humaniora id – Cerpen Karya, Ramli Lahaping
Nisan Hidup
Kecuali segelintir orang yang ia percaya dan memercayainya, tak ada lagi yang bisa mengenalinya. Wujud rupanya berubah total setelah ia sengaja menyiramkan air keras ke wajahnya sendiri. Itu ia lakukan demi lolos dari upaya pencarian kacung penguasa negara yang kabarnya hendak mencelakainya. Ia tak peduli kalau ia akhirnya hilang dari sejarah kehidupan masa lalu. Ia hanya ingin merasa aman menjalani kehidupan sepanjang masa depan.
Perkara pelik yang menjeratnya, terbentang dalam alur cerita yang rumit dan panjang. Sebuah kisah perjalanan hidup yang tak bisa ia elakkan setelah ia memutuskan untuk memulainya. Sampai akhirnya, ia terjerat sengkarut perkara dan tak bisa lagi bergerak sebebas-bebasnya. Ia terperangkap ke dalam lingkaran kekuasaan yang kejam, dan ia tak bisa apa-apa lagi untuk melepaskan diri dari bahaya selain dengan tidak menjadi dirinya sendiri.
Pada awalnya, ia hanyalah mahasiswa dari sebuah daerah terpencil. Kehidupannya sederhana dengan penghidupan orang tuanya sebagai nelayan kecil yang berpenghasilan pas-pasan. Tetapi di tengah kebersahajaan itu, ia memiliki kelihaian yang memukau. Ia sangat pandai bertutur dengan intonasi yang mantap. Siapa pun yang mendengarnya berorasi kala berunjuk rasa menentang kebijakan pemerintah, akan terkenang pada gaya pidato para pejuang kemerdekaan.
Atas kecakapannya itu, ia kemudian sukses memimpin sebuah organisasi pergerakan lintas kampus. Ia pun jadi makin sering tampil di panggung jalanan untuk menggaungkan protesnya. Ia bahkan sesekali tampil di layar kaca untuk menggemakan kritiknya. Hingga akhirnya, simpul jaringan pergerakan yang diam-diam berafiliasi dengan partai politik oposisi, jadi tertarik merekrutnya sebagai bagian motor pelaksana agenda besar untuk menggulingkan pemerintah.
Tanpa pikir panjang, ia pun bergabung dalam jaringan pergerakan tersebut. Ia tak memiliki kecurigaan apa-apa, dan menerimanya dengan senang hati, sebab ia punya kehendak yang sama dengan jaringan, yaitu mengganti pemerintahan yang ia anggap bobrok. Hingga akhirnya, dengan ketergabungannya, ia jadi makin gencar menggelorakan aspirasi jaringan yang sejalan dengan aspirasinya, yaitu berupa protes terhadap keputusan pemerintah yang ia nilai salah.
Waktu demi waktu, ia pun terus tampil sebagai bagian dari jaringan pergerakan yang dikendalikan kekuatan di balik layar. Ia terus meneriakkan protes yang pedas kepada petinggi-petinggi rezim. Sampai akhirnya, aksi-aksinya menimbulkan pengaruh yang makin luas. Di tataran bawah, masyarakat mulai terdengar ikut menyuarakan protes serupa. Sedang di tataran atas, para politisi oposisi sebagai penyokong utama, mendukung protes-protes tersebut.
Lambat laun, gerakan mereka menimbulkan gejolak di tengah masyarakat. Di sana-sini, mulai timbul kekacauan di sela-sela aksi unjuk rasa yang merebak dan semarak. Tetapi akhirnya, muncul reaksi keras dari pihak pemerintah yang tampak merasa terancam. Aparat kepolisian dikerahkan secara besar-besaran untuk segera mengendalikan keadaan. Mereka menangkapi orang-orang yang dianggap terlibat kekisruhan, lalu menggelandangnya ke dalam jeruji.
Dalam waktu cepat, situasi kembali terkontrol. Masyarakat kembali bungkam sebab mereka takut ditangkap dan dikurung. Suara penentangan kemudian hanya terdengar di tataran elit politik dan elit organisasi yang terhubung dalam jaringan pergerakan, termasuk sang orator. Mereka pun terus melakukan propaganda untuk kembali mengobarkan api perlawanan. Tetapi, dampaknya nihil. Tak juga timbul kekacauan luar biasa yang tepat jadi momentum kudeta.
