Oleh: H. J. FAISAL
Ingin menangis tapi saya lupa nadanya. Ingin tertawa terbahak-bahak, tapi nanti takut kalau ada yang tersinggung. Dualisme perasaan inilah yang saya rasakan sebagai anak bangsa yang merasa miris, di usia negara yang telah merdeka selama 79 tahun, ketika menyaksikan, dan kemudian menilai pemberian tanda jasa negara berupa Medali Kepeloporan, Bintang Mahaputera, Bintang Jasa, dan bintang-bintang lainnya kepada mayoritas para anggota Kabinet Indonesia Maju (KIM) besutan sang presiden negara ini, pada tanggal 14 Agustus 2024 yang lalu.
Para penerima tanda jasa kehormatan negara tersebut terdiri dari 23 orang menteri, 10 orang wakil menteri, 9 orang pejabat lembaga tinggi negara, 7 orang pejabat pimpinan lembaga pemerintah dan non-kementerian, 5 orang pejabat TNI dan Polri, 5 orang WNI dengan latar belakang profesi, dan 2 orang budayawan.
Pemberian tanda jasa-tanda jasa tersebut sejatinya memang merupakan hak prerogatif presiden sebagai kepala negara, baik secara ‘obral’ maupun secara ‘jual mahal’. Namun, dalam kasus ini, pemberian tanda jasa yang seharusnya bersifat sangat sakral tersebut, malah menjadi sesuatu hal yang terlihat lucu, seperti sebuah dagelan Srimulat, yang justru mengundang tawa geli dan nyinyir di masyarakat.
Masyarakat pun menjadi bertanya-tanya…..mengapa kesakralan tanda jasa-tanda jasa kenegaraan tersebut menjadi hilang dengan diberikannya tanda jasa tersebut kepada mereka yang sebenarnya belum pantas menerimanya? Jika ada pertanyaan lagi, masyarakat yang mana? Masyarakat yang masih memiliki akal yang sehat, pastinya.
Baiklah….kita kembali ke istri pertama….maaf, maksud saya, ‘kembali ke laptop’ (pinjam istilah Om Tukul).
Pernyataan berikutnya adalah, sesungguhnya para penerima tanda jasa tersebut belumlah disebut pantas untuk menerimanya. Mengapa demikian? Ya karena memang tidak ada argumen berbasis data dan jejak digital yang jelas dan akurat, tentang jasa dan bakti apa yang telah dilakukan oleh para penerima tanda jasa tersebut kepada negara selama ini.
Beberapa hal yang mengganjal rasa keadilan masyarakat juga terjadi karena kurangnya transparansi, sehingga banyak pihak yang merasa bahwa proses seleksi penerima penghargaan tanda jasa tersebut sangat tidak transparan dan tidak jelas kriteria yang digunakan untuk menentukan siapa penerimanya yang memang benar-benar pantas.
Dengan demikian, maka alasan politis menjadi hipotesanya, sehingga tidak sepenuhnya pemberian tanda jasa-tanda jasa tersebut memang dilakukan berdasarkan pada jasa atau kontribusi para penerima yang luar biasa terhadap negara.
Kalau hanya sekedar alasan bahwa para mayoritas penerima tanda jasa tersebut telah menunaikan kewajiban mereka sebagai menteri, wakil menteri, jaksa agung, dan jabatan-jabatan politis lainnya, seharusnya cukup diberikan tanda terimakasih saja. Karena untuk menunaikan tugas sampai akhir masa jabatan mereka, memang sudah merupakan perjanjian dan sumpah mereka di atas kitab suci, ketika awal mereka dilantik dahulu. Dan melaksanakan perjanjian dan menjalankan sumpah adalah kewajiban yang harus ditaati oleh mereka.
Memang, kita akui juga bahwa ada sedikit orang yang memang pantas menerima tanda jasa tersebut. Namun mayoritas dari para penerima tanda jasa tersebut hanyalah orang-orang dekat presiden yang telah sukses membantunya dalam menjadikan anaknya sebagai wakil presiden untuk periode 2024-2029 ini, sukses dalam membantunya merubah pasal-pasal konstitusi yang sah dalam memuluskan semua keinginan nafsu berkuasanya, dan juga telah sukses dalam menutupi semua kegagalan dan kebohongan-kebohongannya kepada rakyat dalam hal kebijakan publik yang dilakukannya, serta sukses dalam menutupi semua manuver-manuver politik brutalnya, selama menjabat sebagai presiden dalam kurun waktu 10 tahun terakhir ini.
Dan pertanyaan menggelitik yang muncul kemudian lainnya adalah, mengapa mantan Ketua KPU yang terjerat kasus asusila tersebut, tidak diberikan penghargaan sekalian? Bukankah dia telah berjasa telah membantu Presiden dalam ‘simsalabim’ proses perhitungan suara hasil pemilihan umum presiden dan wakil presiden bulan Februari 2024 yang lalu, sehingga anak sulung sang presiden bisa menjadi wakil presiden berikutnya?
Atau mengapa pula ketua DPR saat ini, tidak ikut mendapatkan tanda jasa, padahal dia telah berjasa untuk meloloskan UU IKN (agar presiden cepat lepas dari gangguan hantu kolonial yang ada di istana negara Jakarta saat ini), dan UU lainnya sesuai dengan keinginan dan pesanan sang presiden berdasarkan tekanan negara-negara pendonor hutang Indonesia selama 10 tahun terakhir ini?
