Humaniora.id – Naskah Mastodon dan Suku Naga – Iwan Burnani Toni: “Saya ikut Rendra, dari Mastodon… Bag 7
T: Bermalam di Goa Selarong. Lalu paginya?
Nah, ternyata pagi, kita harus jalan lagi.. Wah kemana lagi nih ? Kita terus jalan. Pakaian kita gak ganti-ganti. Basah. Terus saja di pakai. Di jalan sampai-sampai ada orang yang mengasih sarapan. Kita tak bertanya-tanya. Kembali jalan terus mengikuti Adi Kurdi di depan.
Tiba-tiba kita sampai di pantai dekat Dusun Wonoroto. Di situ saya ingat banyak pohon jambu.
T: Berapa kilo keseluruhan perjalanan ?
Wah, kita gak tahu lagi. Pokoknya akhirnya sampai di pantai. Pantai apa ya namanya. Yang saya ingat pantai itu dekat Dusun Wonoroto. Saat di pantai itu, Mas Willy lalu berbicara: “Sudah sekarang kita di pantai, sekarang tidur cari posisi masing-masing.” Wah saat itu dingin sekali. Badan saya terasa sangat kedinginan.
Saya ingat karena begitu kedinginan saya kemudian menguburkan badan saya di pasir supaya ada panas. Baru esoknya kami berkumpul kembali. Kita di ajak Mas Willy ketemu pemimpin dukuh Wonoroto. Kita di ajak ngobrol. Mas Willy ternyata telah lebih dulu kenal dengan Pak Dukuh.
Ternyata dari penjelasan Pak Dukuh di ceritakan bagaimana mereka mempertahankan tradisi desanya. Mereka tak mau ada pembangunan apapun di situ. Di situlah sebenarnya asal usul naskah Perjuangan Suku Naga. Suku Naga memang ada ril di desa itu. Mereka menolak segala pembangunan.
Di situ lalu kita berdiskusi. Dari Yogja – kemudian saat itu sampai datang Romo Mangun dan Romo Dick Hartoko. Kita diskusi tentang keadaan di desa ini. Setelah dari desa ini, kami pulang melakukan riset. Ke pasar, ke sana sini, latihan-latihan. Akhirnya jadilah pentas Perjuangan Suku Naga.
T: Bagaimana proses pembuatan naskah Mastodon dan Suku Naga?
Begini, proses penciptaan naskah-naskah Mas Willy tidak pernah langsung jadi. Tak pernah Mas Willy menyodorkan ke kami naskah yang sudah jadi semenjak awal. Naskah itu terjadi sedikit demi sedikit seiiring latihan. Sering Mas Willy meminta saat latihan kami mencatat di buku. “Tulis ya ini.”
Lalu kami mencatat sendiri-sendiri. Belum ada peran-peran itu. Setelah kami mencatat sendiri-sendiri, biasanya Mas Willy kemudian memanggil Edi Haryono. “Har stand bye, kamu gak boleh pulang, ketik di sini,” biasanya Mas Willy begitu. Lalu Edi Haryono mengetik…
T: Jadi semua omongan Mas Willy ditulis oleh Edi Haryono ?
Ya Mas Willy seperti mengomong sendiri (ngomyang) setiap ada latihan. Lalu Edi yang mencatat dan lalu mengetiknya. Mastodon dan Burung Kondor serta Perjuangan Suku Naga prosesnya begitu.
Jadi, tak ada naskah Naskah Mastodon dan Suku Naga sedari awal. Naskah buatan Mas Willy selalu dari hasil proses latihan-latihan dan diskusi. Dari situ Mas Willy mampu membaca karakter siapa mendapat peran apa menjadi karakter apa dalam naskah. Misal nanti yang sosok jadi peran kembar adalah Tino Karno sama Yanto. Sebab kedua anak itu pas kayak begucil-begucil begitu.
Mas Willy misalnya bisa menemukan peran dan karakter yang pas untuk Sukarno D Sayuti. Sukarno D Sayuti itu dulu maskotnya Bengkel Teater. Pengemarnya paling banyak. Sebab dia itu lucu. Tapi lucunya tidak di buat-dibuat. Kalau dia muncul di panggung orang selalu gerr.
Nah, Mas Willy selalu bisa aja ciptain peran untuk Sukarno D.Sayuti dan masing-masing kita. Beda karakter antara Sukarno D Sayuti dan saya dan teman-teman lainnya. Maka di buatkan peran sendiri-sendiri.
T: Setiap tampil Anda dapat bayaran kan?
Dapat bayaran. Cukup besar. Mas Willy mana mau Bengkel Teater di bayar kecil saat pentas. Maka dari itu –honor kita untuk zaman itu cukup lah. Bisa untuk makan, bayar kontrak rumah.
T: Jadi dari segi keuangan, tata kelolanya sudah profesional Bengkel teater….
Ya. Tidak profesonal juga. Masih tradisional banget pengelolaan nya. Yang ngatur keuangan adalah Edi Haryono. Nah dia ketat banget soal keuangan. Sehingga teman-teman menjulukinya Pak Sudomo (Di ambil dari nama Pangkopkamtib Sudomo – yang saat itu melarang pentas Rendra – red).
Dia betul-betul ketat. Mas Willy saja termasuk tidak bisa macam-macam soal keuangan bila berhadapan dengan dia. Dia ketat banget. Sekian rupiah…sekian rupiah. Jadi sistem di Bengkel itu begini. Pementasan Bengkel dapat kontrak. Rendra di bayar – presentase honornya sebagai sutradara, sebagai aktor kalau dia main atau sebagai penulis.
Sementara kami di bayar tergantung sebagai senior atau yunior. Saya misalnya saat di bayar presentasenya sebagai yunior. Bayaran untuk senior lain lagi. Yang ngatur presentase itu Rendra. Nah sisa uangnya masuk kas. Yang pegang uang kas ini adalah Edi Haryono. Dia yang pegang duit Bengkel Teater. Uang kas ini salah satu modal Bengkel Teater beli tanah di daerah Kali Winongo – yang saya ceritakan tadi.
T: Waktu itu pimpinan usaha atau produser Bengkel Teater siapa yang pegang ?
Edi Haryono juga. Edi merangkap manajer keuangan.
T: Tahun berapa akhirnya Suku Naga pentas?
Tahun 1975-1976. Kita pentas tiga kali. Tanggal 26-27 Juli 1975 di teater Terbuka TIM, lalu setelah itu main di Gedung Merdeka Bandung (pentas 6 September 1975 –red). Nah sehabis itu betul-betul tak bisa pentas. (Perjuangan Suku Naga bisa pentas di Hall Sport Kridosono Yogya baru tahun 1978 –red)
T: Dianggap ngipas-ngipasi mahasiswa lagi ?
Ya. Salah satunya juga di anggap di pentas Suku Naga itu ada peran yang mirip Ibu Tien. Mbak Yati Angkoro saat itu main dengan kostum mengenakan gelung, kebaya. Nah itu di anggap menyindir Ibu Tien. Juga cara ngomongnya di anggap mirip Ibu Tien. Pada saat itu hal kita gak tahulah.
T: Nah saat dilarang itu apa tetap ada latihan-latihan?
Latihan tetap jalan. Kita terus latihan. Tapi jujur waktu itu untuk makan kita susah. Hutang di tagih terus. Apalagi Mas Willy tahun 1975-1977 itu sudah mulai sering menetap di Jakarta. Kita di tinggal di Yogya. Tapi kita tetap latihan.
Baca juga : Iwan Burnani Toni: “Saya ikut Rendra, dari Mastodon… Bag 6
Comments 2