Sampai akhirnya, di tengah lesunya gelora perlawanan, sang orator mendapatkan kabar kalau ibunya sakit keras akibat komplikasi hipertensi. Dengan penuh kecemasan, ia lantas pulang ke kampungnya. Ia terpaksa mengabaikan kuliahnya sebagai mahasiswa tahun keenam, juga melewatkan agenda-agenda pergerakan. Ia pun menghilang dari panggung jalanan dan layar kaca. Sebagai anak semata wayang, ia fokus saja merawat ibunya yang telah lama menjanda dan hanya tinggal seorang diri.
Namun pada momen itu pula, ia mengalami kejadian yang membuatnya makin meyakini kezaliman pemerintah. Saat ia membawa ibunya ke rumah sakit, ia malah mendapatkan penolakan karena ia tak punya kesanggupan untuk membayar tagihan. Itu terjadi karena pihak pemerintah melalui lembaga jaminan kesehatan, telah menonaktifkan asuransi kesehatan gratis yang dahulu diterima ibunya, tanpa alasan dan pemberitahuan.
Atas kenyataan itu, dengan perasaan dongkol yang menggunung terhadap pemerintah, ia terpaksa membawa ibunya pulang ke rumah. Ia kemudian hanya melakukan upaya perawatan yang seadanya, sehingga keadaan ibunya jadi makin memburuk. Karena itu, ia makin bertekad untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah. Ia merasa kalau pemerintah telah begitu zalim dengan tidak menjamin kebutuhan dasar masyarakat, termasuk ibunya.
Di tengah kekalutannya, ia kemudian mendapatkan kabar dari divisi penghubung jaringan pergerakan. Ia akan diberikan bantuan dana untuk perawatan ibunya dari para elit politik oposisi yang selama ini menyokong pergerakan mereka. Tetapi itu hanya mungkin dengan syarat ia harus bersedia menjadi timbal pergerakan untuk menciptakan kobaran perlawanan yang masif. Dan akhirnya, setelah merenung sekian lama, ia pun menerima tawaran itu, demi sang ibu.
Namun pada waktu kemudian, setelah tiga hari ibunya di tawat di rumah sakit, ia malah menjumpai kenyataan yang memilukan. Ibunya meninggal tanpa sempat membaik dari kondisinya yang sangat buruk akibat terlambat mendapatkan penanganan medis. Dan atas kejadian itu, ia mempersalahkan pemerintah seluruhnya. Ia mengecap pemerintah telah berlaku biadab dengan mencabut jaminan kesehatan gratis untuk ibunya.
Akhirnya, dengan kehidupannya yang tanpa siapa-siapa lagi, ia teguh melancarkan agenda besar jaringan pergerakan yang akan menumbalkan dirinya. Selama hampir dua bulan, ia kembali ke panggung demonstrasi dan layar kaca untuk menyampaikan kritikan yang keras kepada pemerintah. Ia bahkan mulai menjadikan cerita penanganan penyakit ibunya sebagai bukti bahwa pemerintah bahkan tidak bisa menjamin hak warga negara akan kesehatan.
Dengan cepat, suara protes di tengah masyarakat kembali menggema. Demonstrasi lalu merebak dan kerap diwarnai kekacauan. Aparat pemerintah bahkan mulai kewalahan untuk mengendalikan situasi. Maka sesuai rencana, di tengah gejolak itu, ia menghilang dan sembunyi di sebuah rumah pada kawasan elit yang terpencil, milik seorang cukong oposisi. Lantas, orang-orang jaringan pergerakan mulai menyebarkan kabar kalau ia diculik pihak rezim.
Akhirnya, bertebaranlah berita di media massa bahwa seorang mahasiswa yang getol mengkritik pemerintah, telah diculik oleh aparat pemerintah, bahkan ditengarai telah dibunuh dan dikubur entah di mana. Seketika pula, isu tersebut memicu pergolakan massa. Kalangan masyarakat, mahasiswa, akademisi, dan politisi oposisi, bersatu melancarkan tuntutan reformasi. Hingga akhirnya, di tengah keadaan yang tak terkendali lagi, presiden dan wakil presiden mengundurkan diri, dan kabinetnya dibubarkan.
