Humaniora.id – Saya sering diprotes karena dulu dianggap ndukung Jokowi, kemudian sejak 2023 berbalik. Iya memang dulu saya bekerja di dalam pemerintahan. Itu karena sejak 2007 saya masuk di pemerintah, saat presiden berganti dari SBY ke Jokowi (2014) saya ada di pemerintah.
Sebagaimana jajaran birokrasi, maka wajib mendukung “pemerintah yang sah” yaitu presiden ke 7 dengan ikut mensukseskan pemerintahan negara.
Pemilu 2014 dan 2019 kami netral, tidak ikut kampanye. Tidak ikut pula dukung mendukung politik. Kami masih di dalam menjadi bagian dari pemerintah.
Sebagaimana diketahui lemerintahan Indonesia saat itu sedang menghadapi kelompok-kelompok yang ingin menurunkan dan mengganti pemerintah, lewat demo berjilid-jilid, ada gerakan 411, 212 hingga demo-demo besar ikutan lainnya. Gerakan politik itu banyak dinilai sebagai ancaman terhadap demokrasi, bahkan stabilitas NKRI.
Kekuatan pro demokrasi dan pro NKRI menentang dan mengkritisi gerakan-gerakan politik yang menggunakan simbol-simbol agama. Mereka itu identik jadi gerakan “lawan politik” pemerintah yang sah.
Ternyata pemerintahan Jokowi makin kuat dan mampu konsolidasi, kemudian semakin percaya diri. Mulai saat itu kami melihat politik berubah. Jokowi nampak ingin terus berkuasa, dan melakukan berbagai cara agar bisa memperpanjang kekuasaaanya.
Salah satu yang dilakukan adalah merangkul musuh, dan menyandera politisi sekelilingnya. Orang yang dulu jadi simbol anti demokrasi, dijadikan mitra politiknya. Partai-partai “ditundukkan” elitnya.
Sebenarnya itu boleh-boleh saja sebagai strategi pilihan politik. Yang jadi masalah, di dalam senyap ada rekayasa terhadap proses demokrasi. Ada pemaksaan regulasi, dengan cawe-cawe mempengaruhi Mahkamah konstitusi. KPU, partai-partai politik, para politisi, dan aparat negara dibuat tunduk mensukseskan dan mengikuti skenario politik 2024. Menaikkan dinasti Jokowi.
Inilah politik tanpa etika bernegara. Inilah otoritarian berbalut demokrasi. Indonesia seakan kembali seperti sebelum reformasi. Disitu penguasa harus diingatkan. Tata negara demokrasi harus dikembalikan ke relnya. Marwah negara harus ditegakkan. Penyelewengan harus dihentikan. Apa yang dilakukan dua tahun belakangan ini tak hanya merugikan Indonesia, tapi juga membahayakan masa depan negara.
Politik sekarang tanpa malu, terang-terangan memupuk nepotisme. Anak-anak, mantu, kerabat difasilitasi dan didorong menjadi pejabat. Seolah lewat “prosedur demokrasi” tapi sebenarnya dilakukan dengan cara-cara yang tak layak terjadi jika para pelaku dan pendukung punya hati nurani.
Jokowi yang awal 2014 dan 2019 jadi simbol rakyat kecil, simbol demokrasi dan simbol reformasi, berubah menjadi simbol penguasa yg melecehkan demokrasi. Simbol Penguasa yang menyepelekan reformasi. Presiden ya g mengabaikan etika dan hati nurani.
Jokowi tak hanya menjadi pemimpin politik yang bicaranya tak bisa dipegang. Penuh sandiwara. Dia menyandera partai-partai politik dan para politisi korup. Membuat lembaga legislatif dan yudikatif tak bisa mengontrol kekuasaan. Mereka tidak berdaya menghadapi keinginan dan skenario kekuasaan.
Jokowi bukan hanya menyiapkan dinastinya untuk meneruskan kekuasaan, tapi juga telah membuat nepotisme itu seolah sesuatu yang wajar, dan tidak melanggar. Padahal KKN (di dalamnya ada Nepotisme) adalah musuh gerakan reformasi. Itu yang kami kritisi dan kami lawan walau harus berseberangan dengan para buzzer, dan pemuja setianya.
Ini saya lengkapi dengan video kritikan saya tahun 2023 saat melihat drama dan rekayasa yang semakin nyata.
(Henri Subiakto, dosen Unair Surabaya).