Padahal sejatinya, meskipun pemberian tanda jasa-tenda jasa tersebut adalah hak presiden sebagai kepala negara, namun tetap ada peraturan-peraturan yang mengatur hal tersebut, yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2009 mengatur tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.
Berdasarkan UU Nomor 20 Tahun 2009 tersebut, sesungguhnya proses seleksi penerima tanda jasa dan kehormatan di Indonesia melibatkan beberapa tahapan yang cukup ketat, dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Pengusulan: Tokoh-tokoh yang dianggap berjasa diusulkan oleh berbagai kementerian, instansi, dan lembaga. Usulan ini biasanya didasarkan pada kontribusi signifikan mereka di bidang tertentu.
2. Penilaian: Usulan tersebut kemudian dinilai oleh Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK). Dewan ini terdiri dari berbagai pejabat tinggi negara yang mengevaluasi kelayakan calon penerima berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan.
3. Sidang Dewan GTK: Dewan GTK mengadakan sidang untuk membahas dan memutuskan siapa saja yang layak menerima tanda jasa dan kehormatan. Sidang ini melibatkan diskusi mendalam dan penilaian terhadap kontribusi masing-masing calon.
4. Persetujuan Presiden: Hasil sidang Dewan GTK kemudian disampaikan kepada Presiden untuk mendapatkan persetujuan akhir. Presiden memiliki wewenang untuk menyetujui atau menolak usulan tersebut.
5. Penganugerahan: Setelah mendapatkan persetujuan Presiden, tanda jasa dan kehormatan diberikan kepada para penerima dalam sebuah upacara resmi yang biasanya diadakan di Istana Negara.
Tentu saja, pada awalnya, semua proses ini dirancang untuk memastikan bahwa penghargaan tanda-jasa-tanda jasa kenegaraan tersebut diberikan kepada individu yang benar-benar berjasa dan berkontribusi signifikan bagi negara, bukan kepada istri, kroni menteri di kabinet, kroni politik, atau untuk membungkam lawan politik begitu saja.
Sedangkan syarat khusus yang termaktub dalam pemberian tanda jasa kenegaraan ini adalah, bahwa si penerima tanda jasa tersebut telah terbukti dengan nyata telah melakukan pengabdian dan pengorbanannya di bidang sosial, politik, ekonomi, hukum, budaya, ilmu pengetahuan, teknologi, dan beberapa bidang lain yang besar manfaat bagi bangsa dan negara. Dan semua pengorbanan, jasa, dan darma baktinya tersebut juga telah diakui manfaatnya di dunia internasional.
Ini berarti bahwa jasa dan kontribusi si penerima harus diakui secara luas, tidak hanya di dalam negeri tetapi juga di tingkat dunia. Hal ini menunjukkan bahwa penerima penghargaan tanda jasa tersebut memang layak (proper) menerimanya, karena memiliki dampak positif dan manfaat karya yang signifikan dan diakui oleh komunitas global.
Jadi, bukan karena gagal mempertahankan keamanan data-data sensistif nasional, layak mendapatkan tanda jasa. Bukan pula karena gagal mendapatkan investor untuk pembangunan IKN, kemudian layak mendapatkan tanda jasa. Bukan juga karena gagal menstabilkan harga pangan dan mempertahankan kestabilan nilai tukar rupiah sehingga rakyat terperosok dalam lembah nista kemiskinan, lantas layak mendapatkan tanda jasa, dan bukan pula karena mengotak-atik pasal dalam konstitusi yang sah demi memuluskan nafsu kekuasaan pemimpinnya, layak mendapatkan tanda jasa. Atau bukan pula karena membuat sengsara warga Rempang dan warga Penajem Paser Kalimantan, karena tanah adat mereka yang direbut paksa oleh ‘negara’….kemudian layak mendapatkan tanda jasa.
Ya, seharusnya bukan.
Selain itu, ada juga syarat penting lainnya, yaitu mengenai integritas moral dan keteladanan. Si penerima tanda jasa harus memiliki integritas moral yang tinggi dan menjadi teladan bagi masyarakat. Ini memastikan bahwa penghargaan diberikan kepada individu yang tidak hanya berjasa, tetapi juga memiliki karakter yang patut dicontoh.
Nah, jika mencermati dan melihat sepak terjang (track record) para menteri-menteri pembantu sang raja….maaf, maksudnya sang presiden selama ini dalam masalah kinerja dan minimnya jasa-jasa atau kontribusi yang telah mereka berikan kepada negara, baik dalam panggung nasional dan internasional, apalagi minimalitas mereka dalam masalah integritas moral dan keteladanan, saya rasa sebagai ungkapan rasa terimakasih karena mereka telah menjalankan tugas mereka sebagai menteri, wakil menteri, dan jabatan-jabatan tinggi politis lainnya, sepertinya mereka belum pantas untuk diberikan tanda jasa-tanda jasa negara yang selama ini terjaga kesakralannya, tetapi sepertinya lebih pantas untuk diberikan sepeda sajalah, cukup dengan menjawab pertanyaan presiden tentang nama-nama ikan dulu, pastinya.
Wallahu’allam bisshowab
Jakarta, 17 Agustus 2024
*Dosen Prodi PAI UNIDA Bogor/ Director of Logos Institute for Education and Sociology Studies (LIESS) / Pemerhati Pendidikan dan Sosial/ Anggota PJMI