Selama masa transisi, pemerintahan kemudian berada di dalam kendali pimpinan militer yang sejak awal memang telah berada di pihak jaringan pergerakan. Itu ditetapkan berlangsung sampai terpilihnya presiden dan wakil presiden baru melalui pemilu. Keadaan itu pun berjalan sesuai rencana, sebab satu setengah tahun kemudian, proses pemilu berhasil diselenggarakan dan mengukuhkan tokoh utama partai oposisi sebagai presiden, dan tokoh utama jaringan pergerakan dari lembaga swadaya masyarat sebagai wakil presiden. Pasangan itu berhasil mengalahkan satu pasangan lain yang sebenarnya hanyalah kandidat bayangan yang juga berasal dalam jaringan pergerakan, demi menjamin pemerintahan baru berada di pihak jaringan pergerakan, juga demi mencitrakan kalau pemilu benar-benar berlangsung secara demokratis.
Di ruang persembunyiannya, sang orator akhirnya merasa gamang setelah menyaksikan seluruh rangkaian peristiwa bersejarah itu melalui media massa. Ia tentu merasa senang, sebab apa yang ia cita-citakan dan ia perjuangkan, telah berhasil. Tetapi ia terus juga meratapi nasibnya, sebab sesuai perjanjian, ia tak boleh lagi muncul di hadapan publik selama-lamanya, sehingga ia tak akan bisa menikmati hasil dari pengorbanannya sendiri.
Sampai akhirnya, di tengah ratapannya atas kehidupannya yang terasing sebagai seorang tumbal politik, seorang kawannya dalam jaringan pergerakan, yang juga berasal dari organisasi pergerakan lintas kampus, mendatanginya dan membawa kabar yang sangat genting:.
“He, aku dapat bocorkan dari seseorang di lingkaran Presiden, bahwa Presiden telah mengerahkan anggota rahasianya untuk mencarimu, atau bahkan segera mendatangimu di sini,” tutur kawannya itu.
“Untuk apa?” sidik sang orator, heran.
“Mereka ingin membunuhmu. Presiden ingin kau mati dan lenyap,” jawab sang tamu.
Seketika, sang orator terenyuh meratapi nasibnya yang begitu malang. “Apakah ini balasan yang pantas aku dapatkan atas apa yang telah kuperjuangkan dan kukorbankan?”
“Tentu tidak, Kawan. Kau semestinya merasakan hasil dari apa yang telah kita lakukan bersama-sama,” tanggap lelaki itu, kemudian bertutur lesu, “Tetapi bagaimanapun, itu adalah kehendak seseorang yang kini telah menjadi presiden. Ia jelas tak mau kalau kau tampak di tengah khalayak dan menghancurkan borok agenda perlawanan jaringan pergerakan kita seluruhnya. Ia jelas tak ingin kehilangan kepercayaan masyarakat.”
Dengan perasaan kalut, sang orator pun bertanya bingung, “Jadi, apa yang seharusnya aku lakukan?”
“Aku bawa ini,” kata lelaki itu, lantas menunjukkan sebotol cairan kimia. “Kau hanya perlu membasuh wajahmu dengan ini, dan tak akan ada lagi yang mengenalimu. Kukira, hanya dengan begitu, kau bisa hidup tanpa ancaman bahaya.”
Akhirnya, dengan terpaksa, demi nyawanya dan kebebasannya, ia menyiram mukanya dengan air keras itu. Ia pun merasakan kesakitan yang tak terperi, tetapi sanggup ia tanggung demi hidupnya. Ia kemudian dirawat di rumah sakit, lalu keluar dengan wajah yang baru.
Pada waktu kemudian, seperti yang ia perkirakan, ia pun benar-benar bisa hidup bebas tanpa ketakutan, sebab tak ada lagi yang mengenalnya kecuali orang yang ia percaya dan orang yang memercayainya. Ia hidup sebagai tokoh pergerakan yang telah dianggap mati.
Waktu demi waktu terus bergulir. Akhirnya, kecurigaan mulai menyesaki benaknya, sebab ia tak pernah mendengar kabar dan melihat bukti yang mengonfirmasi kalau ia benar-benar sedang dalam pencarian orang-orang suruhan Presiden. Ia pun bertanya-tanya, apakah ia telah teperdaya untuk mengaburkan dirinya sendiri hidup-hidup?***
Ramli Lahaping. Penulis cerpen kelahiran Gandang Batu, Kabupaten Luwu. Berdomisili di Kota Makassar. Menulis di blog pribadi (sarubanglahaping.blogspot.com). Bisa dihubungi melalui Twitter (@ramli_eksepsi) atau Facebook (Ramli Lahaping).