpinan bencong. Rambutku yang masih panjang diminta Mas Willy dikepang. Wah ini peran berat lagi. Mas Willy bilang: “Observasi, tuh di alun-alun banyak banci-banci, kalian bergaul dengan banci-banci itu.” “Waduh ntar dipakai nih kita,” aku komentar. “Wah terserah, mau dipakai, pakai aja,” jawab Mas Willy.
Akhirnya saya datang ke alun-alun, mengobrol bergaul dengan banci-banci. Saya perhatikan bagaima cara jalan para bencong itu. Saat itu para bencong banyak yang memakai jarig (kebaya). Kita observasi semua itu. Cara pakai kostumnya, cara jalannya. Lalu kita latihan bagaimana kita bisa melemaskan tubuh, sampai lentur.
Sedemikian intens risetnya, selama proses latihan sampai ada teman kebawa gaya-gaya waria itu. ”Hai Wan.., dia menyapa (gaya banci). Wah kacau sekali batin saya kalau keterusan begini. Nah setelah selesai pentas- semua penghayatan kebencong-bencongan ini harus hilang..
T: Setelah Lysistrata Anda terlibat pementasan apa lagi?
Tahun 1975 kita lalu proses Perjuangan Suku Naga. Proses Perjuangan Suku Naga ini lebih berat lagi. Kita sekali lagi disuruh berjalan ke Bukit Sendang Kasihan saat hujan deras. Nah setelah jalan malam. Biasanya pagi seterlah sarapan, latihan, mandi kita balik, turun, pulang.
Nah saat latihan Perjuangan Suku Naga ini ternyata nggak. Kita pagi di bukit latihan improvisasi, diskusi, menunggu malam. Nah malam ternyata jalan lagi. Wah kita mau dibawa kemana lagi. Tidak tahu….
T: Mas Willy yang berjalan di depan ?
Tidak. Adi Kurdi yang di depan.
T: Mas Willy nya juga Ikut ?
Ikut. Tapi saya gak tahu posisinya ada di mana. Kadang-kadang dia tahu-tahu muncul di titik-titik tertentu. Dia yang menentukan, mengarahkan jalan. Dia tiba-tiba muncul dan berteriak woiiii—ke sana
T: Jadi Mas Willy tahu-tahu muncul ?
Ya. dia muncul.., nanti dia menyiapin apa gitu saat muncul. Lalu dia menunjukkan jalan. Kami berjalan terus- sambil diam. Nah tahu-tahunya kita sampai di Goa Selarong (Goa markas Pangeran Diponegoro saat melakukan perang gerilya melawan Belanda –red).
Kita menginap di Goa Selarong. Tetap hening. Tidak ada bicara.
Baca Juga : Iwan Burnani Toni: “Saya ikut Rendra, dari Mastodon… Bag 5
Comments 3